Konstitusionalitas
Jabatan Wakil Menteri
Margarito Kamis, DOKTOR
HUKUM TATA NEGARA,
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
Sumber
: SINDO, 27
Januari 2012
Berbeda dengan Kabinet Indonesia
Bersatu jilid 1, pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 diadakan jabatan wakil
menteri. Jabatan ini diadakan berdasarkan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara.
Tapi Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) mempersoalkan konstitusionali tasnya dengan cara mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah beberapa kali diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, soal yang tampaknya sangat sederhana ini berubah menjadi seolah-olah berat. Bagaimana sesungguhnya konstitusionalitas Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 itu? Bila pasal ini dikualifikasikan konstitusional, jabatan wakil menteri dengan sendirinya harus dikualifikasikan konstitusional, begitu sebaliknya.Menarik.
Perubahan Pasal 17 UUD 1945
Tak satu pun ayat dari 4 ayat dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur jabatan wakil menteri. Inilah kenyataan konstitusionalnya dan inilah yang memicu munculnya pertanyaan tentang dasar konstitusional pembentuk undang-undang yang menciptakan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu. Bahkan secara konstitusional kenyataan itu juga memicu pertanyaan tentang ketepatan penamaan UU No 39 Tahun 2008.
Ayat (1) Pasal 17 dibuat dan diperdebatkan oleh BPUPKI secara luas pada tanggal 15 dan 16 Juli 1945,begitu juga ayat (2) dan ayat (3).Tapi ayat (2) ayat (3) ini telah diubah oleh MPR ketika mereka mengubah UUD 1945 untuk pertama kalinya pada tahun 1999.Frase “diperhentikan” pada ayat (2) diubah oleh MPR menjadi “diberhentikan”. Sementara ayat (3) diubah seluruhnya sehingga ketentuan ayat (3) yang lama berubah menjadi setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Ayat (4) diubah pada perubahan UUD 1945 yang ketiga kalinya oleh MPR pada 2012. Tapi itu tidak berarti bahwa MPR tidak memperdebatkannya secara detail pada 1999. Dalam perdebatannya, MPR menghendaki agar kewenangan Presiden mengangkat menteri dibagi dengan DPR. Kenyataannya, pelibatan DPR dalam hal pengangkatan menteri tidak disepakati MPR pada 1999.
Hal ini disebabkan semata-mata oleh konsistensi mereka mempertahankan sistem pemerintahan presidensial walau mereka tahu betul bahwa di Amerika Serikat, nenek moyangnya sistem presidensial, Presiden diharuskan memperoleh konfirmasi dari Senat dalam hal pengangkatan menteri pertanahan, menteri luar negeri, dan jaksa agung.
Tidak Bernalar Konstitusional
Dari prosesnya di PAH III MPR,diketahui bahwa Dr Haryono, SH, MCL (Fraksi PDIP), yang saat ini menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, yang pada saat rapat tersebut menjadi pembicara terakhir, harus dinyatakan sebagai pencipta ayat ini.Ketika berargumen mengenai ayat (3) Pasal 17, Haryono merujuk pada kenyataan adanya “menteri negara”. Oleh Haryono kenyataan ini dinilai sebagai akibat adanya kebutuhan Presiden mengangkat seseorang menjadi menteri, tetapi tidak tertampung dalam departemen.
Haryono juga menilai Pasal 17 ayat (3) sebelum diubah menggunakan pendekatan struktural. Seharusnya digunakan pendekatan fungsional. Nalarnya adalah tidak ada satu pun menteri yang tidak mengurus urusan tertentu dalam pemerintahan. Bagaimana dengan ayat (4) Pasal 17, yang baru disepakati pada tahun 2001? Profesor Jimly Asshiddiqie, salah satu anggota Tim Ahli PAH I BP MPR bidang hukum dan politik,harus dikualifikasikan sebagai penciptanya.
Profesor inilah yang mengusulkan redaksi ayat (4) Pasal 17 itu.Argumen Profesor Jimly adalah agar Presiden, siapa pun orangnya kelak,tidak seenaknya membentuk, mengubah, dan membubarkan departemen. Usulan Profesor Jimly ini menjadi panduan perdebatan PAH I BP MPR pada 2001. Setelah merujuk penumpukan kekuasaan di tangan Presiden, Affandi (Fraksi TNI/Polri) mengusulkan pengubahan frase “diatur dengan UU” yang digunakan Prof Jimly menjadi diatur “dalam”undang-undang.
Ketika menanggapi pertanyaan anggota- anggota PAH, Dr Bachtiar Effendy dan Prof Dr Affan Gaffar,keduanya juga menjadi anggota tim ahli bidang hukum dan politik, memperluas perspektif ekspektasi Prof Jimly. Dr Bactiar Effendy nyatanyata menyatakan bahwa pelibatan DPR dalam pengangkatan menteri tidak mengurangi arti presidensialisme. Bahkan Dr Bachtiar secara tegas menyinggung adanya menteri yang tidak cukup kapasitas, tanpa menyebut namanya.
Sementara Profesor Affan tegas menyatakan bahwa good government mengharuskan adanya akuntabilitas. Cara menghadirkannya adalah membagi kekuasaan itu dengan DPR. Argumen-argumen yang terus muncul sesudah itu mengaitkan pengaturan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian dengan Kabinet 100 Menteri pada masa Bung Karno. Rujukan ini semakin memperkaya rujukan sebelumnya, yakni pemisahan Departemen Industri dan Departemen Perdagangan, begitu juga penggabungan kedua departemen ini.
Bahkan muncul juga rujukan tentang pembentukan kementerian negara urusan khusus serta pembubaran Kementerian Sosial dan Kementerian Penerangan pada masa Gus Dur. Itulah konteks sekaligus jiwa dari Pasal 17 ayat (3) dan (4). Nalar dan konteksnya adalah tidak boleh diciptakan lagi menteri negara atau menteri tanpa portofolio.Juga mencegah pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian sesuka- sukanya oleh Presiden.
Jadi yang diperintahkan oleh ayat (4) Pasal 17 itu adalah membuat UU tentang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian. Yang diatur dalam UU itu adalah syarat-syarat pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian.Tujuannya adalah selain mencegah terulangnya praktik peng-gabungan, pengubahan, dan pembubaran kementerian sekehendak Presiden, juga menjamin jumlah minimal kementerian.
Nalarnya jelas,Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tak ada bernalar konstitusional. Apakah karena tak bernalar konstitusional itulah yang mengakibatkan pembentuk UU tidak mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi wakil menteri? Tidak jelas. Lucunya UU ini mengatur syarat-syarat menjadi menteri dan diberhentikan dari jabatan itu. Ini konyol. Ini pembatasan secara inkonstitusional terhadap kewenangan Presiden.
Pasal 17 UUD 1945 jelas, meletakkan sepenuhnya kewenangan ini kepada Presiden. Kewenangan tidak dibagi kepada siapa pun, dengan alasan apa pun,dan dalam keadaan apa pun. Akhirnya,Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 pantas dikualifikasikan sebagai pasal yang inkonstitusional. Jabatan wakil menteri pun pantas dikualifikasikan sebagai jabatan yang inkonstitusional.
Alangkah baiknya pemerintah memprakarsai pembentukan UU yang baru menggantikan UU No 39 Tahun 2008. UU baru nanti hanya mengatur pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian.Tiadakan ketentuan mengenai jabatan wakil menteri dan tiadakan pula ketentuan yang membatasi kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar