Tambang
Bukan Milik Daerah
Ima Mayasari, ADVOKAT; DOKTOR DI BIDANG HUKUM PERTAMBANGAN, FHUI
Sumber
: KOMPAS, 30
Januari 2012
Karut-marut pengelolaan pertambangan di era
otonomi daerah makin menunjukkan bahwa negara tidak mampu mengurus kekayaan
alam.
Ribuan izin usaha pertambangan (IUP)
bermasalah (non- clear and clean) terindikasi tumpah tindih dengan IUP lain,
ratusan sengketa hukum perizinan pertambangan, dan bentrokan masyarakat Bima
yang menolak IUP PT SMN, adalah akibat kesewenang-wenangan pemerintah daerah
mengelola tambang.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, tidak
berdaya mengatasi karut-marut pengelolaan pertambangan tersebut. Bahkan,
pemerintah daerah dan pusat terlibat sengketa dalam pembagian kewenangan.
Daerah mempersoalkan pusat yang ikut campur
dalam mengatur dan mengurus pertambangan, seperti yang diajukan Bupati Kutai
Timur terhadap Presiden RI cq Menteri ESDM. Dalam sengketa ini, Mahkamah
Konstitusi melalui putusan Nomor 3/SKLN-IZ/2011, ”menyatakan permohonan pemohon
tidak dapat diterima”.
MK menilai bahwa yang menjadi obyek sengketa
(objectum litis) bukanlah kewenangan yang diberikan UUD 1945, sehingga sesuai
dengan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 Ayat (1) Huruf b UU MK,
pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Inilah salah satu kekisruhan perebutan
tambang antara pusat dan daerah di negeri ini, yang tidak dijumpai di negara
lain. Daerah tidak menginginkan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha
pertambangan (WUP), dan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) ditetapkan oleh
pusat.
Menurut pemda, seharusnya pusat konsisten,
baik WP, WUP, maupun WIUP yang menetapkan adalah bupati, sebagaimana kewenangan
penerbitan IUP oleh bupati. Akibatnya, pemda merasa kewenangannya telah
dikurangi dan dirugikan dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf
e, Pasal 9 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), dan Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 2009.
Ketentuan tersebut dianggapnya bertentangan
dengan Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945, yaitu kewenangan daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
menjalankan otonomi seluas-luasnya. Sebaliknya, pemerintah mendasarkan pada
kewenangan konstitusional yang diatur Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Nasional
dan Lokal?
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 secara jelas
menyebutkan bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Frase ”dikuasai oleh negara” mengandung
pengertian bahwa negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan
segenap sumber daya bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia, serta digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
saat ini, persepsi tentang konsep penguasaan dan pengusahaan ini sering salah
penafsiran. Pemerintah daerah memersepsikan bahwa bahan galian atau sumber daya
alam yang terdapat di daerah adalah milik masyarakat di daerah. Padahal,
seharusnya, di mana pun bahan galian tersebut berada adalah milik seluruh
rakyat Indonesia secara bersama-sama.
Salah tafsir tersebut berawal dari keputusan
politik nasional yang mengalihkan kewenangan pemberian konsesi pertambangan
kepada bupati. Pergeseran ini justru menimbulkan banyak penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang dalam pemberian konsesi pertambangan.
Kompleksitas permasalahan pertambangan
(otonomi seluas-luasnya) turut dipicu oleh faktor politik dan ekonomi. Terdapat
keterkaitan antara penerbitan IUP dengan situasi politik perebutan kursi bupati
di ajang pilkada dan faktor ekonomi seiring meningkatnya harga komoditas
tambang di pasaran dunia.
Seyogianya, persoalan tambang diselesaikan
secara internal antara pusat dan daerah sebagai satu kesatuan organ negara
untuk mewujudkan kemakmuran bersama bangsa Indonesia.
Dengan demikian, perlu perbaikan sistem hukum
yang mengatur pertambangan sehingga sengketa hukum terkait ketidakharmonisan
antar-pemerintahan, ketidakefisienan penerbitan IUP, dan fenomena eksploitasi
sumber daya mineral di daerah bisa segera diatasi.
Mengingat sumber daya alam tidak terbarukan
ini masih menjadi modal dasar pembangunan nasional, hendaknya kewenangan
penerbitan izin pertambangan dikembalikan menjadi kewenangan mutlak pemerintah
pusat atau resentralisasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar