Demiliterisasi
Politik Negara-negara Muslim
Shahed Javed Burki, MANTAN MENTERI KEUANGAN PAKISTAN DAN
WAKIL
PRESIDEN BANK DUNIA, KETUA INSTITUTE OF PUBLIC POLICY DI LAHORE
Sumber
: KORAN TEMPO, 30
Januari 2012
Bisakah
pemerintah di negara-negara muslim membebaskan diri dari genggaman kekuasaan
militer dan menegakkan pemerintahan sipil seperti di negara-negara liberal
demokrasi? Pertanyaan ini sekarang muncul di negara-negara seperti Mesir,
Pakistan, dan Turki.
Meramalkan
bagaimana pertanyaan ini bakal terjawab, kita sebaiknya memahami dulu masa lalu
kawasan itu. Sejak tegaknya Islam pada abad ketujuh, ia telah mempertahankan
tradisi keterlibatan militer yang kuat dalam politik dan pemerintahan.
Sesungguhnya, meningkatnya kekuatan militer Islam membantu tersebarnya Islam
dengan cepat di seantero dunia.
Militer
membantu tertanamnya Islam di seluruh Timur Tengah, serta di Persia, Eropa
Selatan, dan anak benua India. Dan begitu negara Islam berdiri di negeri-negeri
yang baru ditaklukkan itu, militer menjadi bagian integral dari pemerintahan.
Masuknya
militer sebagai bagian integral dari pemerintahan paling jelas tampak di masa
Kekhalifahan Usmaniyah, yang anggota angkatan bersenjatanya sebagian besar
terdiri atas pemuda-pemuda yang direkrut dari bagian-bagian Eropa di bawah
pemerintahan Islam. Rekrutan-rekrutan yang dikenal sebagai Janissary
(pemuda-pemuda Kristen yang dikenai wajib militer untuk bertugas dalam
satuan-satuan infanteri) direkrut dari negeri-negeri di bawah kekuasaan Turki
Usmaniyah.
Rekrutan-rekrutan
Janissary ini tidak diizinkan kawin atau memiliki harta benda, sehingga tidak
memungkinkan bagi mereka mengembangkan kesetiaan selain kepada penguasa
Usmaniyah. Tapi, setelah restriksi ini dicabut pada abad ke-16, dan sampai dibubarkannya
pada abad ke-19, satuan-satuan Janissary ini sangat berkuasa di Istanbul (dan
bahkan berhasil mendirikan dinasti mereka sendiri di Mesir).
Dominasi
militer di negara-negara muslim bertahan sampai jatuhnya Kekhalifahan Usmaniyah
pada awal abad ke-20. Negara-negara kolonial yang mengisi kekosongan yang
ditinggalkan Kekhalifahan Usmaniyah ini memiliki militer mereka sendiri, dan
karena itu tidak perlu merekrut tentara setempat untuk memerintah. Tapi, ketika
penguasa-penguasa Eropa ini menarik diri dari dunia muslim pada abad ke-20,
kekuatan-kekuatan lokal itu masuk kembali merebut kekuasaan politik.
Militer
naik ke panggung kekuasaan di Mesir, Pakistan, dan negara-negara Arab lainnya
pada awal dan pertengahan abad ke-20. Di Turki, militer memproklamasikan diri
sebagai wali Republik Turki sekuler yang didirikan pada 1923 oleh Mustafa Kemal
Ataturk, juga seorang militer.
Revolusi
yang mengguncang banyak bagian dunia muslim di dunia saat ini dibayangi masa
lalu militer Islam. Pada tahap pertama revolusi yang populer ini, mereka yang
dulu tersingkir secara politik dan ekonomi mulai menuntut diikutsertakan dalam
proses pemerintahan. Sekarang sedang berlangsung tahap kedua, yang ditandai
oleh upaya yang serius untuk menanggalkan kekuasaan yang masih dipegang oleh
kekuatan militer yang lama. Pertarungan ini terwujud dalam berbagai bentuk yang
berbeda-beda di Mesir, Turki, dan Pakistan.
Di
Mesir, diambil-alihnya transisi politik oleh militer setelah lengsernya
Presiden Husni Mubarak tidak bisa diterima baik oleh kekuatan-kekuatan muslim
maupun sekuler. Sebagian besar rakyat Mesir menginginkan militer meninggalkan
politik dan kembali ke barak.
Essam
el-Erian, dari Partai (Islamis) Kebebasan dan Keadilan, yang baru-baru ini
memenangi sebagian besar kursi dalam pemilihan parlemen Mesir, mengatakan bahwa
Al-Ikhwan al-Muslimun (yang terkait erat dengan partainya) tidak yakin militer
akan melepaskan kekuasaannya secara sukarela. Mereka harus dibujuk keluar. Dan,
jika bujukan ini tidak mempan, mereka akan dikeluarkan secara paksa. Maka,
langkah pertama parlemen untuk pada akhirnya menyingkirkan militer adalah
dengan membela hak parlemen untuk memilih anggota-anggota Konstituante yang
direncanakan berjumlah 100 orang itu.
Sementara
itu, di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan, yang punya akar yang kuat dalam
tradisi Islam di negeri itu, sekarang berusaha membatasi peran militer. Namun
angkatan bersenjata mengaku punya mandat konstitusi untuk melindungi tradisi
sekuler Republik Turki. Dan jenderal-jenderal militer Turki telah campur tangan
dalam politik beberapa kali untuk membela Kemalisme, ideologi sekuler
modernisasi warisan Ataturk
yang telah mendorong Turki Islami ke pangkuan liberalisme gaya Eropa.
Tapi,
di antara ketiga negara ini, Turki-lah yang paling berhasil men-demiliterisasi
politik di negeri itu. Perdana Menteri Turki yang karismatik, Recep Tayyip
Erdog(an, yang telah memenangi tiga kali pemilihan berturut-turut, telah mampu
menegakkan wewenang atas militer. Ia telah memenjarakan jenderal angkatan darat,
I.lker Bas,bug(, yang dituduh jaksa penuntut umum Turki berkomplot
menggulingkan pemerintah.
Akhirnya,
militer Pakistan, yang telah memerintah selama separuh dari 64 tahun sejarah
negeri itu, sedang berusaha keras mempertahankan pengaruhnya dalam pembuatan
kebijakan. Terpukul oleh ketidakmampuannya mengontrol operasi-operasi militer
Amerika Serikat, termasuk operasi yang menewaskan Usamah bin Ladin; militer
Pakistan berusaha ikut serta memainkan peran dalam hubungan yang berkembang
dengan India dan AS saat ini. Meski demikian, khawatir akan menimbulkan
tantangan yang luas, para pemimpin militer telah mengindikasikan baru-baru ini
bahwa mereka tidak berniat campur tangan dalam dunia politik.
Sejak mulainya Musim Bunga Arab, empat rezim
yang sudah lama berkuasa telah digulingkan. Sementara itu, rezim-rezim lainnya
mendapat tekanan yang semakin kuat, sehingga memberikan kepada rakyat Arab
harapan bahwa tuntutan yang mereka ajukan tidak bisa lagi diabaikan, dan bahwa
mereka yang memerintah harus menyadari apa yang dibutuhkan rakyatnya. Tapi
semua ini--revolusi yang sebenarnya--bakal terjadi hanya jika wakil-wakil
rakyat yang sejati, bukan militer, mulai menetapkan jalur politik yang harus
ditempuh negeri mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar