Rabu, 22 Januari 2014

Pembangunan (Tidak) Berkelanjutan

Pembangunan (Tidak) Berkelanjutan

Posman Sibuea   ;   Guru Besar Tetap Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas, Sumatra Utara
KORAN JAKARTA,  22 Januari 2014

                                                                                                                       


Banjir 2014 yang mengepung Jakarta dan hampir menenggelamkan Manado membawa permenungan baru tentang perilaku manusia yang tak bersahabat dengan alam.

Lingkungan hidup (LH) dilihat sebagai objek yang harus ditaklukkan dan dieksploitasi. Meskipun diyakini sebagai siklus tahunan, banjir merupakan bencana alam akibat ulah manusia.

Perilaku tak berjalan dalam bingkai ekologis karena manusia banyak merusak (sumber daya) alam. Manusia mengeksploitasi alam sesuka hati guna meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Akhirnya konsep pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dikumandangkan dalam konferensi tingkat tinggi di Johannesburg (2002), baru sekadar wacana. Fenomena perusakan alam sehingga melahirkan bencana membuktikan pembangunan tak diprogram secara berkelanjutan. 

Pendekar kemerdekaan India, Mahatma Gandhi, pernah berujar, “Bumi ini mengandung cukup sumber daya alam (SDA) untuk seluruh umat manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan dan keserakahan segelintir manusia.” Kritik tajam ini menjadi refleksi atas sikap manusia perusak SDA yang kerap dibungkus dalam jubah pembangunan ekonomi. 

Meski alasan untuk “menggali” kekayaan SDA untuk meningkatkan kesejahteraan, kenyataannya rakyat sebagai pemegang “hak paten” SDA makin dimiskinkan. Malahan yang muncul konflik karena berbenturan dengan kepentingan industri, pemerintah, dan masyarakat yang sadar LH. 

Polemik berkepanjangan mengenai alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, pertambangan, dan areal industri bubur kertas boleh menjadi contoh pembangunan tak berkelanjutan karena mengorbankan LH.

Masyarakat yang bermukim di seputar hutan berharap ada peningkatan kesejahteraan dengan kehadiran industri perkebunan sawit. Kenyataan yang diperoleh justru kemiskinan dan sejumlah masalah. Tatanan kehidupan masyarakat lokal diobok-obok dan nyawa orang pun kerap dikorbankan. 

Berbagai peristiwa yang merugikan warga tak terselesaikan secara baik
Fenomena kian berkembangnya industri perambah hutan menunjukkan bahwa keserakahan manusia akan SDA bermuara pada tindakan kriminal dan bencana ekologis.

Untuk mengisi kantong devisa yang terus dianggarkan meningkat, pemerintah menutup mata atas kerusakan hutan mendekati 2 juta hektare per tahun dan illegal logging terus merajalela. Hasilnya, kini banjir dan tanah longsor yang meluluhlantakkan permukiman dan nyawa manusia. 

Becermin pada berbagai kasus perusakan lingkungan, belakangan ini, muncul pertanyaan apakah pembangunan ekonomi mengurangi atau justru menambah kemiskinan? Pembangunan ekonomi yang dipahami secara parsial menjadi fenomena paradoks di kalangan elite ekonomi.

Ketika terjadi peningkatan produk domestik bruto (PDB), mereka tersenyum bangga karena dapat mengatrol kesejahteraan rakyat. Namun, sesungguhnya, mereka sudah terbenam dalam suatu pesona palsu karena kerusakan LH belum dihitung dalam PDB tersebut. 

Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat tidak diimbangi konservasi ini mulai menampilkan dampak negatif atas kelestarian LH.

Ketika sejumlah besar negara masih dibayangi ancaman krisis finansial global, makin bertambah berat karena diikuti persoalan serius terkait degradasi SDA, energi, lingkungan, dan pangan. 

Di Indonesia tantangannya lebih berat lagi dengan model pembangunan ekonomi yang dikembangkan cenderung bersifat ekstraktif terhadap SDA dan berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan melestarikan SDA tidak tampak.

Memelihara SDA

Ketika sebagian ilmuwan berpendapat bahwa pencemaran LH harus bisa dibuktikan secara ilmiah di laboratorium, saat itulah terjadi reduksi problem lingkungan yang sebenarnya luas dan menuntut kajian holistik integralistik. Membuktikan pencemaran lewat kerugian sosial bisa dicoba. 

Orang awam bisa melihat pencemaran sehingga marak tuntutan banyak LSM agar pengelola industri yang merusak hutan ditindak. Sekarang banyak muncul gerakan demokrasi ekologi yang tak terpisahkan untuk mewujudkan keadilan sosial.
Ini sesuai dengan ramalan John Naisbitt dalam Global Paradox (1994), yang mengatakan agenda pelestarian lingkungan akan menjadi sangat dominan dalam abad ke-21.

Kemunculan begitu banyak LSM, meski memiliki latar belakang berbeda-beda, namun mereka diikat satu pandangan bahwa pembangunan ekonomi yang tidak ramah lingkungan hanya mendatangkan bencana ekologis.

Mereka mengajak pelaku ekonomi memperlakukan Bumi sebagai rumah bersama dan tidak menguras SDA yang jumlahnya terbatas itu. 

Dalam tulisannya, The tragedy of Commons, Garret Hardin (1968) mengimbau agar manusia memelihara SDA yang terbatas itu guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ketidakjujuran pelaku ekonomi telah menghancurkan SDA secara perlahan tapi pasti. Limbah berbahaya kerap dibuang secara sembunyi-sembunyi ke sungai atau tempat lain.

Bahkan, sandiwara acap digelar ketika pengawas turun ke lapangan dengan menyuruh orang mengail ikan di sungai yang sudah tercemar, seakan di sana masih ada ikan hidup. 

Penyadaran akan penghormatan pada LH harus terus dikampanyekan agar kelak terbentuk civil society yang sadar lingkungan (green civil society). Civil society yang sadar lingkungan dibentuk lewat proses pendidikan intelektual, namun membentuk budi pekerti. 

Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak lagi sekadar membagi-bagi keuntungan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) untuk meningkatkan PAD di era otonomi daerah dan menyediakan lapangan kerja baru, tapi mampu juga mengelola LH.

Dengan begitu, hutan tidak dibabat habis agar masih mampu menyimpan SDA untuk anak-cucu kelak. Tujuannya, LH dapat dipelihara untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar