Membumikan
Basis Ilmiah IPCC
Edwin Aldrian ;
Ahli
Peneliti Utama Meteorologi Klimatologi,
Kepala Pusat Perubahan Iklim
dan Kualitas Udara BMKG
|
KOMPAS,
08 Januari 2014
TANGGAL 27 September 2013 dini
hari, para wakil negara-negara menyetujui laporan kajian IPCC kelima untuk
basis ilmiah pada sidang sesi 36 IPCC di Stockholm, Swedia. Laporan kajian
ini adalah yang terkini setelah laporan kajian IPCC keempat yang mendapatkan
Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007.
IPCC atau Panel Antarpemerintah
tentang Perubahan Iklim merupakan badan PBB yang melaporkan kajian ilmiah
pemanasan global dan perubahan iklim. Laporan IPCC bagian basis ilmiah yang
baru dikeluarkan akan diikuti laporan kajian bagian adaptasi dan mitigasi
tahun 2014. Dalam ringkasan laporan dicantumkan data dan bukti baru yang
memperkuat hasil kajian sebelumnya bahwa pemanasan global benar terjadi.
Ketiga bagian laporan kajian IPCC
disusun setelah pembentukan pengurus IPCC tahun 2008, diikuti pertemuan sesi
IPCC di Bali tahun 2009 yang menentukan secara umum topik apa yang akan
menjadi isi laporan kajian kelima. Setelah itu, dipilih para pakar yang
mewakili negara untuk mengisi 14 bab laporan basis ilmiah. Terdapat sekitar
200 pakar iklim dunia yang menjadi penulis utama (lead author), dibantu oleh
penulis kontributor dan editor penelaah yang total berjumlah sekitar 400
pakar.
Penulisan laporan kajian
berlangsung sejak 2009 melalui proses ketat, terlebih setelah IPCC terkena
skandal kebocoran e-mail dari pusat riset iklim di Inggris pada
2010. Semua dokumen ditelaah dengan software antiplagiat, lalu
referensi diambil secara ketat dari hasil jurnal ilmiah internasional
terakreditasi. Draf laporan disusun empat kali dan selalu mendapat telaah
dari wakil negara secara terbuka. Hasil telaah harus dijawab penulis utama
lewat portal IPCC agar diketahui publik. Sebagai wakil satu satunya Asia
Tenggara, penulis menemukan minimnya hasil kajian regional yang layak dipakai
dalam laporan.
Metode baru
Laporan kajian IPCC kelima
menampilkan metode baru dalam teknik pemodelan dengan memasukkan unsur
dinamika vegetasi serta interaksi aerosol dan iklim. Selain itu, juga memakai
resolusi lebih tinggi dibandingkan dengan kajian sebelumnya serta memakai
jenis skenario proyeksi iklim baru representative concentration
pathway (RCP) menggantikan skenario SRES.
Seperti laporan sebelumnya, kajian
IPCC bersifat policy descriptive not policy prescriptive(memberikan
gambaran kebijakan bukan mengarahkan kebijakan), atau hasil kajian ini bebas
nilai dari kepentingan kebijakan serta politik dan hanya menampilkan aspek
ilmiah dari perubahan iklim. Diharapkan hasil kajian kelima IPCC ini dapat
menjadi acuan perundingan iklim hingga 2020 saat kelanjutan dari kesepakatan
Kyoto kedua berakhir.
Isi dari kajian kelima IPCC
menunjukkan aspek regional yang lebih besar dibandingkan dengan kajian
sebelumnya. Hal ini memperkuat laporan tahunan dari Badan Laut dan Atmosfer
Amerika (NOAA) serta Badan Meteorologi Dunia (WMO) tentang kondisi iklim
terkini: tingkat pemanasan global yang semakin parah dan kondisi ekstrem
semakin tinggi intensitasnya.
Untuk Indonesia, tentu saja hasil
kajian memberikan warna baru dalam perundingan perubahan iklim global,
seperti perubahan musim dan kondisi El Nino ke depan. Selain itu, hasil
pemantauan karbon dioksida di Mauna Loa yang sudah menembus angka 400 ppm
awal tahun ini merupakanwake up call sekaligus batas psikologis
negosiasi. Indonesia juga mengamati kondisi gas rumah kaca ambien pada 4 dari
6 spesies gas rumah kaca yang ditentukan IPCC. Di stasiun pemantau atmosfer
global Bukit Koto, Tabang, Sumatera Barat, telah diukur kondisi gas rumah
kaca sejak 2004 dengan bantuan NOAA.
Indonesia juga boleh berbangga
dengan hasil riset penurunan tutupan lapisan es abadi di puncak Jayawijaya,
Papua. Pengamatan gas rumah kaca dan tutupan lapisan es memberikan bukti
basis ilmiah perubahan iklim di Indonesia yang khas. Parameter lain yang umum
menjadi parameter acuan pemanasan global dan perubahan iklim adalah
peningkatan paras muka laut dan peningkatan suhu bumi.
Di luar bukti-bukti tersebut,
sudah lama menjadi perdebatan para pakar apakah benar aktivitas manusia telah
atau dapat meningkatkan gas rumah kaca di atmosfer sebagai penyebab
terjadinya pemanasan global. Pembuktian praktis untuk pernyataan tersebut
sangat sulit karena hampir mustahil mengisolasi suatu wilayah dan
menjadikannya tanpa aktivitas manusia pada suatu periode.
Indonesia unik karena ada suatu
wilayah di Indonesia yang terisolasi dari aktivitas manusia selama 30 jam.
Pada perayaan Nyepi di Pulau Bali, hal ini dapat terjadi. Dari hasil
pemantauan gas rumah kaca saat Nyepi 2013 di lima lokasi di Pulau Bali
ditemukan bahwa penurunan gas rumah kaca sebesar 33 persen ketimbang sebelum
dan sesudah hari Nyepi.
Dengan segala keunikannya,
Indonesia dapat berperan aktif pada kancah perubahan iklim dunia, baik dalam
penguatan basis ilmiah maupun dalam negosiasi perubahan iklim. Berbagai data
dan fakta tersebut menunjukkan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim
yang diakibatkannya telah dan akan terus terjadi. Adalah tugas kita bersama
untuk mengatasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar