Politik
Upah Buruh Murah
Syahganda Nainggolan, DIREKTUR LEMBAGA KAJIAN SABANG MERAUKE CIRCLE; MAHASISWA S-3 KESSOS UI
Sumber
: KOMPAS, 28
Januari 2012
Kompas menempatkan peristiwa demonstrasi
buruh di Bekasi terkait penuntutan kelayakan upah dalam berita utama berjudul
”Perlu Format Baru Pengupahan” (20/1/12).
Kompas mengulas lagi dalam tajuk rencana
keesokan harinya bahwa ”... gejolak selama ini terutama bersumber dari sistem
pengupahan yang rawan konflik, tak adil, dan tak menjamin kesinambungan ekonomi
yang menguntungkan semua pihak”.
Apakah tingkat kesejahteraan buruh semakin
buruk belakangan ini? Mengapa sistem pengupahan dianggap tidak adil? Apakah
politik upah buruh murah memang menjadi kunci klaim sukses pembangunan selama
ini? Apakah benar investor akan kabur dengan situasi perburuhan yang semakin
panas ini? Apa yang harus diubah, format upah atau paradigmanya? Bagaimana
negara seharusnya berperan?
Paradigma
Upah Murah
Terkait upah, penelitian LSM Akatiga tahun
2009 di sektor tekstil dan garmen menunjukkan, di sembilan kabupaten meliputi
50 pabrik, rata-rata upah total (Rp 1.099.253) hanya mencukupi 74,3 persen
rata-rata pengeluaran riil dan upah minimum kota (UMK) hanya mencukupi 62,4
persen rata-rata pengeluaran riil buruh (Rp 1.467.896).
Gambaran upah itu tidak berbeda dengan
ilustrasi Manning (1993). Tahun 1990/1991—setelah lebih dari 20 tahun
industrialisasi era Orde Baru—upah buruh tekstil di Bandung per hari setara
dengan 4 kg beras. Buruh yang telah lelah sepanjang hari masih harus memikirkan
tambahan penghasilan untuk menutupi keperluan keluarga. Banyak yang terlibat
utang kepada rentenir dan beberapa buruh wanita bekerja ”ekstra” pada malam
hari.
Kondisi yang memprihatinkan juga terjadi pada
buruh kontrak dan outsourcing
(Akatiga, 2010). Sekitar 40 persen pekerja di sektor metal adalah pekerja kontrak
dan outsourcing
dengan upah yang jauh lebih kecil. Mereka juga kesulitan bergabung pada serikat
buruh sehingga sulit memiliki daya tawar kolektif.
Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) tahun
2006 mengungkapkan bahwa terjadi penyimpangan sebagai berikut; (a) penempatan
buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di bagian yang bersifat tetap
mencapai 77 persen, (b) upah di bawah UMK 8 persen, (c) pekerja tanpa
perlindungan Jamsostek 48 persen, (d) pungutan biaya rekrutmen antara Rp
250.000 dan Rp 1,5 juta sebanyak 3 persen, dan (e) kontrak kerja kurang dari
tiga bulan sebanyak 7 persen (Cahyono, 2010). Gambaran di atas menunjukkan
betapa buruknya upah dan tingkat kesejahteraan buruh kita.
Fenomena upah murah dipengaruhi: pertama,
perubahan struktural pasar tenaga kerja global. Negara maju merelokasi
industrinya ke negara-negara yang menyediakan buruh berupah rendah sejak
1980-1990-an. Indonesia pun ikut menawarkan ”paket” buruh murah dan stabilitas
politik (Batubara, 2008).
Kedua, ekses suplai tenaga kerja yang besar
memberi tekanan kuat pada pembentukan upah murah (Manning, 1993). Ketiga,
ekonom-ekonom arus utama, yang sangat berpengaruh terhadap pengambil kebijakan
selama ini, umumnya sangat kontra terhadap kekakuan (rigidity)
pasar tenaga kerja.
Kekakuan disebabkan oleh tingginya tingkat
upah. Mereka mengimbau pasar tenaga kerja yang fleksibel untuk mengurangi
pengangguran. Pasar akan fleksibel jika peranan pemerintah diperkecil,
keberadaan serikat buruh (trade
union) ditiadakan, dan sistem kerja tidak tetap dan outsourcing
diberlakukan.
Fenomena diterimanya Pasal 65 dan 66 tentang
sistem kerja kontrak (PKWT) dan alih daya (outsourcing)
pada UU Ketenagakerjaan 2003 pada pemerintahan Megawati—yang seharusnya
proburuh—menunjukkan desain sistem ini melibatkan pihak-pihak yang sangat kuat,
yakni IMF dan ekonom-ekonomnya, yang tecermin dalam letter
of intent (LOI) ketika itu.
Soeharto
vs SBY
Meski politik upah murah terjadi sejak Orde
Baru, ada perbedaan antara rezim Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Soeharto
selalu menempatkan negara untuk berperan sentral, sedangkan SBY berusaha
menghilangkan peranan negara dalam berbagai hal.
Upah murah dalam politik Soeharto ditujukan
menarik minat investor asing, reinvestasi keuntungan, dan menciptakan perluasan
lapangan kerja sehingga terjadi stabilitas nasional. Peran negara pada era
Soeharto memang bukan untuk menyejahterakan buruh sehingga ia tak segan
melibatkan militer untuk memberangus gerakan buruh.
SBY berpikiran sama, kecuali urusan
reinvestasi. SBY juga percaya perlunya pasar buruh yang fleksibel. Hal ini
terjabar dalam kebijakan yang diuraikan dalam PP No 07/2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) bab 23. Namun, apa yang terjadi pada era SBY
sebenarnya merupakan kelanjutan atau penyempurnaan politik upah murah Soeharto.
Yang penting pembangunan dapat menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
terminologi pertumbuhan dan investasi (saja). Kedua rezim ini membuat
ketimpangan antara buruh dan kapitalis semakin besar. Dalam jargon ”politik
tinggal landas” Soeharto, para kapitalis sudah meninggalkan landasan menjadi
miliarder versi Forbes
dan buruh tetap di landasan.
Mungkinkah politik upah murah ini berakhir?
Mengapa upah buruh di negara lain, seperti Malaysia, Korea, Hongkong, bahkan
China, jauh di atas kita? Bukankah kita yang memulai dengan situasi dan arah
yang sama? Apakah upah murah masih menjadi faktor utama dalam merayu investor
asing? Apakah produktivitas buruh kita memang tidak meningkat selama ini?
Persoalan kesejahteraan buruh di Indonesia merupakan
persoalan pokok bangsa, yang klasik dan berlangsung tanpa tanda-tanda akan
berakhir. Politik upah murah selama ini hanya mengantarkan sebagian
masyarakat—terdiri atas pemilik modal dan kalangan profesional
tertentu—menikmati kue pembangunan. Struktur kelas menengah yang terus membesar
berdiri di atas piramida yang ”salah”.
Sebagian orang bahkan terlalu kaya untuk
dibandingkan dengan mayoritas buruh yang miskin sehingga di sini terjadi moral
hazard. Apakah pembangunan dengan kesenjangan seperti ini akan terus
dipertahankan? Ataukah ada jalan keadilan baru?
Mendekati persoalan perburuhan jangan selalu
dengan pendekatan murni ekonomi. Seolah-olah persoalannya dapat diselesaikan
dengan mengutak-atik model-model yang mengandalkan teori pasar sempurna. Pendekatan
haruslah dilakukan secara holistik, dengan melihatnya sebagai masalah
sosio-ekonomi.
Buruh
Juga Manusia
Buruh harus ditempatkan sebagai manusia yang
menjadi subyek pembangunan, bukan faktor produksi sehingga mereka juga berhak
untuk hidup layak. Apakah yang dimaksud dengan hidup layak itu? Hidup layak
adalah ketika buruh bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan diri, keluarga, dan
kehidupan sosialnya, melainkan juga mendapatkan kenyamanan di tempat kerja,
peningkatan karier, bebas dari tekanan, dan memiliki hak-hak untuk berserikat.
Upah minimum selama ini adalah suatu jebakan
karena dimulai dari ukuran yang terlalu rendah dan diperbarui setiap tahun
terkait inflasi. Maka, untuk hidup layak, perlu dilakukan suatu sistem baru
yang lebih komprehensif dengan mengombinasikan upah dan Jamsostek yang baik,
keamanan sosial, tempat kerja yang pantas, dan perencanaan karier.
Pemimpin yang tidak tulus seperti Soeharto,
pada masa lalu, memang telah mengubah upah minimum dari sistem perhitungan
kebutuhan fisik minimum (KFM) menjadi kebutuhan hidup minimum (KHM) karena
tekanan LSM dan serikat buruh Amerika kepada pemerintahnya untuk mencabut
fasilitas kemudahan ekspor tekstil. Apakah perubahan untuk kesejahteraan harus
selalu dengan tekanan? Tentu jawaban yang kita inginkan adalah kesadaran untuk
berbagi dari para kapitalis atau pemilik modal.
Membagi keuntungan yang adil atas surplus
ekonomi yang terjadi bukanlah sesuatu yang tidak ada dasar pijakannya. Juga
tidak harus mengeluarkan ”jurus” Marx tentang nilai tambah dan keserakahan
kapitalis.
Dasarnya adalah merenungkan. Pertama,
kebangkitan ekonomi para kapitalis yang ada saat ini, mayoritas atas beban
rakyat yang menanggung kebangkrutan mereka pada krisis 1997/1998. Belum lagi
kalau kita ingatkan bahwa kapitalis yang sama lahir dan tumbuh atas proteksi
dan korupsi rezim Orde Baru.
Kedua, keputusan MK baru-baru ini tentang
sistem kontrak dan outsourcing
(sebagian) bertentangan dengan UUD 45. Artinya, kita sudah membuat kesalahan
besar dalam mengurus buruh selama ini.
Ketiga, transformasi sumber daya manusia dari
buruh biasa ke arah buruh yang memiliki keahlian dan ilmu pengetahuan dapat
dimungkinkan dengan reinvestasi pemilik modal pada sumber daya manusia.
Artinya, jika pemilik modal mengurangi sedikit keuntungan untuk dirinya (return
to capital) lalu diberikan lebih besar pada buruh, kesempatan buruh untuk
meningkatkan keahlian akan terjadi. Pada akhirnya hal ini akan memperbaiki daya
saing kita.
Paradigma buruh murah harus diubah dengan dua
fakta. Pertama, pengusaha telah mendapat terlalu banyak selama ini. Sudah
saatnya mereka berbagi. Kedua, sudah 40 tahun industrialisasi di Indonesia,
sudah saatnya kita mengapresiasi akumulasi pengetahuan dan keterampilan (labor
knowledge) pada buruh. Saatnya buruh kita dihargai seperti di Malaysia,
Hongkong, Korea Selatan, bahkan China. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar