Mengukuhkan
Pluralisme
Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR DI
MUNTILAN, MAGELANG
Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
Pendidikan adalah ruang menumbuhkembangkan
pribadi beradab. Ketika pendidikan ada dalam kepungan pengerdilan peradaban,
kelas mesti menjadi ruang perjuangan untuk melahirkan pribadi beradab. Kelas
menjadi arena perjuangan melahirkan anak bangsa yang pluralis dan nasionalis,
pencinta sejati negeri ini.
Tulisan Hasibullah Satrawi berjudul
”Radikalisasi Tunas Muda” (Kompas, 31/12/2011) terus meneguhkan penulis untuk
menjadikan kelas arena perjuangan. Anak-anak yang hadir di kelas tak boleh
terus dibiarkan hidup sebagai gerombolan dengan sejumlah paham radikal dan
eksklusif dengan segala luka dan curiga yang meringkihkan bangunan negeri ini.
Mereka harus dipisahkan dari gerombolan hingga menjadi pribadi pluralis.
Pluralisme adalah takdir tak terbantahkan
dalam kehidupan ini. Keberlangsungan hidup segala ciptaan meniscayakan relasi
dengan ciptaan lain (”Mengubah Paradigma Pendidikan Agama”, Kompas, 13/1).
Keniscayaan ini bukan hanya dalam konteks agama dan lingkup Indonesia,
melainkan juga dalam konteks dan lingkup lebih luas. Keterbukaan untuk berelasi
dan membangun jejaring hidup dengan liyan adalah keterampilan hidup yang sangat
diperlukan dalam kehidupan yang bertakdir plural ini.
Radikalisme, meski dibangun bersama massa
sebesar apa pun, sejatinya membatasi, bahkan menyempitkan ruang kehidupan.
Segala paham dan aksi radikalisme adalah tempurung kehidupan. Tragisnya,
radikalisme dan eksklusivisme adalah tempurung kehidupan yang kian menyempit.
Penghayatnya pun akhirnya menjadi pribadi kerdil karena menihilkan adab.
Membongkar
Tempurung
Radikalisme sebagai tempurung pengerdil
kehidupan sering terbangun dalam paham eksklusif. Membongkar tempurung
radikalisme artinya melumerkan eksklusivisme.
Pengalaman penulis, pemahaman yang eksklusif
dan radikal pada sejumlah siswa terbangun karena informasi yang tunggal,
sepihak, lagi sempit. Ini sebuah kebodohan. Gerakan radikalisme dan
eksklusivisme kebodohan ini sengaja diciptakan dan dipermanenkan. Sesungguhnya
ini bentuk kejahatan.
Demi melumerkan kebekuan pemahaman eksklusif
dan radikal, guru mesti menjadi teman dialog. Guru dan murid belajar bersama.
Pembelajaran dalam dialog mengandaikan pencarian bersama. Hubungan guru dan
murid setara. Langkah pertama dan utama adalah saling mengenal bangunan
pemahaman dan persepsi. Pengenalan diupayakan dengan menyeluruh dan
komprehensif dalam tinjauan beragam disiplin ilmu.
Pengenalan bersama tentang pemahaman dan
persepsi guru-murid itu seperti menegaskan peta hidup masing-masing. Pada tahap
ini, dalam tinjauan sosial-budaya, sering kali penulis bersama para murid
menemukan ruang ringkih dari konsep dan keyakinan (agama) kami masing-masing.
Ruang ringkih ini menyadarkan bahwa radikalisme dan eksklusivisme ternyata
hanya parsial kehidupan.
Karena itu, radikalisme dan eksklusivisme
sesungguhnya meringkihkan kehidupan yang sudah penuh keringkihan. Penemuan
ruang ringkih ini membantu mencipta kesadaran perlunya liyan untuk membangun
hidup lebih baik. Pada kesadaran ini, penulis memotivasi peserta didik untuk
membangun jejaring hidup. Jejaring hidup akan membuat realitas hidup yang
parsial menuju ke kesempurnaan.
Ringkih
itu Mengokohkan
Agaknya kita perlu mempertimbangkan metode
pembelajaran dengan penyadaran ruang
ringkih ini. Dalam kehidupan yang
tertakdir plural, juga dalam tinjauan kehidupan sebagai produk sosial budaya di
era globalisasi, kesadaran bersama akan keringkihan adalah titian niscaya
membangun kehidupan kokoh.
Keringkihan menyadarkan betapa pentingnya
liyan. Liyan bukan musuh. Liyan justru anugerah cuma-cuma kehidupan dari Sang
Pencipta. Keringkihan memang menyadarkan akan kehidupan yang merongga,
kehidupan yang tak sempurna. Kesadaran hidup yang merongga sesungguhnya tahap
mencipta undangan kehadiran liyan. Liyan adalah wahyu Ilahi yang membadan. Pada
liyan manusia menjumpai Yang Ilahi dalam bahasa yang terjangkau. Karena itu,
keringkihan adalah kemurahan hati sekaligus jalan kasih dari Sang Pencipta agar
manusia mampu menggapai kesempurnaan.
Jangan takut menyadarkan anak didik tentang
ketidaksempurnaan hidup dengan segala keyakinannya selama ini. Kesadaran akan
ketidaksempurnaan adalah keniscayaan untuk menggapai kesempurnaan. Kesadaran
akan ketidaksempurnaan sejatinya adalah tanda kecerdasan manusia yang hidup di
dunia yang plural dan mengglobal ini. Beranikah kita melakukannya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar