Perspektif
Pembangunan Berkelanjutan Pascabanjir
Bencana Ekologis dan Seruan Moral
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2014
BENCANA ekologis berupa banjir
kini melanda sejumlah kawasan di Tanah Air. Manado ialah salah satu kawasan
yang kini dilanda banjir bandang hingga ribuan rumah warga tergenang.
Sejumlah kawasan di Jakarta pun kini digenangi banjir yang menenggelamkan
ratusan rumah warga dan memacetkan lalu lintas sehingga kerugian ekonomi yang
diderita warga pun tak terkirakan.
Lebih daripada itu akan datangnya
banjir yang lebih besar lagi cukup menghantui pemikiran warga mengingat
adanya prediksi tentang hal tersebut karena musim hujan tahun ini belum
sampai puncaknya. Menurut pengalaman dan prediksi tahunan dari Badan Kelautan
dan Atmosfer Nasional (National Oceanic
and Atmos pheric Administration/NOAA), banjir besar di Jakarta dan di
berbagai kawasan di Tanah Air selalu terjadi pada akhir Januari dan berpuncak
pada Februari dan awal Maret.
Jika dikerling secara saksama,
bukan hanya banjir, melainkan tanah longsor juga kerap menyergap dan
menerjang perkampungan warga di banyak kawasan di Tanah Air. Di samping itu,
areal terjangan banjir setiap tahun semakin luas, menjangkau areal yang
selama ini bukan menjadi langganan banjir dan tanah longsor itu. Tragisnya,
banjir yang kerap terjadi itu bukan saja menenggelamkan kawasan pemukiman
warga dan merusak segala fasilitas warga serta menghanyutkan harta benda,
melainkan juga menelan korban jiwa.
Fenomena itu jelas menyingkap
persoalan kerusakan ekologi yang telah mencapai taraf kritis.
Pengeksploitasian lingkungan yang tanpa batas, dan konservasi fungsi lahan
resapan air menjadi permukiman warga dan industri, itulah melahirkan monster
ekologi pemangsa kehidupan di bumi pertiwi ini. Krisis ekologi yang demikian
parah itulah kemudian melahirkan bencana ekologis bukan saja banjir,
melainkan juga bencana kekeringan yang berefek pada kesulitan air bersih dan
petani tidak bisa lagi mengairi lahan pertanian mereka.
Pembangunan
berkelanjutan
Persoalan bahwa fenomena kerusakan
ekologi yang kini telah mencapai taraf kritis itu tidak bisa dibiarkan terus
berlanjut, tanpa upaya serius untuk mencegah dan melestarikannya kembali alam
yang telah rusak itu untuk kehidupan berkelanjutan. Maka, yang dibutuhkan
ialah suatu kesadaran, ik tikad baik, kemauan keras, sikap yang tegas, dan political will dari pemerintah untuk
mengendalikan lingkungan alam yang rusak dan merealisasikan tindakan
pelestarian alam yang rusak itu.
Ada sebuah kesadaran yang
berlandaskan pada pemikiran bahwa pembangunan harus berkelanjutan, dan
kehidupan anak cucu kita tidak bisa didasarkan atau berpijak pada keadaan
alam atau ekologi beserta segala ekosistem yang telah rusak. Untuk
kelestarian ekologi, demi masa kini dan akan datang, pohon yang dite bang harus
diganti agar tetap lestari, sumber daya hutan harus selalu diperbarui.
Singkatnya, kerusakan bumi harus diperbaiki.
Dalam arti, pembangunan yang
berkelanjutan harus berwawasan lingkungan yang dibarengi dengan penjagaan dan
pemeliharaan terhadap alam yang juga harus berkelanjutan. Seperti dalam
laporan Brundtland, Our Common Future,
1987, tertulis, `Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu
memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Tujuan inti proses pembangunan
berkelanjutan ialah keberlanjutan kehidupan manusia di atas bumi. Ingat,
jumlah manusia boleh bertambah, sedangkan alam atau ekologi memiliki
keterbatasan'.
Dengan demikian, ada dua konsep
yang ter kandung dalam pemba ngunan yang berkelan jutan berwawasan
lingkungan. Pertama, konsep kebutuhan (needs), bagi seenap umat manusia harus
diprioritaskan dalam setiap jejak langkah pembangunan.
Kedua, ide
keterbatasan kemampuan lingkungan memiliki keterkaitan dengan kebutuhan
manusia pada masa sekarang dan akan datang disebabkan penggunaan teknologi
dan aktivitas organisasi sosial yang menyangkut kepedulian terhadap alam.
Keberlanjutan pemenuhan kebutuhan
manusia di masa depan merupakan perkara yang amat serius yang harus dianti
sipasi. Kesalahan antisipasi bisa bermuara pada ketidakber dayaan manusia
memenuhi kebutuhannya, terutama pangan dan energi. Apalagi ditambah dengan
persoalan krusial yang dihadapi oleh manusia saat ini yang berbarengan dengan
keadaan ekologi. Ada perkembangan teknologi dan gaya hidup manusia yang
boros, kian konsumtif serta keadaan lingkungan yang kian rusak.
Kerusakan ekologi dapat kita lihat
dari erosi yang naik dan air tanah semakin surut. Kerusakan ekologi juga
ditandai erosi tanah akibat hutan yang dibabat habis. Tanah juga
dieksploitasi berlebihan sehingga menyedot habis lapisan tanah yang subur dan
meninggalkan kapur, pasir, dan tanah liat. Belum lagi isi tanah yang harus
digali, dikuras, dan tanah ditinggalkan begitu saja, tidak dimanfaatkan,
sehingga berserakanlah lubang-lubang tanah bekas penambangan sebagai bopengan
di bumi.
Ketika jumlah manusia masih cukup
memungkinkan seperti sekarang ini, yakni sekitar 7 miliar jiwa, efek
kerusakan atau krisis ekologi barangkali belum terlalu terasa. Namun, pada
abad yang akan datang ketika jumlah manusia sudah mendekati 9 atau 10 miliar,
tekanan penduduk pada bumi, jelas sudah terasa.
Bagaimana jadinya jika jumlah manusia terus bertambah dus cara-cara perusakan
lingkungan juga terus berlanjut dan tidak terkendalikan, yang diiringi juga
dengan peningkatan teknologi yang menciptakan kerusakan lingkungan yang kian
cepat pula?
Selain itu, tantangan perubahan
iklim yang begitu mengerikan di depan mata kita dan telah menjadi tantangan
terbesar abad ini. Karena perubahan iklim yang terus terjadi, ratusan juta
manusia kini mulai menderita akibat gagal panen, banjir, angin topan, badai,
penyakit tropis yang semakin merajalela, berkurangnya cadangan air bersih,
dan kekeringan.
Seruan
Moral
Karena itu, yang diperlukan kini
ialah pengendalian perusakan ekologi dengan jalan merombak cara dan isi
pembangunan demi mencegah kematian prematur kehidupan di Bumi Pertiwi. Pembangunan
tidak boleh diarahkan pada pengeksploitasian sumber daya alam secara
habis-habisan, tetapi harus dilakukan dengan cara dan prinsip berkelanjutan
dengan mengindahkan ambang batas. Pengeksploitasian lingkungan tanpa
mengindahkan ambang batas ialah dosa besar generasi sekarang terhadap
generasi yang akan datang. Dosa adalah sumber kehancuran manusia. Banjir
besar ialah cermin dosa-dosa manusia sekarang.
Karena itu, bencana ekologis
berupa banjir harus dilihat sebagai bentuk gugatan moral sehingga yang
diperlukan ialah kesadaran moral dan tanggung jawab manusia untuk memelihara
makhluk hidup dan segala sumber daya alam semesta. Karena itu, segala
kerusakan di alam semesta ini bukan semata isu politik dan ekonomi, melainkan
tantangan moral dan spiritual bagi seluruh umat manusia yang harus dihadapi
bersama. Jadi, untuk menggalang pembangunan berkelanjutan, bukan saja
perbaikan praktik kekuasaan dan politik, melainkan pada penggalangan seruan
moral publik sekaligus pertobatan ekologis untuk mencegah kerusakan ekologi
yang kian parah.
Dengan kesadaran dan tanggung jawab moral
yang dibangun dengan seruan-seruan moral, diharapkan lahir pula generasi
mendatang yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral dalam mengelola
lingkungan dan memanfaatkan isi bumi dan alam semesta. Dengan demikian,
kelestarian alam dan terawatnya isi bumi atau isi alam semesta tetap terjaga
secara berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar