Mengkaji
Kembali Mutlaknya Pertumbuhan
Kenneth Rogoff, GURU BESAR EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA
HARVARD UNIVERSITY; MANTAN EKONOM KEPALA PADA IMF
Sumber : KORAN TEMPO, 25 Januari 2012
Makroekonomi
modern sering tampaknya memandang pertumbuhan ekonomi yang cepat dan stabil
sebagai segalanya dari awal dan akhir suatu kebijakan. Pesan itu bergema dalam
debat politik, sidang-sidang bank sentral, dan berita halaman muka surat kabar.
Tapi apakah memang pantas menganggap pertumbuhan sebagai tujuan utama suatu
masyarakat yang terus bergerak, seperti yang secara implisit diasumsikan dalam
buku teks ekonomi?
Banyak
esai dan kajian yang mengecam statistik ekonomi standar telah mendesak
diambilnya langkah-langkah yang lebih luas untuk kesejahteraan nasional,
seperti harapan hidup pada kelahiran, tingkat melek huruf, dan lain-lain.
Penilaian semacam ini tercantum juga dalam Laporan Pembangunan Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan baru-baru ini laporan oleh Komisi mengenai
Ukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial, yang disponsori Prancis dan
dipimpin oleh ekonom Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi.
Tapi
mungkin ada masalah yang bahkan lebih dalam daripada sekadar statistik yang
sempit itu: gagalnya teori pertumbuhan modern memberikan tekanan yang menandai
kenyataan bahwa masyarakat itu makhluk sosial. Masyarakat menilai kesejahteraan
mereka berdasarkan apa yang mereka lihat di sekeliling mereka, bukan pada
standar absolut semata.
Ekonom
Richard Easterlin terkenal mengamati bahwa survei-survei mengenai “kebahagiaan”
menunjukkan dengan mengejutkan tidak terlihatnya evolusi pada dekade-dekade
setelah Perang Dunia II, walaupun terdapat kecenderungan pertumbuhan pendapatan
yang signifikan. Namun pengamatan Easterlin ini tampaknya tidak berlaku bagi
negara-negara yang sangat miskin, di mana pendapatan yang meningkat cepat
sering memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan yang lebih baik, yang
mungkin ada korelasinya yang kuat dengan ukuran kesejahteraan secara
keseluruhan.
Di
negara-negara yang maju ekonominya, perilaku benchmarking ini hampir
pasti merupakan faktor penting bagaimana orang menilai kesejahteraan diri
mereka sendiri. Jika demikian halnya, generalisasi pertumbuhan pendapatan
mungkin saja menimbulkan penilaian semacam itu pada laju yang lebih lamban
daripada yang mungkin kita harapkan dari pengamatan bagaimana peningkatan
pendapatan seseorang dibandingkan dengan pendapatan seseorang lainnya
mempengaruhi kesejahteraan dirinya sendiri. Dan, dalam kaitan dengan ini, perilaku
benchmarking mungkin saja secara implisit menunjukkan adanya kalkulus trade-off
yang berbeda antara pertumbuhan dan tantangan ekonomi lainnya, seperti
degradasi lingkungan, daripada yang dinyatakan dalam model-model pertumbuhan
konvensional.
Terdapat
literatur yang terbatas tapi signifikan yang mengakui bahwa individu-individu
sangat bergantung pada benchmark historis atau sosial dalam pilihan dan
pemikiran ekonomi mereka. Sayangnya, model-model ini cenderung sulit
dimanipulasi, diperkirakan, atau ditafsirkan. Akibatnya, model-model ini
cenderung digunakan terutama dalam konteks yang sangat khusus, seperti dalam
upaya menjelaskan apa yang dinamakan equity premium puzzle (pengamatan
empiris yang menunjukkan bahwa, setelah sekian waktu yang cukup lama, equity
membuahkan keuntungan yang lebih besar daripada bond ).
Ada
absurditas tertentu pada obsesi memaksimalkan pertumbuhan pendapatan rata-rata
jangka panjang yang terus-menerus, yang mengabaikan risiko dan
pertimbangan-pertimbangan lainnya. Bayangkan eksperimen pemikiran yang
sederhana. Bayangkan bahwa pendapatan per kapita (atau ukuran kesejahteraan
yang lebih luas) ditetapkan meningkat sebesar 1 persen per tahun selama dua
abad yang akan datang. Ini kasarnya kecenderungan laju pertumbuhan di negara-negara
maju pada tahun-tahun terakhir ini. Dengan pertumbuhan pendapatan setiap tahun
sebesar 1 persen, maka generasi yang lahir 70 tahun dari sekarang bakal
menikmati pendapatan kira-kira dua kali lipat pendapatan rata-rata saat ini.
Selama dua abad, pendapatan bakal tumbuh delapan kali lipat.
Sekarang
bayangkan kita hidup dalam suatu ekonomi yang tumbuh jauh lebih cepat, dengan
pendapatan per kapita yang meningkat sebesar 2 persen setiap tahun. Dalam hal
ini, pendapatan per kapita bakal meningkat dua kali lipat setelah hanya 35
tahun, dan kenaikan delapan kali lipat bakal memerlukan waktu cuma satu abad.
Akhirnya,
tanyakan kepada diri Anda sendiri seberapa banyak Anda benar-benar peduli jika
dibutuhkan 100, 200, atau bahkan 1.000 tahun untuk meningkatkan kesejahteraan
delapan kali lipat. Bukankah lebih pantas khawatir soal kebersinambungan dan
kebertahanan jangka panjang pertumbuhan global? Bukankah lebih pantas
memikirkan apakah konflik atau pemanasan global mungkin bakal membawa bencana
kepada masyarakat selama berabad-abad atau lebih?
Bahkan,
jika seseorang memikirkan dengan sempit nasib anak-cucu mereka sendiri, mungkin
ia berharap akan hidup makmur, dan memberikan sumbangan yang positif kepada
masyarakat yang akan datang. Dengan asumsi mereka akan hidup lebih baik
daripada generasi sebelumnya, seberapa penting tingkat absolut pendapatan
mereka?
Mungkin
rationale lebih dalam yang mendasari mutlaknya pertumbuhan di banyak
negara bertolak dari kekhawatiran mengenai prestise nasional dan keamanan
nasional. Dalam bukunya yang terbit pada 1989, The Rise and Fall of the
Great Powers , sejarawan Paul Kennedy menyimpulkan bahwa, dalam jangka
panjang, kekayaan dan kemampuan produksi suatu negara, dibandingkan dengan
negara-negara sezamannya ,merupakan penentu esensial status globalnya.
Kennedy
berfokus terutama pada kekuatan militer. Tapi, dalam dunia saat ini,
ekonomi-ekonomi yang berhasil menikmati status mengikuti banyak dimensi, dan
para pembuat kebijakan di mana-mana sah-sah saja peduli kepada ranking
ekonomi nasional mereka. Lomba ekonomi untuk mencapai kekuatan global pasti
merupakan rationale yang bisa dipahami untuk berfokus pada pertumbuhan
jangka panjang. Tapi, jika persaingan seperti ini benar-benar merupakan
justifikasi sentral fokus ini, kita perlu meneliti kembali ke model standar
makroekonomi, yang sama sekali mengabaikan hal ini.
Sudah
tentu, dalam dunia riil, negara-negara tidak ada salahnya memandang pertumbuhan
jangka panjang sebagai bagian integral bagi status keamanan dan status global
mereka. Negara-negara yang dibebani utang yang besar, suatu kelompok negara
yang sekarang mencakup sebagian besar ekonomi-ekonomi maju, memerlukan
pertumbuhan untuk membantu mereka keluar dari jerat utang itu. Tapi, sebagai
upaya jangka panjang, fokus pada pertumbuhan ini tidak sebegitu menyeluruh
seperti yang hendak dikesankan kepada kita oleh banyak para pembuat kebijakan
dan teoretikus ekonomi.
Di masa ketidakpastian ekonomi yang berat,
mungkin tampaknya tidak pantas mempertanyakan mutlak pentingnya pertumbuhan.
Tapi, sekali lagi, mungkin krisis justru merupakan kesempatan untuk mengkaji
kembali tujuan jangka panjang kebijakan ekonomi global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar