Oh,
Sara!
Mochtar Naim, SOSIOLOG
Sumber
: KOMPAS, 27
Januari 2012
Oh, Sara! Sejak namamu tak boleh disebut di
awal Orde Baru 44 tahun lalu, jurang sosial-ekonomi dan sosial-budaya di antara
kami sesama warga Negara Kesatuan RI ini bukan semakin mengatup, melainkan
justru kian menganga.
Rezim Orde Baru alias Orba di bawah komando
Jenderal Besar Soeharto kebetulan memberi prioritas kepada kelompok kami yang
dari nonpribumi keturunan China. Mereka bekerja sama dengan para kapitalis
multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia dalam sektor industri
galian berskala besar untuk membantu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari
kebangkrutan total yang ditinggalkan rezim Orde Lama.
Proteksi dan Kerja Sama Triumvirat
Demi itu, kami memang sengaja diproteksi
dan dilindungi para penguasa negara birokrat politik yang rata-rata adalah
pribumi bermental priayi, berbudaya feodal-nepotik-sentripetal-etatik sipil
maupun militer yang rata-rata berpendidikan tinggi dalam dan luar negeri.
Dengan kerja sama triumvirat ini (MNC,
konglomerat, dan penguasa NKRI), kami berhasil menyelamatkan ekonomi Indonesia
dari kebangkrutan dan kehancuran peninggalan rezim Orde Lama (Orla). Warisan
yang ditinggalkan Orla berupa 600 persen inflasi dan 60 dollar AS pendapatan
per kepala rata-rata penduduk (negara-negara maju di atas 10.000 dollar AS
waktu itu) kami selamatkan.
Karena Orla yang langsung dipimpin
proklamator kemerdekaan kami, Soekarno, mengabaikan pembangunan ekonomi dan
memfokuskan perhatian pada arogansi berbangsa dan bernegara di forum
internasional, begitulah jadinya. Untung saja, negara Abang Sam membuka pintu
bagi mahasiswa Indonesia yang ingin memperdalam ilmunya, khususnya ekonomi, ke
universitas ternama di pantai barat dan timur Amerika Serikat.
Kelompok alumni seniornya yang kemudian suka
digelari sebagai mafia Berkeley sudah banyak menempati posisi kunci ekonomi,
perdagangan, dan industri di pemerintahan sesuai dengan motif dan garis arah
yang mereka pelajari di negeri Abang Sam itu: ekonomi liberal kapitalistis
pasar bebas.
Merekalah yang menasihati Jenderal Besar
Soeharto menyerahkan urusan ekonomi dan perdagangan kepada ”ahlinya”: kelompok
konglomerat nonpribumi China bekerja sama dengan kelompok MNC di bawah
lindungan para birokrat pribumi kami sebab merekalah yang punya pengalaman dan
kiat bagaimana menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran.
Kepada kelompok warga pribumi yang jumlahnya
”cuma” 90-an persen dan rata- rata masih hidup di bawah garis kemiskin- an,
kebodohan, dan keterbelakangan dibe- ri peluang yang sama nanti kalau ekonomi
Indonesia sudah membaik dalam jangka waktu 5-6 Repelita ke depan. Kalau
langsung sekarang, mereka tak punya pengalaman dan latar memadai untuk langsung
turut menyelamatkan ekonomi Indonesia yang sudah sempoyongan itu.
Maka, pendapat kelompok pemimpin sosialis,
seperti Hatta, Soedjatmoko, Sultan HB IX, dan TB Simatupang yang menginginkan
warga pribumi langsung diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi dengan dasar
koperasi dengan enteng ditolak penguasa Orba: Jenderal Besar Soeharto.
Rezim berganti rezim. Orba keok setelah
berkuasa 32 tahun dan digantikan Orde Reformasi. Masa kerja tiga presiden
pertama sebelum Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang singkat. Soeharto
digantikan wakilnya, Habibie. Habibie oleh Gus Dur. Gus Dur oleh Megawati.
Ketiganya kurang dari enam tahun. SBY sebaliknya sekarang memangku jabatan
untuk kedua kali.
Karena aturan bahwa presiden cuma boleh
menjabat dua kali, sekarang sedang kasak-kusuk mereka yang berminat mencari
peluang mencalonkan diri jadi presiden berikutnya. Namun, itu tak mudah.
Demokrasi sekarang bukan demokrasi dulu lagi. Dulu kerakyatan, sekarang do it,
duit. Jangan coba-coba jadi calon apa pun di eksekutif atau legislatif kalau
tak punya duit. Dan itu miliaran upiah. Secara berpartai triliunan rupiah dana
diperlukan.
Jadi, kerja sama triumvirat lagi-lagi
diperlukan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme—bagaimanapun—diperlukan. Dan oleh
itu saja Indonesia sekarang sudah berhasil dicap sebagai negara yang termasuk
terkorup di dunia. Kita atau kami hanya pandai berkata manis di atas kertas, di
pasal-pasal UUD 1945 yang telah kami edit dan sempurnakan sampai empat kali.
Namun, yang kami lakukan jauh panggang dari api. Pandai berkata-kata, tetapi
tak berbuat untuk kesejahteraan rakyat yang, untuk ukuran Asia Tenggara saja,
adalah kelompok rakyat termiskin: 200-an juta.
Apa yang menarik dengan pergantian rezim dari
yang satu ke yang lain itu selama 66 tahun merdeka ini, khususnya sejak masa
Orba ke Orde Reformasi sekarang ini? Yang berganti hanya rezim, orangnya, yang
sistem dan struktur ekonomi dan sosial-budayanya tak berubah. Praktis,
bagaimana dahulu di zaman kolonial, begitu juga sekarang. Ekonomi Indonesia
dasarnya liberal, kapitalistis, pasar bebas, dikuasai seluruhnya oleh unsur
eksternal, bukan rakyat pribumi asli Indonesia sendiri, yang sekarang membentuk
kerja sama triumvirat itu.
Satu, kelompok konglomerat nonpribumi China
yang menguasai jalur ekonomi dari hulu sampai muara: di darat, laut, dan udara.
Dua, kelompok MNC alias multinational corporations yang menanamkan modal di
sektor industri galian, manufaktur, perbankan, dan perdagangan internasional.
Tiga, dicagak kelompok penguasa politik priayi pribumi yang suka hidup
berfoya-foya, ultra-materialistis, tanpa menghiraukan nilai-nilai luhur agama
dan budaya bangsa sambil bernyanyi-bersenandung mengayuh biduk hilir.
Sejarah Berulang
Atas namamu, Sara, mulut kami ditutup. Kami
tak dibolehkan saling mengkritik, apalagi mencerca. Untung, menjelang akhir
masa kedua rezim reformasi jilid kedua SBY ini, karena tak tertahankan lagi,
anak-anak kami, pemuda kami, mahasiswa kami, sudah berani buka mulut dan
langsung bersuara lantang.
Sama seperti di pengujung rezim Orla di
pengujung rezim Orba. Petunjuk bahwa mereka sudah tak menyukai rezim re-
formasi jilid kedua SBY sekarang ini yang bijak berteori dan berkata-kata,
tetapi tak banyak berbuat menyelamatkan nasib rakyat pribumi yang cuma 90-an
persen dari keseluruhan penduduk NKRI itu.
Hari-hari menjelang pergantian rezim yang
akan datang ini sukar ditebak, tetapi mudah dibayangkan bahwa selama sistem dan
struktur yang ada sekarang dan selama ini tak berubah, sejarah tetap akan
berulang kembali. Orang Perancis bilang: L’histoire c’est repete. Sejarah
berulang!
Bayangkan! Kesenjangan dikotomis- dualistis
dan polaristis ini telah berjalan sejak Majapahit dan Mataram sekian abad lalu
dan berlanjut ke zaman penjajahan Belanda sampai pula ke zaman kemerdekaan
hingga sekarang ini. Esensinya sama dan tak pernah berubah: penguasa politik
pribumi mengandalkan kekuasaan menjalankan ekonomi makro kenegaraan kepada
kelompok eksternal yang masuk dan menguasai ekonomi Indonesia ini.
Masalahnya, Sara, kapan sistem dan struktur
ekonomi kenegaraan NKRI ini akan berubah, sekurang-kurangnya seperti yang
diinginkan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang telah diperbaiki dan disempurnakan
itu? Dengan itu, urat tunggang dari akar semua masalah—yaitu sistem dan
struktur ekonomi dan politik bernegara yang berlaku dan dipraktikkan sekarang
ini—harus dibabat habis dan dirombak total lalu dikembalikan ke pangkalnya: UUD
1945 yang telah diperbaiki dan khususnya Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Yang
dibangun, keseluruhan isi Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang telah disempurnakan
pada perubahan keempat.
Tekanannya pada (1) membangun ekonomi
kerakyatan atas asas kekeluargaan [Pasal 33 Ayat (1)]; (2) bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat [Pasal 33 Ayat (3)]; (3) perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga ke seimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
[Pasal 33 Ayat (4)]; (4) fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara
negara [Pasal 34 Ayat (1)]; (5) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan [Pasal 34 Ayat (2)]; (6) negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak [Pasal 34 Ayat (3)].
Dikambinghitamkan
Sara, jika struktur dan sistem ekonomi
kenegaraan ini telah kita dudukkan sesuai dengan tuntutan Pasal 33 dan 34 itu,
masalahmu yang suka dipergunjingkan di balik belakang situasi resmi di negara
NKRI ini akan selesai dengan sendirinya. Namamu selama ini telah dikaitkan
dalam hubungan tak baik ber-suku, ber-agama, ber-ras-antaretnik, dan
ber-antargolongan. Sara—katanya—berarti itu. Makanya namamu dibenci, padahal yang
berbuat itu adalah sistem ekonomi dan politik yang dikembangkan selama ini di
Nusantara sejak nenek-moyang dahulu lagi.
Kau, Sara, telah dikambinghitamkan. Padahal,
yang berbuat adalah sistem yang dikembangkan kelompok triumvirat itu untuk
kepentingan dan keuntungan mereka bertiga. Dengan pergantian rezim ke depan
ini, kami mau yang jadi presiden nanti dan yang duduk di lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dari pusat hingga daerah adalah siapa pun yang mau
mengubah sistem dan struktur ekonomi dan politik nasional itu. Kita bisa
belajar banyak dari Jepang, Korea, bahkan China. Juga Malaysia yang berhasil
menaikkan harkat bangsa bumiputra Melayu dengan menempatkan mereka di baris
depan membangun negara dan tanah air.
Sara, sekarang kau belum bisa menghapus muka
dan air matamu. Semua akan ditentukan oleh perubahan mendasar pada pergantian
rezim mendatang sekaligus juga pergantian sistem dan struktur berbangsa dan
bernegara, khususnya dalam ekonomi dan politik, yang mengutamakan kepentingan
rakyat terbanyak yang masih dirundung kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan ini. Itu pun kalau itu ter- jadi. Jika tidak, sejarah, ya,
berulang lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar