Kemenangan
Kecil bagi Demokrasi di Malaysia
Andy Budiman, JURNALIS,
CO-FOUNDER SERIKAT JURNALIS UNTUK KEBERAGAMAN (SEJUK), TINGGAL DI BONN, JERMAN
Sumber : JARINGAN ISLAM LIBERAL, 24 Januari 2012
Yang
pasti, angin perubahan memang kian menguat. Beberapa saat setelah vonis bebas,
@anwaribrahim berkicau di Twitter “In the coming Election, voice of the people
will be heard and this corrupt government will be toppled from its pedestals of
power.”
Kemenangan ini punya siapa? Pengadilan Tinggi
Malaysia memvonis bebas Anwar Ibrahim. Hakim menyebut, bukti yang ada tidak
cukup meyakinkan untuk memvonis tokoh oposisi itu bersalah melakukan sodomi.
Homoseksual adalah sebuah kejahatan di
Malaysia. Pelakunya bisa dihukum hingga 20 tahun penjara. Bagi tokoh politik
seperti Anwar Ibrahim, tuduhan itu bisa menamatkan karir politik. Dua tahun
lebih pengadilan kasus ini menjadi kontroversi.
Kasus
yang Penuh Rekayasa
Sejak awal, telah tercium bau tak sedap. Sang
pelapor Mohamad Saiful, yang mengaku sebagai korban sodomi, sempat menemui
Perdana Menteri Najib Razak. Sang Perdana Menteri awalnya membantah, namun
kemudian ia meralat dan mengakui bahwa beberapa hari sebelum melaporkan Anwar
Ibrahim ke polisi, Mohamad Saiful sempat bertemu dengan dirinya dan
menceritakan kasus itu.
Pengadilan akhirnya membuktikan: Anwar
Ibrahim tak bersalah dan divonis bebas! Pemerintah Malaysia lantas mencoba
mengambil keuntungan. Dengan bangga mereka menyebutnya sebagai bukti bahwa
pemerintah tidak melakukan intervensi, dan pengadilan Malaysia adalah sebuah
institusi yang independen, tidak korup sebagaimana yang selama ini dituduhkan.
Tapi apakah betul begitu? Kalau memang
independen, kenapa pengadilan mau menerima kasus Anwar Ibrahim, yang sejak awal
kelihatan lemah? Apakah vonis ini hanyalah manuver politik yang terpaksa
dilakukan rejim Najib Razak, untuk meraih simpati menjelang pemilihan umum?
Sesungguhnya tak tersedia cukup banyak
pilihan: memenjarakan tokoh oposisi menjelang pemilu, akan semakin
memperlihatkan wajah pemerintah yang buruk. Simpati justru akan jatuh kepada
Anwar Ibrahim, dan tekanan internasional akan semakin keras ke arah Kuala
Lumpur. Satu-satunya jalan yang tersedia adalah membebaskan tokoh oposisi itu.
Mereka berharap vonis itu akan akan membuat pemilih jatuh simpati kepada
pemerintah, sekaligus ingin memperlihatkan bahwa mereka serius dengan agenda
reformasi.
Pertanyaan kritis pantas kita ajukan: apakah
Malaysia memang telah berubah? Lembaga pemeringkat demokrasi, Freedom House,
hingga tahun lalu masih menempatkan Malaysia sebagai negara yang setengah
bebas. Pemerintah secara konsisten membatasi kebebasan bicara, berserikat dan
berkumpul. Jurnalis atau bahkan blogger bisa ditangkap karena mengkritik
pemerintah. Kita bisa simpulkan, belum ada perubahan signifikan di sana.
Anwar
Ibrahim dan Politik Bunglon
Anwar Ibrahim adalah tokoh kunci bagi
demokrasi Malaysia. Meski ada sejumlah pertanyaan terkait koalisi politik yang
ia bangun. Anwar Ibrahim yang dikenal barat sebagai tokoh sekuler, terpaksa
berselingkuh dengan Partai Islam Malaysia PAS yang punya cita-cita menegakkan
hukum syariah. Aliansi tak suci ini terpaksa ia bangun, untuk menghadapi
koalisi Barisan Nasional yang berkuasa.
Majalah The Economist pernah menjuluki Anwar
Ibrahim sebagai bunglon Malaysia. Pada suatu kesempatan di sebuah tempat
terpencil, ia berkampanye meminta rakyat memilih seorang kandidat yang soleh
dari PAS. Pada momen lainnya, ia bisa akrab berbincang tentang demokrasi dengan
para tokoh sekuler. Karena itu, ia sering dilihat secara berbeda-beda. Kaum
sekuler kadang melihat ia agak Islami, tapi sebaliknya kaum Islamis sering
melihat ia terlalu barat.
Tapi pertaruhan memang harus ia ambil. Berada
di tengah pemilih mayoritas melayu muslim Malaysia, ia terpaksa bicara dengan
bahasa yang sama. Kompromi dengan kaum konservatif bagi Anwar Ibrahim, adalah
cara yang harus ditempuh untuk menghadapi pemerintah yang sangat kuat dan telah
berkuasa sejak negeri itu merdeka tahun 1957.
Politik
Identitas dan Masa Depan Demokrasi Malaysia
Konservatisme agama dan ketegangan etnik,
adalah bahaya yang sedang mengintip Malaysia. Dua tahun lalu muncul konflik
sektarian terkait keputusan pemerintah melarang pemeluk Katolik mempergunakan
nama Allah untuk menyebut Tuhan. Alasannya, karena nama itu milik Islam.
Keputusan yang lantas berubah menjadi aksi kekerasan dan pembakaran tiga
gereja. Politik identitas, adalah tantangan bagi masa depan demokrasi.
Menguatnya sektarianisme membuat kita gamang: ke mana arah angin perubahan akan
berhembus? Akankah kaum Islamis yang menang sebagaimana terjadi di Tunisia dan
Mesir?
Yang pasti, angin perubahan memang kian
menguat. Beberapa saat setelah vonis bebas, @anwaribrahim berkicau di Twitter
“In the coming Election, voice of the people will be heard and this corrupt
government will be toppled from its pedestals of power”.
Kini, tergantung siapa yang akan lebih
efektif memanfaatkan momentum: apakah pemerintah Malaysia yang akan
mengambilalih dengan melakukan reformasi secara bertahap, atau kelompok oposisi
yang akan makin mendapat dukungan? Kalau oposisi berkuasa, siapa yang akan
lebih dominan: kaum sekuler atau Islamis? Sederet pertanyaan itu, belum bisa
kita jawab sekarang.
Meski satu hal yang pasti: pembebasan Anwar
Ibrahim makin membuka peluang untuk mendorong sebuah transformasi politik. Kita
bisa menyebutnya sebagai kemenangan kecil bagi gerakan demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar