Machiavellianisme
Ariel Sharon
Tom Sapta Atmaja ; Alumnus Seminari St Vincent de Paul
dan STFT Widya
Sasana Malang
|
KORAN
SINDO, 15 Januari 2014
“Wars begin when you will,
but they do not end when you please” (Perang mulai
jika Anda memang mau dan tidak akan berakhir selama kau senang) Niccolo
Machiavelli (1469–1527) Akhirnya Ariel Sharon meninggal dunia dalam usia 85
tahun pada 11 Januari 2014 setelah menderita stroke dan koma selama 8 tahun.
Tokoh yang lahir dengan nama Ariel Scheinermann (Shinerman) di Kfar Malai, Palestina, 26Februari 1928 itu jelas merupakan tokoh besar dalam sejarah Israel modern. Karier militer dan politiknya membentang panjang sejak ia berumur 17 tahun. Puncaknya, ia pernah menjadi perdana menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006. Banyak hal bisa ditulis tentang sosok yang terkenal karena keterlibatannya dalam Perang Enam Hari 1967 dan Perang Yom Kipur 1973. Namun satu hal sudah pasti, sosok ini berani menghalalkan semua cara untuk meraih kemenangan di bidang militer atau politik. Sebagai Zionis sejati, Sharon dikenal sebagai raja tega dan jagal yang tanpa belas kasihan membunuh semua musuh Israel. Misalnya ia merupakan pelaku pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953 yang menewaskan 96 orang Palestina. Dia juga merupakan aktor intelektual pembantaian Sabra dan Shatiladi selatan Beirut Libanon pada 1982, semasa menjabat sebagai menteri pertahanan Israel. Selama tiga hari dimulai pada 16 September 1982 ratusan pria, wanita, dan anak-anak dibantai di kedua kamp pengungsi itu. Dia pun digelari sebagai Jagal dari Beirut. Tak mengherankan bila kematian Sharon dirayakan di kedua kamp tersebut. Adagium di atas rasanya tepat untuk menggambarkan aksi brutal Sharon yang tak mengenal belas kasihan. Bahkan bukan hanya adagium itu yang cocok untuk menggambarkan sosoknya, segenap filsafat politik yang tertuang dalam Il Principe (Sang Penguasa) karya Machiavelli pada 1513 pun rasanya memang cocok untuk melukiskan kebiadaban Sharon. Tentu pengaitan ini bukan tanpa dasar. Kalau sudah membaca artikel “What Machiavelli (A Secret Jew?) Learned From Moses” karya Michael Ledeen (www.jewishworldreview.com), kita akan percaya ada kaitan, bahkan ikatan, antara ajaran Machiavelli dengan para pemimpin Israel seperti Sharon. Dalam artikel itu, Machiavelli digambarkan lebih bersimpati pada ajaran Yahudi daripada ajaran Kristen. Bahkan dia sangat benci dengan peran politik Gereja Katolik pada zamannya. Malah seperti ditulis Ledeen, bisa-bisa Machiavelli merupakan sosok Yahudi yang menyembunyikan identitasnya atau setidaknya punya simpati khusus untuk Yahudi. Indikasinya, Machiavelli ternyata begitu mengidolakan kepemimpinan Musa dan lebih condong pada nilai-nilai keutamaan (virtu) Yahudi. Machiavelli juga tidak pernah berpikir tentang kebaikan, kejujuran atau keadilan yang merupakan nilai moral, tetapi dia lebih berpikir pada tekad, kemantapan, kekuatan, keberanian seorang pemimpin untuk bertindak tanpa ragu-ragu sesuai dengan apa yang diyakini. Untuk itu seperti tertuang dalam Il Principe, Machiavelli menekankan pentingnya pemimpin mempertahankan kekuasaan dan memantapkannya tanpa direcoki pertimbangan moral. Politik harus cerai dari moral. Demi melanggengkan kekuasaan, segala risiko dan cara dihalalkan, termasuk mencabut nyawa orang sekalipun. Dan semua dilakukan demi negara. Nah ajaran politik seperti itu rasanya memang sinkron dengan sepak terjang Sharon, baik di bidang militer ataupun politik. Berbagai kecaman masyarakat dunia, termasuk Sekjen PBB, Paus atau para pemikir, tidak pernah digubris Sharon. Nyawa warga Palestina tak ada harganya di mata Sharon atau para pemimpin Israel yang mewarisi ide-idenya. PBB bisa meneken resolusi atau masyarakat dunia bisa berdemo sambil menyampaikan sumpah serapah, tapi para pemimpin Israel seperti Sharon juga Machiavelli lebih mematuhi argumentasi dan keyakinan sendiri. Dan argumentasi atauk eyakinan mereka ada pada ajaran Musa. Dalam artikel Michael Ledeen, Machiavelli memang mengajak kita membaca Alkitab Perjanjian Lama (Taurat) secara cermat dan kita akan tahu bahwa Musa pun dipaksa untuk membunuh sekalipun ada hukum jangan membunuh mengingat suatu keadaan yang sangat pelik. Ketika bangsa Israel menyembah lembu emas, Musa menjadi geram dan menyuruh membunuh. Pada hari itu kira-kira ada 3.000 orang dibunuh (Exodus 32:25-28). Menurut Machiavelli, jika Musa berkata kepada para penyembah berhala “Mari kita bernegosiasi,” maka Musa akan gagal. Jadi Machiavelli tidak bermaksud menyuruh kita berbuat jahat, tetapi dia ingin menegaskan: ”If you lead, there will be occasions when you will have to do unpleasant, even evil things, or to be destroyed” (jika Anda menjadi pemimpin, akan ada kesempatan ketika Anda harus melakukan hal-hal yang buruk dan tidak menyenangkan, atau kalau itu tidak Anda lakukan, Anda termasuk negara Anda akan dibinasakan). Nasihat itu yang dipatuhi Sharon dan para penggantinya. Kita ingat tentunya ketika Israel melakukan agresi ke Gaza, markas Hamas, yang sempat menggemparkan dunia pada 2008. Konon Israel hanya mencoba membela diri dari roket-roket yang terus diluncurkan Hamas. Namun sejatinya semua agresi atau pencaplokan tanah Palestina untuk permukiman Yahudi oleh pemerintah Israel hanyalah merupakan implementasi dari pesan-pesan Machiavelli di atas. Padahal, agresi Israel atau pembangunan permukiman baru bagi Yahudi di bumi Palestina seperti di Yerusalem Timur, jika dilakukan terus, justru akan menjadi bumerang dan jelas tidak akan menjamin masa depan yang aman bagi Israel. Merespons kematian Sharon, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menekankan pada Sabtu (11/1/2014) bahwa tidak akan ada kesepakatan damai dengan Israel tanpa kesepakatan atas Yerusalem (Sindonews.com, 12/1). Demikian juga dengan Hamas. Pada awal 2009, juru bicara Hamas di Dewan Legislatif Palestina Musheir al-Masri pernah menyatakan, bila Israel semakin agresif, serangan roket Hamas justru akan semakin terus dilancarkan. Di sinilah ada defisit atau kelemahan fundamental dalam ajaran Machiavelli yang diyakini Sharonataupara pemimpinIsrael saat ini. Kebrutalan Machiavelli yang hanya menomorsatukan raison d’etat (kepentingan negara) atau kebrutalan agresor Israel yang hanya memikirkan eksistensi Israel dengan mengeksklusi eksistensi Palestina, khususnya Hamas, atau rencana untuk membunuh Presiden Palestina Mahmoud Abbas (rumor yang baru saja santer diberitakan media dunia) ternyata jelas membuat perdamaian menjadi makin sulit diupayakan hingga kini. Jangan lupa sebuah kekuasaan yang hanya dilandasi kebrutalan seperti ditunjukkan Sharon, menurut filsuf Yahudi Hannah Arendt (1906–1975), tidak akan pernah stabil dan aman. Kalau toh ada stabilitas dan rasa aman, itu hanya semu dan tidak lama. Apakah Israel bisa disebut negeri yang damai jika para warganya terus takut menjadi korban bom bunuh diri atau korban roket Hamas? Maka perdamaian antara Israel-Palestina selalu bersifat fragile alias mudah patah. Maka sepeninggal Sharon, para pemimpin Israel perlu menguburkan segala pemikiran dan kebijakan yang bercorak machiavellianistis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar