Sabtu, 18 Januari 2014

Keberuntungan dari Ketidakberuntungan

Keberuntungan dari Ketidakberuntungan

Rhenald Kasali  ;  Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS,  18 Januari 2014
                                                                                                                        


KALAU Anda sedikit bertanya-tanya soal judul tersebut, saya maklum. Semula saya ingin membuat judul yang lebih panjang dengan menambahkan kalimat yang bernada sebaliknya: Keberuntungan dari Ketidakberuntungan dan Ke­tidakberuntungan dari Keberuntungan. Makin bingung? 

Maksudnya begini. Saya baru saja membaca buku baru dari Malcom Gladwell. Judulnya David and Goliath: Underdogs, Misfits, and the Art of Battling Giants. Buku itu sangat memikat. Mungkin kita bisa langsung memulainya dari cerita utama dalam buku tersebut, yakni pertarungan David versus Goliath.

Saya tidak ingin terlalu detail karena sebagian di antara Anda pasti sudah pernah mendengar cerita tersebut. Intinya adalah Da­vid, seorang bocah gembala berbadan kecil (mewakili simbol segala sesuatu yang dianggap lemah dan tidak beruntung), mampu mengalahkan sosok raksasa yang jauh lebih tinggi dan besar, Goliath (simbol segala sesuatu yang dipercaya unggul). David mewakili pasukan Israel, sedangkan Goliath adalah wakil tentara Filistin yang saat itu begitu perkasa.

Goliath memiliki peralatan yang lengkap. Ia memakai helm perang dari perunggu, baju zirah seberat hampir 100 pon, serta membawa lembing, tombak, dan pedang. Goliath juga memiliki pembantu yang membawakan perisainya.

Sementara itu, David sama sekali tidak membawa senjata tajam. Senjatanya hanya ketapel dan beberapa buah batu. Dia menolak diberi seragam perang dari logam yang bisa membuatnya tidak lincah bergerak. Itu mengingatkan saya pada sahabat-sahabat petani di Rumah Perubahan yang menolak bekerja dengan memakai seragam serta alas kaki.

Mengapa David dan mengapa Goliath? Filistin sebagai penyerang punya jagoan yang memiliki daya sihir kuat. Begitu ditampilkan, lawan langsung tergetar. Lalu, mengapa David jawabannya? Sebab, tidak ada prajurit Israel yang bisa mengimbangi Goliath. Bahkan, mereka semua terdiam. Karena itulah, bocah gembala tersebut menyiarkan dirinya.

Hasil pertarungan tersebut, kita semua sudah tahu.

Melalui kisah klasik itu, Gladwell mengajak kita merenung kembali bahwa kita tidak selalu mampu memanfaatkan keberuntungan seperti yang dimiliki Goliath. Tentara yang sudah berpengalaman berperang, tinggi besar, dan didukung peralatan perang yang lengkap ternyata kalah. Keberuntungan yang dimiliki justru berbuah menjadi ketidakberuntungan.

Sebaliknya, posisi kurang beruntung dimiliki David. Dia hanya seorang gembala yang sama sekali tidak memiliki pengalaman berperang, tidak berpengalaman menggunakan senjata. Dia hanya bermodal ketapel. Meski begitu, ternyata David memenangi pertarungan tersebut. Dia bisa mengubah ketidakberuntungan menjadi keberuntungan.

Dalam buku tersebut, Gladwell mengajak kita merenung agar tidak salah memahami bahwa sesuatu yang semula kita maknai sebagai keberuntungan ternyata malah bukan. Atau, sesuatu yang semula kita anggap sebagai ketidakberuntungan ternyata malah bisa berbalik menjadi keberuntungan.

Kehidupan ini kaya dengan asimetri. Jika kita berpikir dengan cara-cara yang biasa, semestinya yang menang dalam pertarungan tersebut adalah Goliath. Ia siap bertarung jarak dekat dengan mengandalkan sosoknya yang besar, tenaga yang kuat, serta peralatan yang lengkap. Namun, David memilih menghadapinya dengan cara yang lain. Yakni, bertempur jarak jauh serta mengandalkan kelincahan, kecepatan, dan akurasi. Akhirnya, Goliath tumbang.

Melalui inspirasi kasus David versus Goliath itu, kita bisa belajar tentang asimetri-asimetri yang lain dalam kehidupan. Misalnya, yang terjadi dalam kasus penyerbuan tentara Amerika Serikat (AS) ke Vietnam. Kalau mau dibandingkan, kekuatan persenjataan Vietnam pasti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan AS. Karena itu, kalau yang terjadi adalah simetri, semestinya AS bisa mudah menaklukkan Vietnam.

Namun, hal itu ternyata hanya terjadi dalam film-film buatan Holywood. Dalam dunia nyata, yang terjadi adalah asimetri. AS gagal menaklukkan Vietnam -kalau tidak mau dibilang kalah. Caranya sangat sederhana. Tentara Vietkong bersembunyi dalam lubang-lubang kecil di bawah pohon mirip jalan tikus.

Meski begitu, harus diakui, tidak banyak di antara kita yang mampu membalik ketidakberuntungan menjadi keberuntungan. Malah sebaliknya, kita sering membuang-buang kesempatan seperti saat menghadapi perlambatan ekonomi dewasa ini. Merasa lemah sebagai pelaku usaha kecil, tak punya cukup modal, kurang ganteng, mengidap penyakit menahun, kurang sempurna, dan sebagainya.

Semoga kasus David v Goliath mampu membuka mata dan hati kita untuk memahami bahwa keberuntungan atau ketidakberuntungan sesungguhnya ada pada cara kita memandang serta menyikapi keadaan kita dan sekitar kita.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar