Kedodoran
Menghadapi Asing?
Falik Rusdiyanto, DIREKTUR THE GOLDEN INSTITUTE,
ALUMNUS CHULALONGKORN UNIVERSITY THAILAND
ALUMNUS CHULALONGKORN UNIVERSITY THAILAND
Sumber
: SUARA KARYA, 31
Januari 2012
Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengubah isi kontrak karya dengan
dua perusahaan tambang raksasa, PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Newmont
Nusa Tenggara, hampir menemui jalan buntu. Kedua perusahaan raksasa asal Amerika
Serikat (AS) itu menolak mentah-mentah empat poin klausul yang dianggap
merugikan Pemerintah Indonesia terkait luas wilayah kerja, perpanjangan
kontrak, penerimaan negara atau royalti, dan kewajiban pengolahan dan
pemurnian.
Pemerintah ingin menaikkan royalti agar sesuai ketentuan PP No
45/2003, yaitu royalti emas 3,75%, tembaga 4%, dan perak 3,25%. Saat ini,
royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1%, untuk tembaga 1,5% (jika
harga kurang dari 0.9 dolar AS per pound) sampai 3,5% (jika harga 1.1 dolar AS
per pound) dan untuk perak 1,25 %.
Selama ini negara mendapat bagian yang sangat kecil dibandingkan
dengan yang diperoleh PT Freeport. Tercatat, dari tahun 2005 - September 2010,
total penjualan PTFI sebesar 28.816 juta dolar AS atau sekitar Rp 259,34
triliun; laba kotornya 16.607 juta dolar AS atau sekitar Rp 150,033 triliun.
Bandingkan dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia hanya sebesar 732
juta dolar AS atau sekitar Rp 6,588 triliun.
Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah KK II), kontribusi PTFI
mencapai 10,4 miliar dolar AS (royalti sebesar 1,1 miliar dolar AS dan dividen
sebesar 1 miliar dolar AS). Artinya, total dividen dan royalti mencapai sekitar
Rp 18 triliun (selama 18 tahun).
Dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2009, pemerintah -
sebagai pemegang 9,36 % saham PTFI - mendapat deviden dari PTFI sebesar Rp 2
triliun. Itu artinya pada tahun 2009 itu Freeport McMoran sebagai pemegang
90,64% saham PTFI mendapat deviden sekitar Rp 20 triliun. Sementara, potensi
yang masih ada di tambang Freeport sendiri masih lebih dari Rp 600 triliun.
Uang ratusan triliun itu, seandainya dikembalikan kepada rakyat
sebagai pemiliknya yang sejati dan dikelola negara dengan baik, tentu akan bisa
menyelesaikan banyak persoalan rakyat. Dengan uang itu, berapa juta anak putus
sekolah bisa sekolah kembali? Berapa juta rakyat kelaparan bisa mendapat
makanan yang layak? Berapa juta rakyat yang tidak bisa berobat karena biaya
yang mahal akan bisa mendapat pelayanan kesehatan yang baik?
Namun, potensi itu hilang begitu saja karena diserahkan kepada
asing. Sangat tepat pernyataan yang mengatakan kekayaan alam kita sebenarnya
lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyat, tapi negara yang salah urus
telah membuat rakyat kita miskin. Kekayaan alam kita sebenarnya cukup untuk
rakyat, tapi tidak akan pernah cukup bagi penguasa dan pengusaha yang rakus dan
tamak!
Akar Masalah
Jika diperhatikan, masalah Freeport ini disebabkan oleh tiga hal
yang saling terkait, yaitu kontrak karya (KK) yang bermasalah, tekanan asing
serta kebijakan ekonomi kapitalisme neoliberal.
Kontrak Karya I (KK I) maupun KK II isinya sangat merugikan
Indonesia. KK I ditandatangani Soeharto sebagai Ketua Presidum Kabinet pada
tanggal 7 April 1967 dan berlaku untuk Kuasa Pertambangan (KP) selama 30 tahun.
Freeport mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia tetapi tidak terdaftar di Indonesia dan tidak tunduk
dengan hukum Indonesia, mendapatkan tax holiday setelah tiga tahun berproduksi
dan tanpa royalti sampai tahun 1984 serta keistimewaan lainnya. Belum lagi,
selesai masa kontraknya, pada Desember 1991 dibuat KK II yang memberi hak
kepada PTFI selama 30 tahun sampai tahun 2021 dan bisa diperpanjang 2 kali 10
tahun atau sampai tahun 2041.
Keistimewaan luar biasa yang diberikan kepada Freeport ini, tentu
saja tidak bisa dilepaskan dari tekanan Amerika. Tampaknya tekanan asing
dilakukan oleh Pemerintah AS ketika itu karena 'berjasa besar' membantu
pemerintah Soeharto dalam penumpasan G30S/ PKI. Utang budi inilah yang
digunakan sebagai 'senjata' Freeport dan Pemerintah AS untuk menekan Indonesia
sehingga menerima begitu saja permohonan KP yang sangat merugikan itu.
Semua ini menjadi legal dengan kebijakan ekonomi negara yang
neo-liberal yang disahkan dengan undang-undang neo-liberal. Berdasarkan doktrin
kapitalisme, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi dan
harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya, pengelolaan kekayaan alam termasuk
barang tambang diserahkan kepada swasta terutama asing melalui Kontrak Karya
(seperti pengelolaan tambang tembaga, emas dan perak di Papua Barat kepada
PTFI) atau melalui Production Sharing Contract.
Akibat dari semua itu, sebagian besar kekayaan alam yang merupakan
milik rakyat dikuasai dan dinikmati swasta terutama asing. Lebih ironis lagi,
rakyat nyaris tidak mendapat apa-apa dari hasil kekayaan alam milik mereka itu.
Rakyat - khususnya yang ada di sekitar areal tambang - justru menderita banyak
kerugian karena lingkungan alam yang rusak, pencemaran, limbah dan tailing,
rusaknya sumber penghasilan mereka dan penyakit sosial lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar