Kelemahan
Proses Transformasi Militer Indonesia
Alexandra Retno Wulan, PENELITI
DEPARTEMEN POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL CENTRE FOR STRATEGIC AND
INTERNATIONAL STUDIES (CSIS), JAKARTA
Sumber
: KORAN TEMPO, 31
Januari 2012
Sesuai
dengan hasil rapat pimpinan Kementerian Pertahanan dan rapat pimpinan Tentara
Nasional Indonesia pada awal 2012, pemerintah telah memutuskan prioritas target
pembangunan dalam konteks pembangunan pertahanan Indonesia. Prioritas pertama
ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme, termasuk di dalamnya modernisasi
alat utama sistem persenjataan (alutsista). Sayangnya, beberapa pembelian
alutsista baru dalam konteks modernisasi persenjataan tidak sepenuhnya
mendukung keseluruhan proses transformasi militer Indonesia.
Salah
satu sinyal keseriusan yang telah diberikan oleh pemerintah terhadap upaya
peningkatan modernisasi pertahanan adalah tambahan anggaran untuk pembelian dan
pemeliharaan alutsista kira-kira sebesar Rp 156 triliun hingga 2014. Anggaran
ini akan mencakup tiga komponen utama. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014 untuk penguatan alutsista, Rp 66,5 triliun
dialokasikan untuk pembelian alutsista sesuai dengan rencana pembangunan
Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF), Rp 32,5 triliun untuk
pemeliharaan dan perawatan. Komponen ketiga, Rp 57 triliun, untuk percepatan
pemenuhan MEF sesuai dengan amanat Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 2011.
Selanjutnya,
tentu saja anggaran ini akan dipecah alokasinya untuk pembangunan kekuatan TNI
Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. Hingga saat ini
beberapa rencana pembelian dan proses pembelian alutsista telah dilakukan dalam
kerangka anggaran Rp 156 triliun ini. TNI Angkatan Darat rasanya akan segera
memiliki 100 main battle tank (MBT) Leopard dari Belanda untuk
menandingi kemampuan angkatan darat negara-negara tetangga. Sementara itu, TNI
Angkatan Laut akan segera memiliki tiga kapal selam, hasil kerja sama dengan
Korea Selatan ditambah dengan proses alih teknologi, sehingga diharapkan dapat
menstimulasi percepatan pertumbuhan industri kapal selam di Indonesia. TNI
Angkatan Udara akan memiliki 25 pesawat tempur F-16 dari Amerika Serikat.
Secara
teoretis, transformasi militer Indonesia dilakukan untuk membentuk pertahanan
negara yang profesional. Pertahanan profesional tentunya harus didukung oleh
alutsista yang modern sekaligus sistem kerja birokrasi yang baik. Karena itu,
proses peremajaan dan modernisasi alutsista Indonesia adalah hal yang baik
serta wajib untuk dilakukan. Namun proses keseluruhan dari transformasi militer
Indonesia menuju profesionalisme membutuhkan beberapa hal penting lainnya
selain alutsista “baru” dan modern semata.
Salah
satunya, berkaitan dengan proses pembenahan sistem peremajaan dan pembelian
alutsista, Indonesia harus melihat kembali mekanisme perencanaan kekuatan
pertahanan Indonesia. Selama ini, beberapa perbaikan sistemik telah dilakukan,
misalnya dengan adanya aturan pengadaan secara elektronik, serta sistem pengadaan
satu pintu pemerintah yang menempatkan Kementerian Pertahanan sebagai institusi
yang sama hak dan kewajibannya dengan institusi pemerintahan lainnya dalam
konteks pengadaan.
Selain
itu, proses pembuatan cetak biru peremajaan dan pembelian alutsista melalui
rancangan Kekuatan Pokok Minimum Pertahanan merupakan salah satu langkah maju
yang memberikan dasar dan arah bagi penguatan kekuatan pertahanan Indonesia.
Cetak biru ini diharapkan menjadi landasan kebijakan berkesinambungan dan tidak
bergantung pada pembuat kebijakan yang kerap berganti-ganti keputusan. Tetapi
tampaknya tahapan perencanaan yang sudah ada ini kurang didukung dengan
perencanaan yang sifatnya lebih substansial.
Pertama,
perencanaan MEF masih menunjukkan dilema antara menggunakan dasar kapabilitas (capability
based) atau dasar ancaman (threat based). Kegamangan pemerintah
untuk memberi arahan tegas mengenai kebijakan pertahanan Indonesia berkaitan
dengan ancaman, misalnya, membuat prioritas pembelian alutsista juga menjadi
kabur. Keputusan untuk membeli kapal selam, misalnya, menjadi sulit untuk
dijustifikasi apabila definisi ancaman Indonesia adalah keamanan maritim dalam
konteks pencurian sumber daya alam di perairan Indonesia.
Kedua,
adanya kebutuhan untuk membentuk kekuatan pertahanan trimatra terpadu yang
tampaknya tidak dijadikan landasan dalam pembuatan perencanaan MEF. Pada saat
ini Indonesia memiliki berbagai platform persenjataan yang sangat berbeda
antar-matra. TNI AD memilih membeli tank Leopard buatan Jerman, TNI AL sudah
memastikan kerja sama pembuatan kapal selam dengan Korea Selatan, sementara TNI
AU akan segera menerima hibah F-16 dari Amerika Serikat.
Adalah
keputusan yang lebih bijaksana bagi masa depan pertahanan Indonesia apabila
platform persenjataan bisa diminimalkan. Hal ini tentu akan mengurangi biaya
serta meningkatkan efektivitas operasi operasi militer yang akan dijalankan
oleh Indonesia. Salah satu pertimbangan negatif untuk mengurangi platform
adalah kemungkinan ketergantungan kepada satu pihak.
Pada
saat ini, tampaknya ada dua negara potensial yang bisa ditinjau oleh Indonesia.
Melihat perkembangan positif kerja sama pembuatan kapal selam Indonesia dengan
Korea Selatan, karena perjanjian alih teknologinya, maka tampaknya akan jauh
lebih baik apabila pemerintah dapat mengakselerasi kerja sama serupa untuk
pengembangan pesawat tempur KFX dan mungkin menginisiasi pengembangan kerja
sama untuk alutsista TNI AD. Selain Korea Selatan, Turki merupakan partner
potensial karena saat ini sudah mulai dirintis kerja sama pertahanan dengan
berbagai upaya alih teknologi untuk menumbuhkan industri pertahanan domestik
yang mampu menjawab persoalan ketergantungan kepada pihak lain.
Akan
jauh lebih produktif apabila seluruh langkah positif yang telah diambil dalam
proses transformasi pertahanan Indonesia tidak lagi diwarnai dengan perdebatan
yang kurang substansial, misalnya tentang bobot main battle tank yang
akan dibeli. Namun akan lebih baik bagi masa depan Indonesia apabila proses
transformasi pertahanan Indonesia didukung dengan pertimbangan-pertimbangan
yang komprehensif, harmonis, dan substansial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar