Aksi
Korporasi Berujung Cerca
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Program Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 07 Januari 2014
KALI pertama dalam sejarah bisnis, aksi korporasi soal harga produk
berujung cercaan publik. Hal itu dialami PT Pertamina dan Kementerian BUMN
yang dijadikan kambing hitam gara-gara keputusan mandiri menaikkan harga gas
elpiji 12 kilogram (kg) per 1 Januari lalu menjadi Rp 117.708 (naik 67
persen). Alasannya, Pertamina merugi sekitar Rp 7 triliun berdasar temuan BPK.
Penyebab kenaikan harga elpiji ialah kondisi bahan baku elpiji di pasaran sudah mencapai Rp 10.700 per kg dan kurs rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Meskipun pemerintah akhirnya membatalkan kenaikan itu kemarin (6/1) dari Rp 50.000 menjadi Rp 12.000 per tabung, aksi korporasi Pertamina telah sempat memicu reaksi luar biasa dari berbagai pihak, bahkan menjadi objek politisasi strategis bagi para elite politik. Misalnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyebut Pertamina tidak pantas menjadikan kerugian BUMN itu sebagai alasan untuk menaikkan gas elpiji. Tak ketinggalan, Sekjen Partai Demokrat (PD) Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menilai keputusan Pertamina telah membebani rakyat. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang merupakan partai koalisi PD, mendukung pembatalan kenaikan harga tersebut. Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa (entah menyindir atau tidak) menyatakan bahwa Menteri BUMN Dahlan Iskan yang bertindak sebagai wakil pemerintah dalam RUPS Pertamina tahu soal kenaikan gas elpiji tersebut. Hatta mengungkapkan itu sembari menilai keputusan Pertamina sebagai aksi korporasi. Pernyataan Hatta soal posisi Kementerian BUMN selaras dengan sikap partainya, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga menyalahkan Kementerian BUMN. Di pihak lain, politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai pemerintah berpura-pura tidak mengetahui rencana Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg. Menurut dia, sebagai BUMN, segala kegiatan dan keputusan Pertamina seharusnya diketahui pemerintah. Sebagaimana diberitakan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik konon tidak diberi tahu oleh Pertamina tentang kenaikan harga elpiji 12 kg. Aneh, menteri pengendali kebijakan energi justru mengaku tidak diberi tahu. Padahal, Pertamina menyatakan sudah menyampaikan rencana kenaikan harga elpiji kepada pemerintah. Mandiri, tapi Harus Koordinasi Sungguh sulit menyebut langkah Pertamina menaikkan harga gas elpiji sebagai aksi korporasi dalam konteks profesionalisme bisnis. Pertamina sebagai perseroan terbatas (PT) tentu memiliki kemandirian dalam bertindak. Anehnya, kemandirian itu ternyata harus memperhatikan kebijakan energi pemerintah dan melihat reaksi publik yang belum tentu setuju dengan aksi bisnis Pertamina. Jika harus berkoordinasi dengan pemerintah dalam setiap kebijakannya, masihkah pantas disebut sebagai aksi korporasi? Mengapa aksi korporasi Pertamina bisa menimbulkan polemik di tataran elite? Publik tentu tahu bahwa orang-orang yang duduk di kursi manajemen Pertamina bukanlah sembarangan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang sudah teruji oleh Kementerian BUMN. Apalagi, BUMN di era Dahlan Iskan selalu menekankan profesionalisme dalam pemilihan direksi. Persoalannya, bagaimana mungkin keputusan yang memantik polemik itu muncul dari perusahaan yang sudah masuk jajaran top dunia? Perlu diingat, berdasar peringkat global yang dirilis majalah Fortune (12/7/2013), Pertamina berhasil menempati urutan ke-122 dari 500 perusahaan terbesar yang terdaftar dalam Fortune Global 500. Selama 2012, Pertamina berhasil mencetak pendapatan USD 70,9 miliar dengan laba USD 2,8 miliar. Untuk wilayah ASEAN, Pertamina berada di peringkat ketiga setelah PTT PLC Thailand (urutan ke-81) dan Petronas Malaysia (urutan ke-75). Peringkat yang membanggakan itu tentu tidak lepas dari prestasi luar biasa Dirut Pertamina Karen Agustiawan yang terpilih menjadi perempuan paling berpengaruh keenam di dunia versi majalah Fortune (2013). Posisi Karen waktu itu melesat dari menduduki peringkat ke-19 pada 2012. Dia adalah CEO perempuan pertama yang berhasil mengantarkan Pertamina masuk ke jajaran perusahaan global terbaik dalam Fortune 500. Pertanyaannya, apakah benar dewan direksi di bawah kendali Dirut sekaliber Karen tidak paham atau tak peduli soal koordinasi dengan pemerintah dalam rencana kenaikan harga elpiji 12 kg? Publik hanya bisa menduga-duga, jangan-jangan ada intevensi secara tidak langsung dari elite politik tertentu terhadap manajemen Pertamina yang tidak terpantau menteri BUMN. Apalagi, Dahlan terkenal sangat anti-intervensi politik terhadap BUMN. Selain prestasi di kancah internasional, Pertamina juga berhasil meraih pendapatan sebesar USD 28,79 miliar atau sekitar Rp 280 triliun pada periode Januari sampai Mei 2013. Capaian itu 44,14 persen dari target akhir 2013, yakni USD 65,22 miliar. Persoalannya, mengapa Pertamina bisa dikatakan merugi? Inti masalahnya ialah pasal 2 UU BUMN yang memosisikan Pertamina sebagai salah satu pengejar target laba dan pendapatan negara nonpajak. Idealnya, berdasar pasal 33 UUD 1945, Pertamina (termasuk BUMN lain) berfokus memenuhi kebutuhan vital masyarakat ketimbang mengejar untung bagi APBN. Dengan begitu, hasil-hasil kinerja Pertamina yang digunakan untuk kepentingan rakyat tidak perlu dianggap sebagai kerugian negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar