Sarung
Ahmad Wayang ; Aktivis Literasi
|
TEMPO.CO,
23 Januari 2014
Sarung memang bukan barang mewah, tapi
tidak juga saya menyebutnya sebagai barang murahan. Sarung sudah menjadi
simbol umat Islam yang mengusung cinta damai. Kita semua tahu bahwa sarung
multifungsi. Sarung dengan corak dan bentuk beragam, yang kedua tepi dijahit
bertemu. Sarung, selain bisa kita pakai untuk bersantai, dijadikan selimut di
kala dingin, topeng-topengan, sampai untuk acara pernikahan. Dan sarung sudah
menjadi simbol Islam. Sebab, sarung sudah menjadi seragam wajib dalam urusan
ibadah, saat salat misalnya. Sarung terkadang menjadi bahan yang luput dari
perhatian kita, tapi pada hari-hari tertentu sarung bisa naik daun, semisal
pada saat hari raya tiba. Entah siapa penemu sarung. Goenawan Mohamad dalam
"Catatan Pinggir"-nya (Grafiti, 1989) pernah menulis bahwa penemu
sarung adalah seorang jenius!
Jika kita merujuk pada sejarah, sarung
berasal dari Yaman dengan sebutan futah. Atau banyak sebutan lain untuk
sarung, seperti izaar, wazaar, atau ma'awis. Dan pada abad ke-14 sarung sudah
masuk ke Indonesia. Sarung juga tidak hanya tersebar di Arab dan Indonesia,
tapi sudah ke berbagai negara. Jadilah sarung, setelah sekian lama masuk
Indonesia, menjadi simbol kebudayaan dan agama.
Di tanah kelahiran saya di sebuah
Kampung Kepondoan, Serang-Banten-yang tak pernah tertulis dalam peta
dunia-sarung sudah menjadi simbol agama. Jika kalian hendak pergi salat
berjemaah di langgar (surau) atau di musala, para anggota jemaah kompak
mengenakan sarung.
Ketika kalian salat berjemaah
menggunakan celana jins panjang, jangan heran jika misalnya banyak pasang
mata para jemaah kampung memperhatikanmu. Suatu hari saya pernah
mengalaminya. Waktu itu saya baru pulang dari kampus dan masih mengenakan
celana jins. Tiba-tiba banyak pasang mata yang memandang aneh. Selepas salat,
saya ditegur oleh seorang jemaah yang juga tetangga saya. "Orang Jakarta
ya, Mas?" saya hanya tersenyum.
Sebenarnya saya tak ambil pusing
dengan sindiran tadi. Sebab, selama jins yang saya kenakan untuk salat masih
bersih, saya pikir tak jadi soal.
Tapi ternyata tidak di mata orang-orang kampung. Seolah saya dianggap
tidak mengikuti aturan-aturan Islam dalam beribadah salat. Jika memang
alasannya demikian, bukankah di zaman Nabi belum ada sarung?
Tapi begitulah keadaan di kampung
saya, sarung sudah menjadi simbol Islam. Lewat sarung kita juga bisa melihat
status sosial masyarakat. Antara si kaya dan si miskin. Ingatan saya masih
pada "Catatan Pinggir" Goenawan. GM menulis, Hadisubeno, seorang
tokoh Partai Indonesia pada 1970, pernah memperingatkan kita pada kaum
sarungan. Yang dimaksud Hadisubeno adalah perihal ketegangan yang terjadi di
masyarakat Jawa. Ketegangan yang terasa, tapi jarang diucapkan; antara kaum
ningrat dan priayi yang abangan, dan kaum santri di lain pihak. Pada waktu
itu, kaum santri yang berpakaian sarung bukanlah orang-orang yang didengar
dalam percaturan kebudayaan dan disebut udik.
Tapi sekarang, yang terjadi di kampung
saya, jika ada orang yang selalu bersarung pada kesehariannya, sedangkan
orang lain sibuk bekerja, ada sebutan baru untuk orang ini. Mereka disebut
pemalas! Tapi itu semacam stigma yang berkembang di kampung saya. Entah di
kampung lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar