Sabtu, 18 Januari 2014

Mencegah Penyiksaan Ginjal Masal

Mencegah Penyiksaan Ginjal Masal

Djoko Santoso  ;  Nukilan orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar di FK Unair,
Sabtu, 18 Januari 2014
JAWA POS,  18 Januari 2014
                                                                                                                        


GINJAL adalah organ penting tubuh yang menjalankan banyak fungsi vital. Kegagalan menangani beberapa penyakit seperti hipertensi, kencing manis, gangguan jantung, kegemukan, batu ginjal, atau konsumsi obat-obatan seenaknya akan bermuara ke gagal ginjal atau gagal ginjal kronis (GGK). Menakutkan. 

Di Amerika Serikat yang sudah maju saja, 16 persen populasi dewasanya menderita penyakit ini, dengan kematian utamanya dari penyakit kardiovaskuler 52 persen (Foley RN, 2003). Dengan memproyeksikan angka prevalensi di AS, diperkirakan lebih dari 24 juta penduduk Indonesia saat ini menderita GGK, yang terbagi dalam tiga kategori: ringan, menengah, dan berat. 

Bagi kebanyakan orang, membayangkan melakukan hemodialisis atau cuci darah secara rutin adalah hal yang menakutkan, apalagi menyangkut biayanya. Sedihnya, perkembangan teknologi mahal seperti ini tidak menurunkan angka kematian. 

Di sisi lain, kemajuan teknologi kedokteran dan farmasi ini menghabiskan investasi yang sangat besar, antara lain untuk riset dan pengembangan (R & D). Karena negara tidak sanggup menangani semuanya, peran ini diambil alih oleh swasta, oleh kalangan industri peralatan kesehatan dan farmasi. Beban investasi inilah yang pada gilirannya dibebankan ke pasien. Maka, pengobatan untuk penyakit ginjal kronis, apalagi pada stadium akhir, mahal. 

Pada akhirnya, pasien GGK penikmat layanan pengobatan dengan teknologi mutakhir hanyalah pasien yang berkantong tebal. Cuci darah rutin, misalnya, mustahil bisa dinikmati oleh kalangan miskin kecuali dengan subsidi negara.

Tidak bisa tidak, perlu pendekatan yang lebih komprehensif. Targetnya bukan hanya untuk menurunkan angka kematian pasien gagal ginjal kronis, tetapi juga menurunkan peluang terjadinya sakit ginjal kronis pada orang yang belum terkena. Sayangnya, arus kedokteran pencegahan dan kedokteran komunitas cenderung ditinggalkan, barangkali dianggap kurang menarik. 

Sumber daya saat ini lebih banyak dihabiskan pada usaha pengobatan penyakit akut (menunda kematian dengan kualitas hidup yang menyedihkan). Celakanya, kondisi ini dilanggengkan oleh sistem pendidikan kedokteran di perguruan tinggi dan pendidikan di rumah sakit. 

Prevalensi penyakit apa pun -termasuk penyakit ginjal kronis - sebaiknya dipandang sebagai kegagalan terhadap penanganan masalah sosio-ekonomi. Tidak ada satu penyakit yang ditimbulkan oleh penyebab tunggal. Meskipun melibatkan agen dan proses biologis, penyakit ginjal kronis itu tidak bisa dipisahkan dari setting sosialnya. GGK adalah ekses masalah sosial. 

Sekarang ini masyarakat makin gemar melahap makanan asin. Seseorang hanya butuh hanya butuh 3-4 gram garam sehari kalau ingin sehat. Lebih dari itu, garam natrium akan membuat ginjal kewalahan merespons dan berakibat naiknya tekanan darah. Jika kondisi ini berjalan terus tanpa berhenti, efeknya akan mempercepat ke gagal ginjal kronis dan berujung pada cuci darah (hemodialisis) yang menakutkan. 

Peningkatan pendapatan menghasilkan pola makan yang makin buruk, termasuk menyasar generasi rentan, anak-anak. Selain maniak garam, masyarakat juga makin terbiasa menelan makanan rendah serat. Sebaliknya, mereka malah rakus makanan berkadar gula dan karbohidrat yang berlebihan. Industri membanjiri produk snack yang hampir semuanya berlebihan gula, garam, dan karbohidrat. Jaringan restoran cepat saji negeri asing dengan cepat merambah di lokasi strategis di tiap kota. Begitu juga serbuan minuman energi, tinggi kalori, dan berkarbonasi. Semua boleh dikatakan "menyiksa" ginjal.

Didorong iklan audio visual yang menggiurkan, bintang iklan cewek cantik menggoda dan lelaki maco, dan ditayangkan tanpa henti di televisi, terjadilah pergeseran kultur konsumsi masyarakat. Dengan makan ayam goreng junk food, meneguk minuman energi "lelaki banget", atau ngemil chip gurih, orang yang bermental minder dan negara asing minded merasa telah naik gengsi. Sekarang warga pelosok pun telah terjangkiti penyakit sosial sok gengsi ini. 

Perubahan gaya hidup ini menumbuhkan budaya baru, yaitu kebiasaan dan kesenangan mengonsumsi maka­nan-minuman dengan kandungan zat-zat yang potensial memicu kerusakan ginjal. Coba bayangkan, dalam sebuah iklan di televisi, aktor lelaki maco dengan mantap berkata, "Heran, tiap hari minum xxx, energi saya makiiin bertumbuuuh!" Tentu sang aktor akan lebih heran lagi jika sekian tahun kemudian ginjalnya (dan orang yang mengikutinya) rusak. Lebih gila lagi, ada acara TV live yang mempertontonkan lomba rakus-rakusan. Siapa yang paling banyak melahap makanan, sampai hampir muntah, dialah juaranya. Sangat mengherankan acara primitif ini bisa lolos tayang oleh Komisi Penyaiaran Indonesia.

Kerakusan konsumsi yang memicu rusaknya ginjal dan organ lain ini bukanlah keputusan individual. Tetapi merupakan produk sosial yang direkayasa raksasa industri makanan-minuman dan ditunjang oleh lemahnya (bahkan tiadanya) kontrol negara. Faktor medis kedokteran dengan segala teknologi supermahal seperti hanya berperan sebatas "pemadam kebakaran". 

Maka, mengenali lingkungan sosio-ekonomi yang berpotensi memicu jumlah penderita gagal ginjal dan kemudian mereformasinya dengan ketegasan kebijakan negara merupakan strategi yang realistis, tidak sulit dilakukan, dan rendah biayanya. Marilah kita "hijrah" dan canangkan paradigma baru: menuju kesehatan berbasis pencegahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar