Selasa, 10 Januari 2012

Tritura untuk Presiden Ketujuh?


Tritura untuk Presiden Ketujuh?
Christianto Wibisono, PENULIS BUKU AKSI-AKSI TRITURA 1970
Sumber : KOMPAS, 10 Januari 2012


Tanggal 10 Januari, 46 tahun lalu, Sarwo Edhie Wibowo berpidato di atas meja praktikum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia menyambut peluncuran aksi Tri Tuntutan Rakyat.

Tri Tuntutan Rakyat alias Tritura terdiri atas tiga hal: (1) bubarkan PKI; (2) rombak kabinet; dan (3) turunkan harga. Aksi ini dipicu oleh kondisi ekonomi yang memburuk, terutama setelah Presiden Soekarno melakukan sanering pada 13 Desember 1965 yang mengganti uang Rp 1.000 lama menjadi Rp 1 uang baru. Inflasi pun meroket 500 persen.

Rentetan Peristiwa

Banyak peristiwa terjadi setelah itu: Soeharto mbalelo terhadap panggilan Panglima Tertinggi Soekarno untuk datang ke Halim Perdanakusuma, demo mahasiswa yang terus berlanjut, dan pembiaran oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) terhadap pembantaian massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Demo mahasiswa menjadi benih gerakan rakyat (people power) yang semakin menguat setelah sidang kabinet di Istana Cipanas. Bung Karno nekat merombak kabinet, 22 Februari 1966. Ia memecat Jenderal AH Nasution dari jabatan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata serta membubarkan Staf Angkatan Bersenjata.

Pelantikan Kabinet 100 Menteri itu, 23 Februari, didemo mahasiswa dan memakan korban Arief Rahman Hakim. Ia terkena peluru Resimen Cakrabirawa di depan Istana Merdeka. Esoknya, demo menjadi gerakan rakyat, bergerak dari Monas ke Jalan Thamrin-Sudirman sampai ke pemakaman Blok P. Diperkirakan setengah juta penduduk Jakarta tumplek bleg di jalan. Itulah Tahrir Square Indonesia, 45 tahun sebelum rakyat Mesir menggulingkan Hosni Mubarak.

Soeharto bergerak dengan gaya wayang orang yang lemah gemulai, melakukan kudeta merangkak dengan membubarkan PKI sehari setelah memperoleh Supersemar pada 12 Maret. Dalam seminggu, 15 menteri kabinet Soekarno ”diamankan”.

Kemudian Soeharto memakai cara legal konstitusional untuk mengabsahkan suksesi kepresidenan. Supersemar dipakai untuk merombak MPRS dengan memecat semua anggota PKI dan kelompok kiri. Sidang Umum IV MPRS kemudian menunjuk Soeharto sebagai formatur Kabinet Ampera.

Bung Karno protes karena sistem presidensial UUD 1945 tidak mengenal formatur sistem parlementer 1950-1959 dalam UUDS RI 1950. Namun, MPRS minus PKI—yang dalam SU III April 1963 mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup—pada 1966 meralat dan mencabut Ketetapan MPRS itu dan menunjuk Jenderal Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk membentuk kabinet.

Inilah untuk kedua kalinya kabinet presidensial Soekarno dikudeta dalam sejarah kemelut politik di puncak Republik. Pada 16 Oktober 1945, ketika kabinet presidensial Soekarno baru berumur 45 hari, Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No X (baca huruf X, bukan angka 10 Romawi) karena memang dibuat mendadak dalam situasi ”darurat elite”.

Soekarno diisukan sebagai kolaborator Jepang dan karena itu sekutu menolak berunding dengan Kabinet Soekarno sebagai lanjutan kekuasaan Jepang. Bung Karno memang mengangkat mantan bucho (birokrat pribumi bekas kolonial Jepang).

Sistem kabinet parlementer berlangsung terus hingga 1959 dengan 10 perdana menteri silih berganti memerintah kurang dari dua tahun. Ada Bung Karno, Syahrir, Amir Syarifudin, Hatta, Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamijoyo, Burhanudin Harahap, dan Djuanda.

Bung Karno hanya menjadi ”diktator” lima tahun sejak ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 pada 1960. Selama tiga tahun, ia membangun armada serta skuadron Angkatan Laut dan Udara terbesar di belahan Bumi Selatan. Ia memperoleh kemenangan geopolitik berkat mediasi Presiden John F Kennedy (AS) memasukkan Irian Barat sebagai provinsi RI yang diakui oleh PBB dan diterima oleh Belanda.

Bung Karno juga menyelenggarakan Asian Games IV di Jakarta pada 1962 dan memulai Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) delapan tahun, 1961-1969. Sebetulnya Bung Karno sangat sadar dan ingin membangun ekonomi, bahkan menerima konsep Deklarasi Ekonomi yang dibuat kelompok teknokrat PSI di bawah Soedjatmoko.

Masa Konfrontasi

Ketika itu, Menlu Filipina Carlos Romulo mengingatkan Bung Karno sebaiknya mundur saat menduduki puncak kekuasaan. Namun, Bung Karno bertahan. Apalagi, konfrontasi terhadap Malaysia dan kebencian emosional Bung Karno terhadap PM Malaysia Tengku Abdurahman mencapai puncaknya ketika Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Jadilah Indonesia negara yang pernah keluar dari PBB.

Setahun kemudian, Ketua Presidium Kabinet Ampera Soeharto mengutus Roeslan Abdul Gani untuk kembali masuk PBB dan berdamai dengan Malaysia. Soeharto kemudian berbulan madu dengan partai politik dan media massa selama tujuh tahun sejak menjadi Presiden, Maret 1967.

Tahun 1970, Pemimpin Redaksi Harian Nusantara TD Hafas diadili karena menghina presiden dan keluarga. Namun, harian Nusantara tidak dibredel dan setiap hari membela diri sambil terus menyerang Bogasari dan kongsi Liem Sioe Liong-Cendana. Mochtar Lubis sebagai anggota Dewan Pers memuji Soeharto sebagai demokrat yang taat Trias Politika: tidak membredel, hanya mengadili pemred.

Bulan madu berakhir ketika demo mahasiswa tahun 1974 berlanjut huru-hara yang membakar Jakarta. Soeharto membubarkan Dewan Mahasiswa dan sejak itu ia memerintah dengan tangan besi hingga jatuh 21 Mei 1998.

Karma sejarah berulang ketika Soeharto ditinggalkan oleh ketua DPR, wakil presiden, dan menteri koordinatornya. Soeharto pun lengser hari itu dengan dendam yang dibawa sampai mati kepada tiga orang yang dia besarkan, tetapi menjadi Ken Arok saat ia kehilangan wahyu.

Diskusi The Soldier and the State mengontekskan Tritura 1965 menjadi Tritura 2012: (1) bubarkan PKI (”Partai Koruptor Indonesia”) yang telah membajak negeri ini dari negarawan sejati; (2) reformasi birokrasi agar proaktif pada kebutuhan masyarakat; (3) tingkatkan kualitas harkat martabat manusia Indonesia sebagai bangsa terbesar keempat dunia secara kualitatif.

Tritura 2012 ini ditujukan kepada Presiden dan elite DPR. Presiden yang kebetulan menantu Sarwo Edhie tidak bisa sendirian memenuhi Tritura 2012 karena SBY bukan dan tidak boleh menjadi diktator seperti Soekarno dan Soeharto. Maka, capres ketujuh harus memimpin partai terkuat agar tidak tersandera oleh DPR dan mampu merespons Tritura 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar