Kamis, 09 Januari 2014

Membumikan Basis Ilmiah IPCC

                              Membumikan Basis Ilmiah IPCC

Edwin Aldrian  ;   Ahli Peneliti Utama Meteorologi Klimatologi,
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG
KOMPAS,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


TANGGAL 27 September 2013 dini hari, para wakil negara-negara menyetujui laporan kajian IPCC kelima untuk basis ilmiah pada sidang sesi 36 IPCC di Stockholm, Swedia. Laporan kajian ini adalah yang terkini setelah laporan kajian IPCC keempat yang mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007.

IPCC atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim merupakan badan PBB yang melaporkan kajian ilmiah pemanasan global dan perubahan iklim. Laporan IPCC bagian basis ilmiah yang baru dikeluarkan akan diikuti laporan kajian bagian adaptasi dan mitigasi tahun 2014. Dalam ringkasan laporan dicantumkan data dan bukti baru yang memperkuat hasil kajian sebelumnya bahwa pemanasan global benar terjadi.

Ketiga bagian laporan kajian IPCC disusun setelah pembentukan pengurus IPCC tahun 2008, diikuti pertemuan sesi IPCC di Bali tahun 2009 yang menentukan secara umum topik apa yang akan menjadi isi laporan kajian kelima. Setelah itu, dipilih para pakar yang mewakili negara untuk mengisi 14 bab laporan basis ilmiah. Terdapat sekitar 200 pakar iklim dunia yang menjadi penulis utama (lead author), dibantu oleh penulis kontributor dan editor penelaah yang total berjumlah sekitar 400 pakar.

Penulisan laporan kajian berlangsung sejak 2009 melalui proses ketat, terlebih setelah IPCC terkena skandal kebocoran e-mail dari pusat riset iklim di Inggris pada 2010. Semua dokumen ditelaah dengan software antiplagiat, lalu referensi diambil secara ketat dari hasil jurnal ilmiah internasional terakreditasi. Draf laporan disusun empat kali dan selalu mendapat telaah dari wakil negara secara terbuka. Hasil telaah harus dijawab penulis utama lewat portal IPCC agar diketahui publik. Sebagai wakil satu satunya Asia Tenggara, penulis menemukan minimnya hasil kajian regional yang layak dipakai dalam laporan.

Metode baru

Laporan kajian IPCC kelima menampilkan metode baru dalam teknik pemodelan dengan memasukkan unsur dinamika vegetasi serta interaksi aerosol dan iklim. Selain itu, juga memakai resolusi lebih tinggi dibandingkan dengan kajian sebelumnya serta memakai jenis skenario proyeksi iklim baru representative concentration pathway (RCP) menggantikan skenario SRES.

Seperti laporan sebelumnya, kajian IPCC bersifat policy descriptive not policy prescriptive(memberikan gambaran kebijakan bukan mengarahkan kebijakan), atau hasil kajian ini bebas nilai dari kepentingan kebijakan serta politik dan hanya menampilkan aspek ilmiah dari perubahan iklim. Diharapkan hasil kajian kelima IPCC ini dapat menjadi acuan perundingan iklim hingga 2020 saat kelanjutan dari kesepakatan Kyoto kedua berakhir.

Isi dari kajian kelima IPCC menunjukkan aspek regional yang lebih besar dibandingkan dengan kajian sebelumnya. Hal ini memperkuat laporan tahunan dari Badan Laut dan Atmosfer Amerika (NOAA) serta Badan Meteorologi Dunia (WMO) tentang kondisi iklim terkini: tingkat pemanasan global yang semakin parah dan kondisi ekstrem semakin tinggi intensitasnya.

Untuk Indonesia, tentu saja hasil kajian memberikan warna baru dalam perundingan perubahan iklim global, seperti perubahan musim dan kondisi El Nino ke depan. Selain itu, hasil pemantauan karbon dioksida di Mauna Loa yang sudah menembus angka 400 ppm awal tahun ini merupakanwake up call sekaligus batas psikologis negosiasi. Indonesia juga mengamati kondisi gas rumah kaca ambien pada 4 dari 6 spesies gas rumah kaca yang ditentukan IPCC. Di stasiun pemantau atmosfer global Bukit Koto, Tabang, Sumatera Barat, telah diukur kondisi gas rumah kaca sejak 2004 dengan bantuan NOAA.

Indonesia juga boleh berbangga dengan hasil riset penurunan tutupan lapisan es abadi di puncak Jayawijaya, Papua. Pengamatan gas rumah kaca dan tutupan lapisan es memberikan bukti basis ilmiah perubahan iklim di Indonesia yang khas. Parameter lain yang umum menjadi parameter acuan pemanasan global dan perubahan iklim adalah peningkatan paras muka laut dan peningkatan suhu bumi.

Di luar bukti-bukti tersebut, sudah lama menjadi perdebatan para pakar apakah benar aktivitas manusia telah atau dapat meningkatkan gas rumah kaca di atmosfer sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Pembuktian praktis untuk pernyataan tersebut sangat sulit karena hampir mustahil mengisolasi suatu wilayah dan menjadikannya tanpa aktivitas manusia pada suatu periode.

Indonesia unik karena ada suatu wilayah di Indonesia yang terisolasi dari aktivitas manusia selama 30 jam. Pada perayaan Nyepi di Pulau Bali, hal ini dapat terjadi. Dari hasil pemantauan gas rumah kaca saat Nyepi 2013 di lima lokasi di Pulau Bali ditemukan bahwa penurunan gas rumah kaca sebesar 33 persen ketimbang sebelum dan sesudah hari Nyepi.

Dengan segala keunikannya, Indonesia dapat berperan aktif pada kancah perubahan iklim dunia, baik dalam penguatan basis ilmiah maupun dalam negosiasi perubahan iklim. Berbagai data dan fakta tersebut menunjukkan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim yang diakibatkannya telah dan akan terus terjadi. Adalah tugas kita bersama untuk mengatasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar