Menuju
Indonesia Gemilang
Dion Maulana Prasetya, PENELITI MUDA CENTER FOR EAST ASIA STUDIES (CEAS)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Sumber
: SUARA KARYA, 30
Januari 2012
Indonesia sedang berada di masa transisi. Akhir-akhir ini, antara
kabar baik dan kabar buruk saling berkejaran satu sama lain. Masyarakat, yang
menyaksikan perkembangan negara tercinta ini melalui media massa, khususnya
televisi, kerap merasa bingung. Selama satu minggu, layar televisi bisa
dipenuhi oleh berita-berita buruk - korupsi, bencana alam, perampokan atau
pemerkosaan - seakan negara ini terus saja didera kasus. Namun, bisa jadi pekan
selanjutnya optimisme tumbuh dengan suburnya karena prestasi tim nasional
sepakbola atau bahkan produk baru mobil nasional.
Kabar menggembirakan setidaknya bisa kita peroleh dari sektor
ekonomi. Pada tahun 2011, investasi asing Indonesia tercatat sebesar 19 triliun
dolar AS, meningkat 20% dari tahun sebelumnya. Tentunya angka tersebut jauh
melebihi Singapura yang hanya sebesar 5,1 triliun dolar AS, serta Jepang dan
Amerika Serikat (masing-masing sekitar 1,5 triliun dolar AS). Selain
meningkatnya angka investasi asing, pada tahun 2011 Indonesia juga menjadi
emerging market winner. Bahkan Indonesia diprediksi akan segera masuk kelompok
BRIC (Brazil, Rusia, India dan China).
Tentunya selain kabar baik dari sektor ekonomi, masih banyak lagi
kabar menggembirakan dari dunia pendidikan. Entah berapa banyak putra-putri
bangsa yang menjuarai olimpiade internasional, di bidang fisika, matematika
atau robot. Kita bisa membuktikannya dengan mengetikkan kata kunci 'juara
olimpiade internasional' di mesin pencari internet. Hal itu membuktikan bahwa
Indonesia masih memiliki harapan yang besar untuk membangun masa depan
gemilang.
Sayangnya, semua kabar gembira tersebut juga diiringi oleh
beberapa kabar kurang menyenangkan. Sebagian besar kabar negatif ini berasal
dari sektor penegakan hukum yang memiliki hubungan erat dengan korupsi dan
berujung pada rendahnya moral para politikus. Kasus demi kasus terus bermunculan,
mulai dari skandal Century, skandal pajak Gayus Tambunan, kasus Nazaruddin,
konflik di Mesuji, sampai kerusuhan di Bima. Mengapa ini terjadi? Faktor apa
yang memengaruhi tingkat stabilitas di negeri ini?
Masa Transisi
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia masih berada dalam masa
transisi. Dalam sejarah hubungan internasional, masa transisi merupakan
saat-saat rawan terjadinya konflik atau perang. Masa transisi kekuasaan hampir
selalu berakhir dengan perang besar antara dua kekuatan. Hanya transisi kekuasaan
dari Inggris ke Amerika Serikat (AS) di tahun 1930-an sajalah yang berjalan
mulus, tanpa diakhiri dengan peperangan di antara keduanya.
Dalam konteks politik domestik di Indonesia, transisi kekuasaan
dari rezim Orde Baru yang tertutup menuju era reformasi dan demokrasi yang
lebih terbuka, sempat berakhir dengan konflik berdarah meski tak terlalu
signifikan. Sejak saat itu, muncul konflik-konflik lainnya di beberapa tempat
di Tanah Air. Proses transisi tersebut masih berjalan sampai saat ini, yang ditandai
dengan masih belum stabilnya sektor politik, sosial dan ekonomi.
Dalam model kurva 'J' yang dibuat oleh Ian Bremmer (2006), posisi
Indonesia saat ini sedang berada di lengkungan sisi kanan. Posisi ini, menurut
Bremmer, ditandai oleh keterbukaan dan kestabilan. Sebelumnya, Indonesia telah
melewati masa-masa tertutup namun stabil, di bawah rezim Orde Baru, letaknya
ada di sisi kanan kurva 'J'. Setelah itu, Indonesia memasuki masa-masa kritis
di titik terbawah kurva 'J', di mana terjadi transisi dari ketertutupan menuju
keterbukaan. Negara-negara yang pernah mengalami fase ini adalah Afrika Selatan
dan Yugoslavia.
Jika mengacu pada model tersebut, saat ini Indonesia sedang berada
pada titik lengkungan sisi bawah kanan kurva 'J', menuju keterbukaan dan kestabilan.
Akan tetapi, untuk menuju sisi kanan kurva, dibutuhkan dua komponen krusial,
yakni kapasitas negara untuk menahan guncangan dan juga kemampuan untuk
menghindari terproduksinya guncangan.
Apa yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, berhubungan dengan
krisis kepemimpinan akhir-akhir ini memang bukanlah tanpa alasan. Dua komponen
krusial yang menopang stabilitas di atas sangat berkaitan dengan kualitas para
pemimpin dan pejabat kita. Negeri ini membutuhkan pemimpin - baik eksekutif,
legislatif dan yudikatif - yang memiliki visi jauh ke depan, tidak hanya
mengedepankan kepentingan jangka pendek semata.
Dalam hal ini kita patut berkaca pada China. China, dalam analisa
Bremmer, merupakan negara yang unik, karena tidak melewati jurang 'mematikan'
dari kurva 'J'. Tiongkok dianggap sebagai anomali, karena berhasil melompat
dari ketertutupan yang stabil (pada masa Mao Zedhong) menuju keterbukaan yang
stabil, tanpa melalui fase kritis keterbukaan-tanpa kestabilan.
Ternyata Tiongkok memenuhi dua syarat utama penentu stabilitas di
atas, yakni kemampuan negara dalam menahan dan reproduksi guncangan. Kualitas
pemimpin China memang tidak diragukan lagi. Para pemimpin negeri Tirai Bambu
ini memiliki kemampuan dalam mengejar kepentingan nasional tanpa menimbulkan masalah
dengan negara super power AS. Alih-alih menjadi negara under dog, China semakin
kuat meyakinkan dunia sebagai kekuatan besar baru melalui soft power-nya.
Bangsa Indonesia harus segera sadar bahwa abad 21 adalah era-nya
kemajuan Asia. Untuk mencapai Indonesia yang gemilang di masa depan, dibutuhkan
para pemimpin dan pejabat yang memiliki kualitas dan kapabilitas mumpuni dalam
memimpin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar