Menurunkan
Suku Bunga Bank
Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN
BISNIS UGM, YOGYAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 30
Januari 2012
Beberapa
waktu yang lalu, Gubernur Bank B Indonesia Darmin Nasution menye butkan, suku
bunga kredit bank masih tinggi karena tingkat efisien perbankan nasional yang
masih rendah. “Penurunan BI Rate (suku bunga acuan BI) ke suku bunga kredit
akan tertransmisi secara efektif apabila bank beroperasi secara efisien,“ ujar
Darmin, di Jakarta, Rabu (30/11).
Namun
faktanya, kata dia, perbankan nasional belum mengikuti penurunan suku bunga BI
sekali pun operasinya sudah sangat profitable. Otoritas perbankan ini mencatat,
bunga kredit bank di Indonesia tertinggi di ASEAN, baik suku bunga nominal maupun
riil (suku bunga nominal dikurangi inflasi).
Di
mata BI, kondisi ini tidak sekadar membebani nasabah, tetapi juga merugikan
bank. Tinggi rendahnya suku bunga
menjadi tolok ukur daya saing perbankan. Semakin tinggi bunga, semakin sulit
bersaing. Celakanya, pada 2015, ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berjalan,
perbankan kita harus bersaing dengan bank dari negara kawasan yang terbiasa
mengutip bunga rendah.
Perbankan
nasional menghasilkan keuntungan paling besar di antara negara-negara di
wilayah Asia Tenggara. Buktinya, tingkat return on asset (ROA) pada September
2011 industri perbankan mencapai 3,11 persen. Itu lebih tinggi dari rata-rata
kawasan yang hanya mencapai 1,14 persen. Angka tersebut rata-rata ROA di lima
negara ASEAN selama 2007-2011.
Kedua
hal itu berkebalikan dengan kondisi efisiensi perbankan. Rasio Beban
operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) mencapai 87,22 persen. Ini
terbilang tinggi karena rasio BOPO di kawasan ASEAN berada antara 40-60 persen.
Ketidakefisienan ini memberikan kontribusi pada penetapan suku bunga kredit
yang tinggi.
Industri
perbankan Indonesia juga sudah sangat prudent tecermin dari rasio kecukupan
modal (CAR) perbankan yang mencapai 16,7 persen dan rasio nonperforming loan
(NPL) yang hanya 2,7 persen (gross) pada September 2011. Kedua faktor tersebut,
keuntungan dan kesehatan, ditambah dengan iklim persaingan seharusnya tidak
menjadi penghalang bagi bank untuk menurunkan suku bunga.
Jarak
antara BI Rate dan bunga kredit saat ini tinggi. Idealnya hanya selisih tiga
persen atau 300 bps. Jika saat ini BI Rate di posisi 6,0 persen, bunga kredit
harusnya di posisi rata-rata 10 persen. Faktanya, selisihnya lima persen lebih.
Apalagi suku bunga kredit untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM), selisih suku bunga bisa mencapai 10 persen.
Apalagi suku bunga kredit untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM), selisih suku bunga bisa mencapai 10 persen.
Menurut
Menteri Perindustrian MS Hidayat, suku bunga kredit sektor UMKM berada di atas
15 persen. Dengan skema kredit usaha rakyat (KUR) tanpa jaminan, suku bunga itu
mencapai 20 persen. Yang memakai jaminan juga masih tinggi, yakni di sekitar 14
persen sampai 16 persen. Hidayat mengharapkan agar spread atau rentang suku
bunga kredit dan deposito perbankan lebih ditekan lagi agar bunga kredit bisa
turun.
“Spread terlalu tinggi, yaitu 7-8 persen, bayangkan saja. Kalau di luar negeri itu hanya 3-4 persen, jadi masih ada ruang penurunan suku bunga kredit,“ ujarnya.
“Spread terlalu tinggi, yaitu 7-8 persen, bayangkan saja. Kalau di luar negeri itu hanya 3-4 persen, jadi masih ada ruang penurunan suku bunga kredit,“ ujarnya.
BI
mengklaim, sudah ber upaya maksimal menggiring bank menggunting bunga, termasuk
dengan menerapkan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dan benchmarking
biaya bank. BI merasa tidak bisa mengintervensi bank dengan membatasi batas
atas bunga kredit. Karena, hal itu merusak pasar dan tidak sehat untuk
industri.
BI Belum Maksimal?
Beberapa
ekonom menilai, penyebab kondisi tersebut adalah struktur perbankan kita yang
oligopoli. Kita bisa melawan keadaan ini asal regulator membuat kebijakan yang
saling menopang. BI bisa mengatasinya lewat kebijakan moneter, atau pemerintah
menggunakan bank-bank BUMN.
Kebijakan
moneter, misalnya, penempatan dana bank di instrumen BI. Seharusnya, BI secara
bertahap mengembalikan ekses likuiditas ke perbankan untuk mereka kelola
sendiri. Strategi ini tentu memperhitungkan tugas bank sentral menjaga kondisi
makro dengan mengetatkan atau melonggarkan likuiditas.
Setelah
bank tidak memiliki banyak pilihan ke mana memarkir dana berlebih, bank
berpikir keras untuk mengelolanya. Pilihannya tidak banyak, yakni menyalurkan
ke dalam kredit dan pasar uang atau mengurangi dana pihak ketiga (DPK).
Kedua-duanya berefek ke bunga.
Jika
menggenjot kredit atau menyalurkan dana ke Pasar Uang Antarbank (PUAB), bank
yang overlikuid akan menurunkan bunga pinjaman agar cepat terserap pasar. Jika
bank besar menurunkan bunga, bank lain pasti akan mengikuti.
Jika
mengurangi DPK, bank akan menurunkan bunga simpanan. Sikap jual mahal ini
memacu bank lain menurunkan bunga sehingga struktur biaya bank menjadi lebih
baik. Jadi, bunga kredit tinggi bisa dilawan dengan segenap cara. Persoalannya,
sejauh mana BI mengarahkan industri dan secerdas apa pemerintah memanfaatkan
empat bank miliknya.
Untuk
mendorong penurunan suku bunga kredit, bank sentral juga bisa mengupayakan
pembahasan dengan Kementerian BUMN mengingat bisnis bank di Indonesia
didominasi bank BUMN. Biaya operasional pendapatan operasional (BOPO) bank
persero masih di kisaran 85 persen. Ini perlu djadikan perhatian oleh Bank
Indonesia.
Masih
banyak komponen yang bisa didorong untuk membuat bisnis bank menjadi lebih
efisien, salah satunya adalah aturan untuk mendorong efisiensi. Namun, perlu
diperhatikan apabila BI melakukan regulasi yang terlalu kuat untuk mendorong
penurunan suku bunga, bisa jadi bank hanya akan memberi kredit pada korporasi
yang bunganya rendah dan meninggalkan UMKM.
Karena
itu, pemerintah juga harus memastikan adanya penurunan suku bunga kredit tanpa
bank meninggalkan UMKM. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan pemerintah
daerah perlu terus mengusahakan penurunan suku bunga dengan memasok dana murah
ataupun penjaminan kepada UMKM melalui BUMN asuransi kredit di pusat dan
daerah. Pemerintah bisa mengintervensi perbankan lewat bankbank BUMN, yang
total kreditnya kini sekitar 20 persen.
Bank BUMN harus meningkatkan efisiensinya. Menurut data, BOPO bank BUMN justru paling tinggi.
Bank BUMN harus meningkatkan efisiensinya. Menurut data, BOPO bank BUMN justru paling tinggi.
Soal
penyediaan dana murah, pemerintah juga bisa berperan. Caranya, tidak mema tok
dananya yang tersimpan di rekening BI atau bank BUMN dengan tingkat suku bunga
yang mahal. Demikian juga, dengan BUMN yang sangat likuid dan memiliki
kelebihan likuiditas harus diawasi agar tidak menekan bank dengan bunga
simpanan yang tinggi.
Jika
bunga simpanan masih tinggi, otomatis bank tidak dapat menurunkan suku bunga
kredit. Bank pada umumnya juga mencari untung. Jadi, mereka pasti lebih
tertarik untuk menggunakan bunga tinggi saat memberikan kredit.
Bahkan, ada bank pemerintah yang interest margin-nya mencapai sembilan persen.
Di
satu sisi, pemerintah menuntut dividen tinggi kepada bank BUMN, tapi di lain
pihak bank BUMN harus menurunkan margin keuntungannya dari penurunan suku
bunga. Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas bank BUMN dapat ikut
mendorong penurunan biaya bunga tanpa mengorbankan keuntungannya.
Pertama,
penurunan cost of fund. Kedua, efisiensi operatio nal cost (overhead cost).
Ketiga, merasionalkan margin keuntungan bank. Keempat, mengurangi risiko usaha.
Dari keempat faktor itulah, bunga kredit ditentukan jumlahnya. Mengenai risiko
usaha, tiap-tiap bank memiliki kebijakan berbedabeda. Ukurannya pun sangat
subjektif bergantung bank bersangkutan masing-masing.
Penyebab
bunga kredit tinggi juga disebabkan sektor UMKM ini sangat berisiko atau
gampang kolaps sehingga bank juga riskan untuk memberikan kredit kepada UMKM.
Kalaupun bank memberikan kredit, pasti akan memasang bunga yang tinggi untuk
menghindari risiko kebangkrutan bagi bank itu sen diri. Kalau UMKM-nya
bangkrut, kredit ini akan macet sehingga bank tersebut ikut menanggung beban
itu. Bank juga tidak mem punyai uang jangka panjang.
Maka
itu, kuncinya adalah peningkatan dana KUR dengan skema penjaminan risiko dari
BUMN atau BUMD asuransi kredit. Apabila dana KUR Rp 50 triliun saja dengan
gearing ratio 10 kali, bisa disalurkan kredit sebesar Rp 500 triliun kepada
UMKM dengan kredit relatif murah.
Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia prihatin terhadap tingkat suku bunga bank
di Indonesia yang masih tinggi. Dunia usaha meyakini itu sesuatu yang bukan
mustahil untuk diturunkan apabila BI dan pemerintah terus bekerja sama.
Ketua
Umum Kadin Indonesia Suryo B Sulisto menyampaikan, sangat ironis Indonesia
merupakan negara yang tingkat suku bunga banknya masih sangat tinggi. “Kami
sangat risau, prihatin, tampaknya ada keengganan dari sektor perbankan untuk
menurunkan suku bunga, apa pun itu alasannya. Sebab, kami yakin, itu sesuatu
yang bukan mustahil untuk diturunkan,“ kata Suryo, di Jakarta, Selasa (17/1).
Ia
berharap, ada campur tangan pemerintah yang lebih serius dan intensif agar
tingkat suku bunga dapat diturunkan dan akses UMKM ke bank dapat terus
meningkat. Dengan demikian, dunia usaha, khususnya UMKM, bisa memperbaiki daya
saingnya. Faktor bunga yang tinggi adalah salah satu yang berdampak pada
tingkat daya saing.
Pemerintah
berkepentingan akan hal tersebut, karena dengan bunga rendah, sektor riil bakal
terpacu. Apalagi, tahun ini pertumbuhan ekonomi akan melambat karena terimbas
krisis global. Agar ekonomi tetap tumbuh, dibutuhkan stimulus pada sektor riil.
●
Untuk tambahan informasi terkait postingan di atas bisa juga lihat di link : http://pena.gunadarma.ac.id/bank-persero-tambun-namun-boros/
BalasHapus