Potret
Buram Kualitas SDM
Ali Khomsan ; Guru
Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2014
INDONESIA berada di urutan ke-64
dari 65 negara yang ikut dalam Programme
for International Student Assessment (PISA) 2012. Itu indikasi bahwa ada
yang tidak beres dengan sistem pendidikan di Tanah Air. PISA menyelenggarakan
pengukuran siswa pada aspek matematika, sains, dan kemampuan membaca.
Setiap hari, siswa di Indonesia
mulai dari tingkat dasar sampai menengah dijejali dengan mata pelajaran yang
beraneka ragam dengan tingkat kedalaman yang mungkin tidak terbayangkan oleh
siswa-siswa di negara maju. Silakan cek buku-buku teks yang wajib dibaca
anak-anak kita di tingkat dasar. Niscaya banyak orangtua yang bertanya-tanya,
untuk apa ilmu yang demikian mendalam diajarkan pada anak-anak SD.
Saking mendalamnya materi
pelajaran siswa di Indonesia mungkin telah membuat anak-anak kita ‘muntah’. Banyak
anak didik kita yang memiliki lower order thinking skills. Mengacu pada studi
TIMMS (Trends in International Math and
Science Survey) 2007, anak-anak Indonesia yang memiliki performa rendah
dan di bawah rata-rata berjumlah 78%, Korea 10%, Singapura 12%, Taiwan 14%,
dan Hong Kong 15%. Tantangan ke depan sungguh berat karena performa tinggi
dan maju baru diraih oleh 5% anak Indonesia.
Dalam menghadapi perubahan
teknologi yang demikian cepat, kualitas anak Indonesia yang diharapkan ialah
memiliki kemampuan bekerja sama (teamwork),
mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, dapat berkomunikasi dengan
baik, berpikir kreatif, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan motivasi yang
tinggi.
Pendidikan tidak hanya menghasilkan SDM yang siap menjadi pekerja,
tetapi SDM yang memiliki jiwa entrepreneurship,
kemampuan analitis, berpikir efektif dan efisien, serta lebih dari itu semua,
yaitu adanya karakter positif (disiplin, kerja keras, jujur) yang melekat
kuat dalam dirinya.
Dunia yang semakin kompetitif
menuntut individuindividu dengan emotional
quotient (EQ) yang tinggi. Pandangan yang menganggap IQ merupakan hal
terpenting dalam karier seseorang telah dikoreksi karena EQ (bukan IQ) dalam
kehidupan modern saat ini dianggap lebih dapat memprediksi kesuksesan
seseorang.
Pendidikan
dan gizi
Pendidikan bagi anak-anak bangsa
seyogianya tidak lagi berfokus pada peningkatan aspek kognitif semata. Ujian,
kuis, atau menghafal informasi mungkin masih diperlukan, tetapi bukan lagi
menjadi porsi yang utama. Kemajuan teknologi tidak menginginkan
manusia-manusia penghafal informasi karena informasi kini bisa diakses dalam
hitungan detik melalui internet.
Anak-anak yang semakin melek teknologi harus lebih diarahkan sehingga
kegemarannya menggunakan komputer bukan sekadar untuk main gim.
Pendidikan karakter harus mulai
ditekankan. Kejujuran, kedisiplinan, etos kerja keras, mau mengakui kelebihan
orang lain, dan legawa menerima kekalahan merupakan dagangan langka di
Republik ini. Bila tidak sejak dini anakanak kita diperkenalkan dengan
karakter positif, bangsa ini akan terus berkubang dengan karakter negatif
(ketidakjujuran, korupsi, hanya pandai mengkritik, dll) yang telanjur menjadi
trademark bangsa Indonesia.
Karakter amoral yang telanjur
melekat pada bangsa kita ialah ketidakjujuran. Indeks korupsi yang mencapai
9,27 menunjukkan bahwa negara kita hampir sempurna nilai korupsinya (10).
Menurut data PERC (2010), Indonesia juga dinobatkan menjadi negara pelanggar
HKI (hak kekayaan intelektual) tertinggi di Asia. Kita adalah bangsa besar
dan mungkin termasuk bangsa religius, tapi mengapa moral bangsa ini sampai
jatuh ke titik nadir yang terendah. Jawabnya ialah karena kita telah
mengabaikan budi pekerti/akhlak sehingga praktik-praktik ibadah hanya sebatas
di tempat ibadah dan tidak menjadi dasar tindakan kita di tempat kerja atau
di tengah-tengah masyarakat.
Karakter buruk yang harus kita
singkirkan dalam mendidik anak bangsa ialah manipulatif, arogan, defensif,
dan agresif. Tawuran antarsiswa yang kini mulai merebak lagi ialah wujud
agresivitas yang harus dikendalikan melalui pendidikan.
Gizi merupakan salah satu input penting untuk menentukan
kualitas SDM. Salah satu indikator yang menentukan kualitas gizi anak ialah
tinggi badan mereka. Anak-anak dengan stature tinggi diketahui mempunyai
kemampuan kognitif dan kemampuan membaca lebih baik daripada anak pendek.
Lebih dari 36,1% anak usia prasekolah (Riskesdas,
2010) di Indonesia tergolong pendek sehingga akan berdampak negatif pada
saat mereka memasuki usia sekolah. Prevalensi anak pendek ini semakin
meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran tersebut ditemukan baik pada
jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Buruknya kualitas fisik anak-anak
Indonesia bisa berimbas pada gangguan intelektualitas sehingga SDM kita di
masa depan sesungguhnya dibangun oleh fondasi manusia yang rapuh dan mudah
ambruk.
Kita dapat berkaca pada negara
Jepang. Pada saat perekonomian negara itu semakin maju pada masa 1950 hingga
1970-an, tinggi badan anak-anak muda bertambah 1 cm setiap 10 tahun. Di
tahuntahun yang akan datang, pertumbuhan fisik generasi muda Jepang akan
semakin bertambah baik. Begitu juga halnya yang terjadi di China. Sejak
adanya reformasi, kehidupan rakyat China semakin sejahtera yang berdampak
pada kecepatan pertumbuhan tinggi badan anak-anak dan pemudanya.
Setelah kita merdeka sekian puluh
tahun yang lalu, bangsa ini juga harus berbenah diri agar merdeka dari
berbagai masalah gizi yang mengancam anak-anak dan generasi muda kita.
Pemerintah harus menempatkan pembangunan SDM (gizi, kesehatan, dan
pendidikan) pada prioritas tinggi. Kondisi sehat dan cukup gizi menjadi
prasyarat penting untuk melahirkan SDM yang cerdas dan berkualitas.
Sumber daya alam yang melimpah dan sekarang
kita miliki tidak akan banyak mendatangkan manfaat untuk meraih kesejahteraan
bangsa apabila kualitas SDM-nya buruk. Untuk itu, program-program di bidang
pendidikan harus bisa mengentaskan anak-anak Indonesia dari kungkungan
kebodohan dan kemiskinan. Wajib belajar 9 tahun mungkin tidak lagi cukup dan
harus ditingkatkan menjadi wajib belajar 12 tahun.
Semoga kita bisa segera
banting setir merumuskan grand design
pendidikan yang tepat sehingga aset berupa jumlah penduduk yang mencapai 250
juta orang tidak menjadi beban pembangunan, tetapi menjadi modal dasar
pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar