Berperang
Melawan Flu Burung
CA Nidom, KETUA AIRC–UNAIR, SURABAYA
Sumber
: KOMPAS, 31
Januari 2012
Flu burung di Indonesia meminta korban lagi.
Awal tahun 2012, paman dan keponakan yang tinggal serumah terinfeksi. Ini kasus
kluster pertama tahun ini di Indonesia.
Sampai 24 Januari 2012, korban flu burung di
Indonesia mencapai 184 orang dan 152 meninggal (32 persen dan 44 persen korban
dunia), tertinggi di dunia, diikuti Mesir dan Vietnam. Di Thailand dan Turki,
kasus manusia berhenti sejak 2007.
Dari 33 provinsi di Indonesia, 32 merupakan
daerah endemis flu burung pada unggas dan hewan lain. Belum tampak kemajuan
cara pengendalian, apalagi edukasi kepada masyarakat, masih seperti delapan
tahun lalu. Padahal, kasus pada manusia akan habis jika kasus pada hewan juga
berhenti.
Belum ada sinergi antar-otoritas. Setelah
Komnas Flu Burung bubar, masyarakat menunggu kiprah Komnas Penanggulangan
Penyakit Zoonosis yang diharapkan berperan lebih, tidak lagi seperti ”koboi
tanpa pistol”.
Interaksi
inang dan virus
Sejak 1997, agen/virus flu burung
berinteraksi spesifik dengan inang (host). Tatkala virus ini menginfeksi ayam,
angka kesakitan dan kematian sangat tinggi, bisa 100 persen. Pada bebek,
kesakitan tinggi, tetapi tingkat kematian rendah. Pada spesies unggas lain
bersifat sporadis. Pada hewan lain, babi, kucing, anjing, dan mamalia lain,
pola penularan belum jelas diketahui.
Saat virus melompat ke manusia, jumlah kasus
sangat rendah dibandingkan jumlah penduduk, tetapi angka kematian (case
fatality rate/CFR) sangat tinggi, 60-80 persen, tergantung penanganan
penderita.
Akhir-akhir ini pola interaksi inang
(manusia) dengan virus tampak spesifik dan perlu dicermati semua pihak.
Khususnya tiga kasus terakhir di Bali, Jakarta, dan Tangerang.
Kasus di Bali, akhir 2011, korban tiga orang:
dua anak dan ibu yang tinggal serumah. Saat kedua anaknya dirawat di rumah
sakit, ibu masih sehat. Ibu sakit dan meninggal beberapa hari setelah kedua
anaknya meninggal. Informasi awal, ibu bukan terinfeksi flu burung, tetapi
akhirnya positif. Dari lapangan, sulit mencari hubungan dengan faktor penularan
dari hewan.
Di Jakarta, keponakan meninggal setelah paman
meninggal dan juga tinggal serumah. Keponakan sempat diumumkan tidak terinfeksi
flu burung, tetapi kemudian dinyatakan positif. Tidak ditemukan virus H5N1 pada
burung dara di rumah mereka.
Kasus terakhir, di Tangerang, sudah diumumkan
terinfeksi virus flu pandemik (H1N1-p), tetapi tindakan di RS Tangerang seperti
menangani korban flu burung. Berdasarkan informasi keluarga, korban tidak
kontak dengan bebek di rumah.
Fatwa
Otopsi
Berdasarkan kajian korban di negara lain,
virus H5N1 tidak hanya menginfeksi saluran pernapasan, tetapi juga seluruh
organ tubuh. Korban flu burung meninggal bukan hanya karena badai sitokin yang
sangat cepat merusak jaringan pernapasan, melainkan juga infeksi pada beberapa
organ (multiorgan failure). Hal serupa tampak pada hewan coba.
Sebetulnya virus flu burung manusia dari
Indonesia paling sedikit menghasilkan sitokin dibandingkan virus flu burung
negara lain dan virus H1N1-p. Namun, karena korban menunjukkan gambaran
sebaliknya, setiap korban perlu diotopsi. Otopsi dan analisis virus pada organ
akan membantu mendapatkan informasi perjalanan penyakit (patogenesis) yang
penting untuk mencegah korban selanjutnya.
Memang tak mudah melakukan ini karena ada
faktor sosial, budaya, dan agama. Diperlukan suatu peraturan atau fatwa agama
agar korban flu burung atau penyakit lain yang menular dan mematikan bisa
diotopsi.
Proses otopsi dan pengkajian ini memerlukan
rumah sakit dan laboratorium khusus. Sebagai negara dengan korban tertinggi,
pemerintah wajib menyiapkan fasilitas ini agar segera bisa menanggulangi flu
burung. Kita bisa mencontoh Turki, yang sejak 2007 tidak ada korban manusia,
dengan menangani penderita secara maksimal.
Penanganan korban sangat tergantung keaktifan
penderita. Selama ini di Indonesia flu dianggap penyakit yang tidak membahayakan.
Karena itu, perlu kesiapan tenaga medis untuk mengantisipasi penyakit flu
burung, dan terakhir kesiapan rumah sakit rujukan. Jika rangkaian ini ada yang
terlewatkan, kasus tidak akan tercatat sebagai flu burung. Jadi, jumlah selama
ini hanya sebagian kecil saja dan merupakan fenomena gunung es.
Langkah yang bisa dilakukan adalah vaksinasi
flu burung pada masyarakat yang berisiko, terutama yang tinggal di segitiga flu
burung, yaitu Jakarta, Jawa Barat, dan Tangerang. Pilihan lain, menjual bebas
obat antivirus flu (osiltamivir) di toko obat, mengingat obat ini hanya efektif
48 jam setelah terinfeksi.
Agar diagnosis awal tepat, diperlukan tes
cepat (rapid test) yang tersedia di puskesmas. Gejala flu burung hampir sama
dengan flu lain, bahkan sering dikelirukan dengan penyakit lain, seperti demam
berdarah atau tifus. Sementara konfirmasi dengan uji lab (PCR) perlu waktu.
Koalisi
Virus
Virus influenza, termasuk flu burung dan
H1N1-p, mempunyai struktur sama: 8 gen yang saling lepas. Virus ini sangat gampang
bermutasi, baik dalam gen tersebut (drift) maupun antargen (shift).
Mutasi drift biasanya dipicu oleh kondisi ekstrem, seperti perubahan cuaca,
vaksinasi yang tak tepat, dan faktor inang.
Vaksin yang tak tepat bisa menyebabkan virus
melompat ke inang lain, terutama manusia, sehingga hati-hati menggunakan vaksin
flu burung pada hewan. Apalagi saat ini dunia dikejutkan pandemik flu oleh
virus baru, H1N1-p, yang begitu cepat menyebar. Padahal, flu burung belum
berhasil dikendalikan.
Jadi, saat ini di Indonesia tersebar virus
influenza musiman (H3N2, H1N1), H1N1-p, dan flu burung (H5N1) hewan dan
manusia. Kita ”biarkan” mereka hidup leluasa di Indonesia, berkoalisi
(rekombinasi) antarjenis virus flu, bertukar gen satu dengan lainnya, sehingga
menimbulkan aneka karakter virus.
Tidak aneh jika dunia khawatir dengan
Indonesia. Kita tidak rela negara lain memanfaatkan virus flu burung Indonesia,
tetapi kita juga tak melakukan apa pun. Kita perlu segera tahu, bagaimana
karakter virus flu burung dari penderita terakhir dan bagaimana kemungkinan
penularannya antarmanusia.
Meski beberapa pakar berpendapat tak mungkin
virus flu burung menular antarmanusia, simulasi dengan berbagai model virus di
lab berfasilitas keamanan tingkat tinggi (minimal BSL-3) perlu segera
dilakukan.
Para peneliti di Avian Influenza-zoonosis
Research Center- Universitas Airlangga (AIRC- Unair) telah meneliti pola virus
influenza di lapangan dan di laboratorium. Tahun 2006, dilakukan mutasi
”buatan” pada virus H5N1 dari unggas di Indonesia tanpa koalisi.
Ternyata virus H5N1 unggas yang berkoalisi
dengan H3N2 lebih virulen. Selama ini para pakar mengira virus H5N1 unggas akan
beradaptasi pada mamalia, termasuk manusia, jika terjadi mutasi pada asam amino
protein PB2, nomor 627 dan 701. Namun, para pakar dikejutkan struktur virus
H1N1-p yang mampu beradaptasi tanpa mutasi 627. Mungkinkah ada mutasi serupa
pada flu burung yang menginfeksi hewan ataupun manusia?
AIRC-Unair bersama Tim Universitas Tokyo
melacak virus H1N1-p dan virus H5N1 pada hewan tahun 2011. Dari 1.607 sampel
ayam sehat ditemukan delapan ayam positif membawa virus H5N1. Ayam sehat tetapi
positif flu burung tersebut berada di Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Keseluruhan struktur virus yang
berhasil diisolasi tahun 2011 lebih dekat dengan virus bebek dari Yogyakarta
2007. Virus H5N1 ayam di Indonesia sangat variatif. Ini berpengaruh pada
keberhasilan vaksin yang digunakan. Kementerian Pertanian telah menetapkan
master seed vaksin yang akan digunakan mulai 2012.
Dari serosurvei antibodi (zat kebal)
anak-anak Indonesia berumur 10-11 tahun terhadap virus H1N1-p, 66,9 persen
memiliki antibodi tanpa ada riwayat sakit. Artinya, anak-anak Indonesia secara
alamiah terinfeksi virus H1N1-p tanpa gejala sakit dan sebagian besar mampu
menimbulkan antibodi. Ini berbeda dengan anak seumur di Jepang, 75,6 persen
memiliki antibodi dengan gejala sakit influenza jelas.
Penularan
Antarmamalia
Apakah betul virus flu burung tidak menular
antarmanusia? Jika virus flu burung berdiri sendiri tanpa koalisi, pendapat
tersebut bisa dibenarkan. Namun, jika terjadi koalisi (mutasi shift), penularan
antarmamalia (manusia) bisa terjadi.
Baru-baru ini dua pusat penelitian influenza,
grup Universitas Wisconsin (AS) dan Erasmus Medical Center (Belanda),
mengoalisikan virus flu burung H5N1 dengan virus H1N1-p. Hasilnya mirip: virus
flu burung H5N1 koalisi berpotensi menular antarmamalia pada ferret.
Hal ini sangat penting bagi Indonesia untuk
menghadapi pandemik, mengingat wilayah kita merupakan tempat ideal terjadinya
koalisi. Semua strain virus flu tersedia, padahal penataan lingkungan hewan dan
manusia masih belum jelas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar