Senin, 20 Januari 2014

Pengalaman Jadi Korban Banjir

Pengalaman Jadi Korban Banjir

Husnun N Djuraid  ;   Dosen UMM, Pernah menjadi wartawan Jawa Pos di Semarang
JAWA POS,  20 Januari 2014
                                                                                                                       


MASALAH yang paling mendesak dalam penanganan bencana ialah membantu para korban, baik yang masih berada di rumahnya maupun yang sudah pindah ke pengungsian. Korban bencana berada pada posisi yang tidak berdaya, baik secara fisik maupun psikis. Rumah dan harta benda porak-poranda, tak sedikit yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda yang disapu bencana. 

Saya punya pengalaman menjadi korban banjir bandang Semarang pada 1990. Ketika sebagian besar masyarakat lelap dalam tidur di tengah malam, tiba-tiba air bah menerjang masuk rumah. Rumah saya yang berada di kompleks Perumnas Sampangan berbentuk flat berlantai 2 lebar 3 meter itu tidak jauh dari Kaligarang. Sungai tersebut mengalirkan air dari daerah atas seperti Ungaran dan Gunungpati melewati kawasan barat Kota Semarang sebelum bermuara ke laut di dekat Pelabuhan Tanjung Emas.

Tengah malam itu kami sekeluarga dikejutkan suara orang yang memberitahukan datangnya banjir. Ternyata benar, saat kami turun, air menerobos rumah dengan derasnya. Tidak butuh waktu lama banjir setinggi dua meter lebih sudah memenuhi lantai bawah rumah dan tinggal beberapa sentimeter sampai ke lantai 2. Banjir bandang itu tidak berlangsung lama, tidak sampai dua jam sehingga para korban tidak sempat menyelamatkan barang-barang penting. 

Banjir kilat itu menenggelamkan dan menghancurkan apa saja yang dilewati. Suasana sangat mencekam karena malam itu PLN memutus aliran listrik, dari kejauhan terdengar orang-orang berteriak minta tolong. Kami sekeluarga menunggu dengan cemas di lantai 2 sambil berharap agar air tidak naik ke lantai 2. Setelah air surut, muncul penderitaan baru; sisa lumpur yang sangat tebal menutup lantai rumah dan menempel di dinding. 

Penderitaan sesungguhnya dimulai setelah banjir karena tidak bisa berbuat banyak, listrik mati, dan air PDAM pun tidak mengalir sehingga semakin menyulitkan. Dalam kondisi yang sulit itu, pasukan TNI datang mendirikan tenda yang diubah menjadi dapur umum untuk memenuhi konsumsi makan bagi korban banjir. Setiap pagi, siang, dan petang kami harus antre ke dapur umum untuk mendapat ransum. 

Dalam kondisi tidak berdaya, para korban sangat membutuhkan bantuan untuk kebutuhan mendasar; makan dan minum. Padahal, dalam bencana, tidak sedikit jatuh korban yang membutuhkan bantuan ekstra untuk perawatan, baik di rumah sakit maupun di lokasi. Karena itu, bantuan kesehatan untuk korban sangat dibutuhkan untuk penyembuhan fisik. Itu belum termasuk kebutuhan penyembuhan psikis yang memerlukan waktu panjang.

Kondisi itulah yang saat ini dialami para korban banjir di Jakarta, Manado, dan daerah lain. Yang tinggal di rumah dilanda kecemasan, jangan-jangan ketinggian air meningkat dan semakin menenggelamkan rumah mereka. Korban yang tinggal di pengungsian pun hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.

Banjir Jakarta tahun ini agak berbeda, bukan soal lokasi genangan yang semakin luas dan waktu banjir yang lebih lama. Tapi, siapa yang salah di balik banjir tersebut. Gubernur DKI Jokowi seolah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab ketika sebagian besar wilayahnya dilanda banjir. Masyarakat menagih janji Jokowi saat berkampanye lalu yang akan membebaskan Jakarta dari banjir. Ternyata membebaskan Jakarta dari banjir tidak semudah yang direncanakan. 

Banjir kali ini bertepatan dengan tahun politik menjelang pileg dan pilpres yang menempatkan Jokowi sebagai salah satu capres potensial. Banyak survei menempatkan Jokowi di posisi tertinggi sebagai capres dengan tingkat keterpilihan tertinggi. Ketika Jakarta direndam banjir, para lawan politik Jokowi memiliki amunisi ampuh untuk menyerang dia. 

Ketika masyarakat larut dalam kesedihan akibat bencana, politisi justru memanfaatkan untuk berperang merebut pengaruh. Kalau mereka bertarung merebut pengaruh dengan berlomba memberikan bantuan kepada para korban, itu tindakan mulia karena bisa mengurangi penderitaan korban. Para korban tidak peduli, apakah makanan, pakaian, dan perlengkapan yang mereka terima berasal dari politisi -lengkap dengan logo partai dan gambar caleg-, yang penting kebutuhan mereka terpenuhi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar