Minggu, 05 Januari 2014

Menebar Fenomena Artidjo

                                      Menebar Fenomena Artidjo

Achmad Fauzi   ;   Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel;
Penulis buku Anasir Kejahatan Peradilan
JAWA POS,  31 Desember 2013

                                                                             


ARTIDJO Alkostar bertubuh kecil, tapi bernyali tinggi. Pada pengujung 2013, hakim agung berdarah Madura itu menumbuhkan semangat baru dalam pemberantasan korupsi. ''Jika perlu, perampok uang rakyat itu dihukum mati,'' tegasnya. Rekam jejaknya yang cemerlang di dunia peradilan membuat sosok Artidjo acap diperbincangkan di kalangan hakim. Dia menjadi oase di tengah absennya kepemimpinan hukum. Sikapnya yang menolak penghargaan dari almamaternya, Universitas Islam Indonesia (UII), juga menegaskan sosoknya sebagai penjaga etika hakim. 

Sepanjang menangani kasus di Mahkamah Agung (MA), Artidjo kerap melahirkan putusan yang bernilai pembaruan dan berefek jera. Mulai kasus malapraktik kedokteran hingga korupsi kelas kakap yang melibatkan elite kekuasaan. Wajar jika koruptor yang divonis di pengadilan judex facti (hakim pemeriksa fakta di PN dan PT) mulai enggan mengajukan kasasi lantaran takut hukumannya diperberat. Biasanya perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama sampai MA hampir sama jumlahnya, perkara pun menumpuk.

Semangat Artidjo melawan kejahatan kerah putih tecermin dalam putusannya terhadap perkara korupsi di Kemenpora serta Kemendiknas dengan terdakwa Angelina Sondakh. Hukuman Angie diperberat tiga kali lipat oleh majelis kasasi yang dipimpin Artidjo dengan vonis pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan plus uang pengganti sekitar Rp 40 miliar.

Artidjo lebih dari sosok. Dia adalah tanda, fenomena, dan personifikasi semangat yang menjelaskan arah baru penegakan hukum. Sebagai fenomena, tentu ''Artidjo effect'' memiliki kontribusi bagi penguatan persepsi hakim dalam memandang bentuk-bentuk kejahatan yang menjadi persoalan utama negara-negara di dunia. Apalagi persepsi hakim memiliki garis linear dengan kecenderungan putusan. Dalam perkara korupsi, misalnya, jika hakim melihat dampaknya sebagai kemungkinan yang tak terlalu genting untuk diperhatikan, vonis terhadap koruptor akan cenderung rendah. 

Fenomena Artidjo sebagai realitas hukum, tidak dimungkiri, telah memengaruhi arus utama penegakan hukum. Sejumlah hakim mulai berkiblat dan mengikuti jejak Artidjo. Beberapa waktu lalu majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider setahun kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Djoko juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 32 miliar. 

Hukuman terhadap Djoko itu menjadi pertanda (mudah-mudahan bukan yang terakhir) bahwa pengadilan tipikor yang selama ini terkesan memupuskan harapan pemberantasan korupsi lambat laun mewujudkan supremasi melalui putusan yang mengandung efek jera. Putusan tersebut juga mematahkan argumentasi bahwa hakim tak ubahnya cerobong undang-undang yang memperlakukan pasal-pasal sebagai aturan mati.

Pengamat ekonomi UGM Rimawan Pradiptyo pernah memaparkan konsep menarik tentang matematika korupsi yang membangkrutkan negara. Berdasar hasil penelitian P2EB FEB UGM, merujuk pada putusan MA pada 2001-2012, biaya penanganan korupsi yang harus ditanggung negara mencapai Rp 168,19 triliun. Sementara itu, nilai hukuman pidana tambahan melalui uang pengganti yang harus dibayar koruptor hanya Rp 15,09 triliun. Artinya, selisih biaya penanganan korupsi Rp 153,1 triliun harus ditanggung negara melalui pajak rakyat. Singkatnya, koruptor di negeri ini cenderung dimanjakan karena menerima subsidi dari rakyat. Hal itulah yang menjadi kegetiran kita bersama. 

Supaya kerugian negara bisa teratasi, ke depan syarat dan ketentuan pidana uang pengganti harus diatur secara lebih ketat. Terpidana tidak boleh diberi ruang untuk memilih kurungan daripada membayar uang pengganti sebelum dipastikan yang bersangkutan benar-benar tidak mampu menunaikannya. Bila dalam tempo sebulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata terpidana tidak membayar uang pengganti, jaksa harus bertindak aktif menyita dan melelang harta bendanya untuk menutupi uang pengganti. Langkah itu merupakan upaya paksa pengambilalihan hak kepemilikan melalui putusan pengadilan. 

Sepatutnya kecenderungan hukuman berat tidak hanya diterapkan dalam perkara korupsi. Konsistensi ''Artidjo effect'' juga harus merembesi jiwa hakim dalam mengadili perkara-perkara kejahatan kekerasan dan pembunuhan, juga penjual narkoba, yang notabene masuk dalam kategori pidana berat. 

Pembunuhan berencana merupakan kejahatan serius yang kerap terjadi di negeri ini. Rasanya nyawa kian murah untuk dilenyapkan. Jarang hakim memberikan hukuman yang setimpal dengan hilangnya nyawa itu. Peristiwa yang paling fenomenal adalah meninggalnya aktivis HAM Munir yang dibunuh di pesawat dengan diracun arsenik yang dicampur ke makanan. Putusan akhir kasus-kasus hukum seperti itu seyogianya tidak mengingkari hati nurani dan kental akan nilai keadilan. Hakim harus menyadari bahwa kejahatan merampas nyawa manusia lain secara terencana tersebut maksimal diancam hukuman mati.Karena itu, hakim jangan bersikap parsial: garang kepada koruptor, tapi melempem mengadili tindak pidana berat lainnya. 

Bertindak keras kepada koruptor dan perampas nyawa orang lain serta penjual narkoba punya tujuan mulia yang sama, yakni melindungi kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar