Kamis, 26 Januari 2012

Mengkaji Kembali Mutlaknya Pertumbuhan


Mengkaji Kembali Mutlaknya Pertumbuhan
Kenneth Rogoff, GURU BESAR EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA HARVARD UNIVERSITY; MANTAN EKONOM KEPALA PADA IMF
Sumber : KORAN TEMPO, 25 Januari 2012


Makroekonomi modern sering tampaknya memandang pertumbuhan ekonomi yang cepat dan stabil sebagai segalanya dari awal dan akhir suatu kebijakan. Pesan itu bergema dalam debat politik, sidang-sidang bank sentral, dan berita halaman muka surat kabar. Tapi apakah memang pantas menganggap pertumbuhan sebagai tujuan utama suatu masyarakat yang terus bergerak, seperti yang secara implisit diasumsikan dalam buku teks ekonomi?

Banyak esai dan kajian yang mengecam statistik ekonomi standar telah mendesak diambilnya langkah-langkah yang lebih luas untuk kesejahteraan nasional, seperti harapan hidup pada kelahiran, tingkat melek huruf, dan lain-lain. Penilaian semacam ini tercantum juga dalam Laporan Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan baru-baru ini laporan oleh Komisi mengenai Ukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial, yang disponsori Prancis dan dipimpin oleh ekonom Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi.

Tapi mungkin ada masalah yang bahkan lebih dalam daripada sekadar statistik yang sempit itu: gagalnya teori pertumbuhan modern memberikan tekanan yang menandai kenyataan bahwa masyarakat itu makhluk sosial. Masyarakat menilai kesejahteraan mereka berdasarkan apa yang mereka lihat di sekeliling mereka, bukan pada standar absolut semata.

Ekonom Richard Easterlin terkenal mengamati bahwa survei-survei mengenai “kebahagiaan” menunjukkan dengan mengejutkan tidak terlihatnya evolusi pada dekade-dekade setelah Perang Dunia II, walaupun terdapat kecenderungan pertumbuhan pendapatan yang signifikan. Namun pengamatan Easterlin ini tampaknya tidak berlaku bagi negara-negara yang sangat miskin, di mana pendapatan yang meningkat cepat sering memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan yang lebih baik, yang mungkin ada korelasinya yang kuat dengan ukuran kesejahteraan secara keseluruhan.

Di negara-negara yang maju ekonominya, perilaku benchmarking ini hampir pasti merupakan faktor penting bagaimana orang menilai kesejahteraan diri mereka sendiri. Jika demikian halnya, generalisasi pertumbuhan pendapatan mungkin saja menimbulkan penilaian semacam itu pada laju yang lebih lamban daripada yang mungkin kita harapkan dari pengamatan bagaimana peningkatan pendapatan seseorang dibandingkan dengan pendapatan seseorang lainnya mempengaruhi kesejahteraan dirinya sendiri. Dan, dalam kaitan dengan ini, perilaku benchmarking mungkin saja secara implisit menunjukkan adanya kalkulus trade-off yang berbeda antara pertumbuhan dan tantangan ekonomi lainnya, seperti degradasi lingkungan, daripada yang dinyatakan dalam model-model pertumbuhan konvensional.

Terdapat literatur yang terbatas tapi signifikan yang mengakui bahwa individu-individu sangat bergantung pada benchmark historis atau sosial dalam pilihan dan pemikiran ekonomi mereka. Sayangnya, model-model ini cenderung sulit dimanipulasi, diperkirakan, atau ditafsirkan. Akibatnya, model-model ini cenderung digunakan terutama dalam konteks yang sangat khusus, seperti dalam upaya menjelaskan apa yang dinamakan equity premium puzzle (pengamatan empiris yang menunjukkan bahwa, setelah sekian waktu yang cukup lama, equity membuahkan keuntungan yang lebih besar daripada bond ).

Ada absurditas tertentu pada obsesi memaksimalkan pertumbuhan pendapatan rata-rata jangka panjang yang terus-menerus, yang mengabaikan risiko dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Bayangkan eksperimen pemikiran yang sederhana. Bayangkan bahwa pendapatan per kapita (atau ukuran kesejahteraan yang lebih luas) ditetapkan meningkat sebesar 1 persen per tahun selama dua abad yang akan datang. Ini kasarnya kecenderungan laju pertumbuhan di negara-negara maju pada tahun-tahun terakhir ini. Dengan pertumbuhan pendapatan setiap tahun sebesar 1 persen, maka generasi yang lahir 70 tahun dari sekarang bakal menikmati pendapatan kira-kira dua kali lipat pendapatan rata-rata saat ini. Selama dua abad, pendapatan bakal tumbuh delapan kali lipat.

Sekarang bayangkan kita hidup dalam suatu ekonomi yang tumbuh jauh lebih cepat, dengan pendapatan per kapita yang meningkat sebesar 2 persen setiap tahun. Dalam hal ini, pendapatan per kapita bakal meningkat dua kali lipat setelah hanya 35 tahun, dan kenaikan delapan kali lipat bakal memerlukan waktu cuma satu abad.

Akhirnya, tanyakan kepada diri Anda sendiri seberapa banyak Anda benar-benar peduli jika dibutuhkan 100, 200, atau bahkan 1.000 tahun untuk meningkatkan kesejahteraan delapan kali lipat. Bukankah lebih pantas khawatir soal kebersinambungan dan kebertahanan jangka panjang pertumbuhan global? Bukankah lebih pantas memikirkan apakah konflik atau pemanasan global mungkin bakal membawa bencana kepada masyarakat selama berabad-abad atau lebih?

Bahkan, jika seseorang memikirkan dengan sempit nasib anak-cucu mereka sendiri, mungkin ia berharap akan hidup makmur, dan memberikan sumbangan yang positif kepada masyarakat yang akan datang. Dengan asumsi mereka akan hidup lebih baik daripada generasi sebelumnya, seberapa penting tingkat absolut pendapatan mereka?
Mungkin rationale lebih dalam yang mendasari mutlaknya pertumbuhan di banyak negara bertolak dari kekhawatiran mengenai prestise nasional dan keamanan nasional. Dalam bukunya yang terbit pada 1989, The Rise and Fall of the Great Powers , sejarawan Paul Kennedy menyimpulkan bahwa, dalam jangka panjang, kekayaan dan kemampuan produksi suatu negara, dibandingkan dengan negara-negara sezamannya ,merupakan penentu esensial status globalnya.

Kennedy berfokus terutama pada kekuatan militer. Tapi, dalam dunia saat ini, ekonomi-ekonomi yang berhasil menikmati status mengikuti banyak dimensi, dan para pembuat kebijakan di mana-mana sah-sah saja peduli kepada ranking ekonomi nasional mereka. Lomba ekonomi untuk mencapai kekuatan global pasti merupakan rationale yang bisa dipahami untuk berfokus pada pertumbuhan jangka panjang. Tapi, jika persaingan seperti ini benar-benar merupakan justifikasi sentral fokus ini, kita perlu meneliti kembali ke model standar makroekonomi, yang sama sekali mengabaikan hal ini.

Sudah tentu, dalam dunia riil, negara-negara tidak ada salahnya memandang pertumbuhan jangka panjang sebagai bagian integral bagi status keamanan dan status global mereka. Negara-negara yang dibebani utang yang besar, suatu kelompok negara yang sekarang mencakup sebagian besar ekonomi-ekonomi maju, memerlukan pertumbuhan untuk membantu mereka keluar dari jerat utang itu. Tapi, sebagai upaya jangka panjang, fokus pada pertumbuhan ini tidak sebegitu menyeluruh seperti yang hendak dikesankan kepada kita oleh banyak para pembuat kebijakan dan teoretikus ekonomi.

Di masa ketidakpastian ekonomi yang berat, mungkin tampaknya tidak pantas mempertanyakan mutlak pentingnya pertumbuhan. Tapi, sekali lagi, mungkin krisis justru merupakan kesempatan untuk mengkaji kembali tujuan jangka panjang kebijakan ekonomi global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar