Makna
Peringkat Layak Investasi
Umar Juoro, EKONOM
Sumber
: KOMPAS, 30
Januari 2012
Indonesia oleh lembaga pemeringkat utang
internasional Fitch and Moody’s telah dimasukkan ke dalam kategori investment
grade atau peringkat investasi. Kemungkinan lembaga pemeringkat ketiga, yaitu S
and P, segera mengikutinya.
Hasil yang akan diperoleh Indonesia dari
peringkat investasi ini adalah kemungkinan semakin besarnya investasi yang
masuk ke Indonesia, baik langsung maupun portofolio. Begitu pula bunga pinjaman
pemerintah dan swasta ke luar negeri kemungkinan akan menurun.
Peringkat investasi pernah kita dapatkan pada
masa sebelum krisis 1988, tetapi pada saat krisis peringkat Indonesia jatuh
terperosok. Baru setelah lebih dari satu dekade, kita mendapatkan kembali
peringkat investasi. Ini terjadi bersamaan dengan keadaan ekonomi dunia yang
tidak pasti karena krisis Eropa dan masih stagnannya perekonomian AS
pascakrisis 2008.
Banjir
Investor
Implikasinya adalah investor semakin
membanjiri negara berkembang dengan aliran modal sangat besar. Pada 2011
sekitar 700 miliar dollar AS dana mengalir ke negara berkembang dalam bentuk
penanaman modal asing (PMA), portofolio, dan lainnya.
Tahun 2011 sekitar 13 miliar dollar AS dari
PMA dan 8 miliar dollar AS portofolio masuk ke Indonesia. Investasi ini
mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuat indeks pasar modal sempat menembus
angka 4.000. Kemungkinan aliran investasi masih besar ke Indonesia tahun 2012.
Karena itu, sekalipun pertumbuhan ekonomi dunia menurun, Indonesia masih dapat
tumbuh tinggi dengan kemungkinan di atas 6 persen.
Besarnya modal yang masuk Indonesia membuat
BI sulit menjalankan kebijakan moneter. Dengan besarnya modal portofolio yang
mudah masuk dan keluar membuat nilai rupiah berfluktuasi. Dana masuk memperkuat
rupiah, sedangkan dana keluar melemahkan rupiah.
BI harus mensterilkan dana yang masuk dengan
membeli dollar dengan rupiah. Akibatnya, uang beredar semakin besar. Karena
itu, BI harus menarik kembali uang tersebut supaya tidak mendorong inflasi.
Dengan tidak dilelangnya lagi SBI di bawah 9 bulan, maka penarikan dilakukan
dengan time deposit (deposito berjangka) yang diperuntukkan hanya untuk bank
dalam negeri.
Pertumbuhan kredit perbankan sekitar 24
persen adalah cukup tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi nominal (tidak dikurangi
inflasi) sekitar 11 persen, pertumbuhan kredit tersebut belum menimbulkan
gelembung kredit yang berbahaya bagi perekonomian, walaupun semestinya dengan
pertumbuhan kredit setinggi itu pertumbuhan ekonomi semestinya lebih tinggi
dari 7 persen.
Besarnya PMA juga mendorong peningkatan
permintaan dollar untuk kebutuhan belanja modal dan modal kerja. Kredit dollar
tumbuh sekitar 36 persen, sementara dana pihak ketiga dalam dollar hanya tumbuh
sekitar 3,5 persen. Kesenjangan yang besar ini membuat BI harus berusaha keras
menyediakan pasokan dollar. Maka kecenderungannya perusahaan akan semakin besar
meminjam ke luar negeri. Hal ini harus dicermati terutama jika perusahaan
meminjam dana jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang.
Belajar
dari Krisis
Kita harus belajar dari krisis 1998, supaya
tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada tahun 1996, satu tahun sebelum
krisis, Indonesia dipandang sebagai salah satu macan Asia. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi—sekitar 7 persen—didorong oleh investasi. Modal masuk mencapai sekitar
11 miliar dollar AS. Pertumbuhan kredit sekitar 20 persen. Defisit neraca
berjalan sekitar 3 persen dari PDB, sekalipun keseluruhan neraca pembayaran
surplus. Situasi serupa dialami Thailand dan Korsel.
Banyak pihak berpendapat pada waktu itu bahwa
situasi Indonesia aman, apalagi Indonesia belum pernah mengalami krisis
keuangan. Namun, keadaan sebenarnya adalah terjadi gelembung kredit bank, di
pasar modal, dan properti. Ditambah lagi dengan besarnya utang swasta ke luar
negeri dalam jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang. Begitu imbas
krisis dari Thailand menerpa, perekonomian Indonesia terpukul. Ditambah dengan
krisis politik lengkaplah terjadi krisis multidimensional.
Dewasa ini neraca perdagangan masih surplus
sekalipun banyak analis memperkirakan defisit pada 2012. Bank juga kuat
modalnya dengan rasio kecukupan modal (CAR) rata-rata sekitar 17 persen.
Manajemen risiko bank dan supervisi dari BI juga lebih baik. Rasio harga
terhadap ekuitas di pasar modal masih 16 persen, belum dianggap gelembung.
Cadangan devisa pun cukup besar sekitar 114 miliar dollar AS. Stabilitas
politik juga terjaga. Dalam keadaan seperti ini perekonomian Indonesia siap
untuk terus berkembang.
Apa yang harus diperhatikan oleh penentu
kebijakan adalah mengendalikan volatilitas aliran modal, nilai kurs, pinjaman
luar negeri swasta berjangka pendek, dan alokasi kredit yang produktif. Harus
diupayakan modal masuk tidak didominasi oleh yang berjangka pendek. Kebijakan
perlu dilakukan untuk membuat modal lebih lama tinggal di Indonesia. Jika hal
ini dapat dilakukan dengan baik, maka terbuka peluang besar bagi perkembangan
ekonomi yang berkesinambungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar