Fatwa
yang Bermaslahat
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 05 Januari 2014
Salah satu
pemasok bahan-bahan tulisan saya adalah ibu saya (91 tahun). Sebagai aktivis
sosial yang masih aktif sampai sekarang, beliau tahu betul ”ruh” dari
tulisan-tulisan saya.
Maka beliau berlangganan berbagai koran dan kalau ada artikel yang kira-kira bisa saya jadikan tema. Beliau gunting dan kirim kepada saya. Salah satu kiriman artikelnya yang mutakhir adalah tulisan Ahmad Mursyid di harian berbahasa Inggris, Jakarta Post, 22 Desember 2013, ”The controversy over ‘Merry X’mas’: where’s the Fatwa?” Inti artikel itu adalah tentang pengharaman untuk memberi ucapan selamat Hari Natal oleh umat Islam kepada teman, kerabat, bahkan keluarga, yang beragama Kristen yang sekarang ini banyak diembuskan oleh beberapa pihak. Isu itu konon bersumber pada sebuah Fatwa MUI tahun 1981. Padahal, menurut Mursyid, fatwa itu ternyata tidak ada yang menyangkut perihal pemberian ucapan selamat Natal. Setelah membaca artikel Mursyid itu saya langsung berkonsultasi kepada mbah Google seputar Fatwa MUI 1981 yang menghebohkan itu. Ternyata berita-berita perihal fatwa tahun 1981 itu memang sangat seru. Bukan bidang saya yang awam agama ini untuk ikut-ikutan membincangkan substansi fatwa yang kontroversial itu. Tetapi saya menangkap ada yang tidak beres dalam fatwa itu. Pada 7 Maret 1981, MUI memang mengeluarkan fatwa yang ditandatangani oleh KH M Syukri dan Drs Mas’udi, masing-masing selaku ketua dan sekretaris Komisi Fatwa MUI. Benar temuan Ahmad Mursyid, bahwa isi fatwa itu sama sekali tidak terkait dengan HSN (haram selamat Natal), melainkan sebuah anjuran agar umat Islam tidak menghadiri upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh agama lain. Awalnya fatwa itu dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan pemerintah cq Menteri Agama Mayjend Alamsjah Ratoe Prawiranegara. Karena itu, sebenarnya fatwa itu tidak untuk konsumsi masyarakat dan hanya dicetak 300 lembar. Tetapi entah bagaimana, fatwa itu bocor (di republik ini, apa sih yang tidak bocor?), dan dimuat di salah satu koran (kalau tidak salah koran Pelita), dan di situlah mulainya kehebohan itu. Sebagian setuju pada fatwa itu, sebagian lagi tidak. Tetapi kehebohan itu rupa-rupanya berkembang di luar kendali, sehingga Menteri Alamsjah menyatakan mau mengundurkan diri. Alih-alih Menag yang mundur, Ketua MUI pada waktu itu, Buya HAMKA, sudah terlebih dulu mencabut fatwa itu pada 30 April 1981 (surat pencabutan ditandatangani oleh Buya HAMKA dan H Burhan Tjokrohandoko, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris MUI), yang kemudian disusul oleh pengunduran diri Buya HAMKA sendiri sebagai ketua MUI. Pengunduran diri Buya HAMKA sangat mengejutkan, karena saat itu (sampai hari ini) beliau adalah seorang ulama yang berintegritas sangat tinggi (Buya tidak pernah minta honor jutaan dan tidak punya hobi motor gede). Rupanya banyak yang belum atau tidak tahu mengenai fatwa ”heboh” 1981 dari MUI tersebut. Maka, banyak yang percaya ketika diembuskan isu tentang HSN di negeri ini, apalagi kalau dikatakan bahwa sumbernya adalah fatwa MUI. Saya pun baru tahu dari kliping yang dikirimkan oleh ibu saya itu. Baru tahu saya, bahwa ada ”pemelintiran” isu oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Kontroversi HSN masih berlangsung terus sampai sekarang. Sebagai orang yang awam agama, saya melihat isu HSN ini lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya, khususnya dalam kaitannya dengan hubungan antarmanusia, antartetangga, antarkerabat, antarsaudara dan antarwarga negara Indonesia. Dulu, semasa saya kuliah, orang santai saja saling mengucapkan selamat Natal, juga di antara yang berbeda agama. Ternyata dampaknya juga tidak ada yang negatif kok. Tidak ada yang ramai-ramai pindah agama seperti yang dikhawatirkan orang zaman sekarang. Silaturahmi antarkeluarga juga masih terjadi sampai sekarang. Salah satu sepupu istri saya menikah antaragama (sebelum dilarang oleh UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan). Keluarga mereka ”fine-fine saja”, enggak ada masalah. Setiap Natal, kami keluarga-keluarga yang muslim datang memberi ucapan selamat Natal sambil makan-makan (kami selalu datang setelah upacara kebaktian usai). Begitu juga pada saat Lebaran, keluarga-keluarga mereka yang datang ke lokasi pertemuan halal bihalal yang muslim, sambil mengucapkan minal aidin wal faizin (ucapan ini pun katanya salah! Tapi kami jalan terus saja, karena itulah yang diajarkan kepada kami turun-temurun). Juga enggak ada masalah, malah mempererat silaturahmi, yang juga diwajibkan oleh agama (Islam). Bagaimana dengan dosa di akhirat? Buat saya yang awam agama ini, saya merujuk saja pada contoh-contoh yang diberikan oleh para pemimpin bangsa Palestina. Bangsa Palestina adalah bangsa Islam yang secara riil dizalimi Israel (persis seperti yang digambarkan dalam Alquran), karena itu bangsa Indonesia mendukung sepenuhnya perjuangan mereka. Pemimpin mereka, Presiden Mahmoud Abbas, pada hari Natal lalu berjabat tangan erat, mengucapkan selamat Natal kepada Uskup Agung Betlehem, Fouad Twal. Pada 1990 mendiang Presiden Palestina Yasser Arafat menikahi Suha yang Kristen sampai akhir hayatnya, tahun 2004. Kalau isu HSN benar, kedua orang itu sudah pasti akan menjadi ahli neraka. Tetapi saya yakin Allah Mahaadil. Maka demi kemaslahatan keluarga, teman, dan kerabat saya, saya memilih untuk mengacu pada contoh dari kedua pemimpin Palestina itu. Ketimbang mengikuti arahan dari ulama-ulama lain dari Timur Tengah, yang negaranya masing-masing sudah hancur lebur karena konflik antarsekte Islam sendiri. Tugas MUI, menurut pendapat saya, adalah membuat fatwa-fatwa yang bermaslahat, bukan yang bermudarat. Wallahu a’lam bish-shawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar