Rabu, 15 Januari 2014

Mesir Memutuskan

Mesir Memutuskan

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  15 Januari 2014
                                                                                                                        


Dalam minggu ini, Mesir akan mengamendemen Konstitusi untuk yang ketiga kali. Ironis bahwa amendemen ini terjadi setelah pemerintahan yang berkuasa sebelumnya dilengserkan. 

Amendemen pertama dilakukan setelah rakyat melengserkan Hosni Mubarak sebagai presiden di tahun 2011. Amendemen itu sebetulnya mengambil bentuk Constitutional Declaration yang membekukan Konstitusi 1971. Deklarasi itu tidak secara langsung mengamendemen Konstitusi sebelumnya secara spesifik, namun membekukan dan memberlakukan deklarasi sebagai dasar hukum selama konstitusi lama dibekukan. 

Deklarasi itu adalah bagian penting dari transisi sistem demokratis di Mesir, karena mereka memisahkan dengan tegas kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Menurut beberapa diplomat yang saya temui, salah satu sumber rujukan deklarasi ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamendemen oleh parlemen pada 1998. Deklarasi itu terutama membuka jalan bagi pemilihan umum yang diikuti oleh semua partai, termasuk Muslim Brotherhood yang dikategorikan sebagai organisasi terlarang selama pemerintahan Hosni Mubarak. 

Perubahan Konstitusi yang akan direferendum pada minggu ini akan menjadi tonggak penting bagi demokrasi di Mesir, khususnya dari kelompok angkatan bersenjata yang saat ini berkuasa. Jenderal Abdel Fattah el-Sisi, yang sebelumnya tidak memberikan komentar apa pun tentang kemungkinan menjadi presiden, mulai membuka diri akan peluang dirinya mencalonkan diri sebagai presiden. 

Dalam kutipan dari kantor berita negara pada Sabtu lalu, dalam percakapan di lingkungan pejabat militer, ia mengatakan bila rakyat Mesir memberikan dukungan penuh pada draf Konstitusi 2013 untuk lolos dalam referendum minggu ini, maka itu dapat disimpulkan menjadi mandat baginya untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Pihak militer berharap sedikitnya 70% dari rakyat Mesir yang memiliki hak suara dapat datang ke lebih dari 30.000 kotak suara untuk memberikan keputusannya. 

Dalam referendum di tahun 2012 di bawah kekuasaan rezim Mursi, penduduk yang datang memberikan suara hanya 32,9% dari 51 juta orang yang mempunyai hak untuk memberikan suara. Dari jumlah itu, 63,8% menyatakan mendukung perubahan Konstitusi yang diusulkan oleh Mursi. Jumlah orang yang datang memberikan suara di tahun 2012 itu menjadi dasar bagi oposisi untuk menggulingkan rezim Mursi. Rezim militer tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. 

Harapan mereka mungkin akan terwujud karena menurut survei Egyptian Centre for Public Opinion Research (Basirah) terhadap 2.068 orang di bulan Desember, 76% pemilih akan datang memberikan suara di mana 74% dari mereka akan memberikan dukungan untuk Konstitusi 2013 yang baru. Partisipasi besar dari pemilih akan memengaruhi politik dalam negeri. Apabila jumlah pemilih yang datang besar, dapat dipastikan rezim militer segera menentukan tanggal untuk pemilihan presiden di mana Jenderal el-Sisi akan mencalonkan diri. Sebaliknya, bila jumlah pemilih yang datang rendah, penetapan tanggal pemilihan parlemen akan lebih didahulukan agar ada waktu bagi militer untuk mempersiapkan strategi pencalonan presiden. 

Hingga saat ini, waktu dan urutan pemilihan presiden dan parlemen belum ditetapkan. Referendum ini juga penting bagi kelangsungan rezim militer dalam konteks pergaulan internasional. Setelah Mursi digulingkan dalam sebuah kudeta militer, mitra tradisional seperti Amerika dan Eropa telah memutuskan untuk memberikan bantuan pembangunan dan militer kepada rezim militer yang telah menggulingkan Mursi. Perekonomian Mesir saat ini bergantung pada bantuan dana konsorsium Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang memberi bantuan USD13,9 miliar. 

Dari segi isi, Konstitusi yang akan direferendumkan pada minggu ini memiliki banyak hal yang bertolak belakang dari isi Konstitusi 2012 yang saat ini dibekukan. Draf Konstitusi 2013 ini secara umum kembali meletakkan militer sebagai bagian dalam proses politik negara, meskipun ada beberapa hak perempuan, minoritas, kesehatan atau pendidikan yang dianggap ada perbaikan. Draf Konstitusi baru juga memiliki affirmative policy bagi kelompok-kelompok minoritas dan pekerja untuk mendapatkan kursi di parlemen dalam periode pertama Konstitusi ini diberlakukan. 

Sementara itu, aturan yang paling keras adalah pelarangan menggunakan agama sebagai dasar aktivitas politik partai. Konstitusi yang baru ini jelas-jelas menambah tekanan kepada Freedom and Justice Party yang didirikan oleh Muslim Brotherhood yang telah dilarang keberadaannya. Partai yang menggunakan dasar agama, khususnya agama Islam, sebetulnya bukan hanya PKK, melainkan juga ada Partai Salafi yang sebelumnya adalah koalisi dari PKK. Partai Salafi sendiri menerimavKonstitusi tersebut karena menguntungkan posisi mereka juga sebagai partai yang memiliki dukungan muslim terbesar di Mesir. 

Konstitusi baru juga menghilangkan doktrin Sunni sebagai sumber interpretasi hukum syariah. Interpretasi tetap akan merujuk pada sumber-sumber tertulis agama, namun akan dilakukan dandiputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan penting lainnya adalah peranan angkatan bersenjata dalam pemerintahan. Misalnya kedudukan menteri pertahanan sebagai panglima angkatan bersenjata. 

Dalam Konstitusi tahun 2012, menteri pertahanan selaku panglima angkatan bersenjata dipilih langsung oleh presiden, sementara pada draf Konstitusi 2013 ada pasal transisi di mana penetapan menteri pertahanan harus mendapat persetujuan dari Mahkamah Militer (Supreme Council of Armed Forces) dan berlaku selama dua periode kepresidenan seandainya Konstitusi 2013 disetujui oleh rakyat. Militer juga akan dilibatkan dalam penyusunan anggaran pertahanan dan keamanan di mana dalam Konstitusi 2012, angkatan bersenjata hanya menjadi mitra dalam konsultasi tentang anggaran belanja militer. 

Dalam Konstitusi 2012, penduduk sipil dapat diajukan ke pengadilan militer bila mereka mengganggu fasilitas-fasilitas militer. Namun dalam Konstitusi 2013, gangguan mengenai fasilitas ini didefinisikan lebih detail, luas, dan kemungkinan bebas interpretasinya atau karet. Misalnya kejahatan konspirasi atau melawan petugas yang sedang melakukan tugas mereka. Hal ini dapat masuk dalam semua tindakan demonstrasi baik yang bersifat politik maupun ekonomi seperti unjuk rasa serikat buruh atau kelompok hak asasi manusia. 

Perubahan-perubahan itu, khususnya yang terkait dengan kembalinya militer, juga menjadi dasar bagi kelompok-kelompok lain selain Muslim Brotherhood yang ikut mengampanyekan penolakan terhadap Konstitusi yang baru. Pihak luar negeri juga merasa waswas dengan kembalinya militer dalam politik, karena rasa pesimistis bahwa itu akan membawa kestabilan politik jangka panjang. Beberapa pihak memandang bahwa rezim militer dan Muslim Brotherhood adalah dua sosok yang sama karena menggunakan kekerasan dan ancaman untuk menentang lawan-lawan politik mereka. 

Dunia sangat menanti hasil dari referendum ini, karena Mesir dalam sejarah adalah negara yang juga aktif berperan dalam perdamaian di Timur Tengah. Sebagai salah satu sahabat lama dari Mesir, Indonesia hanya bisa berharap yang terbaik dari proses referendum di Mesir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar