Krisis
Kewargaan dan Legitimasi Negara
Agus Sudibyo, WAKIL DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTA
Sumber
: KORAN TEMPO, 27
Januari 2012
Sejauh
ini, telanjur mapan pemahaman yang menempatkan masyarakat sipil (civil
society) sebagai kekuatan yang lahir untuk mengontrol kekuasaan negara.
Negara yang menindas, antidemokrasi, dan sewenang-wenang dianggap sebagai
penyebab berkembangnya fenomena masyarakat sipil, yang dalam perkembangannya
demikian identik dengan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.
Pemahaman
ini sebenarnya berbeda dengan pengertian awal masyarakat sipil yang justru
menempatkan negara dan tatanan politis sebagai bagian integral dari fenomena
masyarakat sipil. Kita misalnya dapat merunut karya klasik Aristoteles, Politics,
dengan kata koinonia politike yang dipergunakan untuk menjelaskan
kondisi masyarakat yang beradab dan berdasarkan hukum bersama vis-a-vis
kondisi masyarakat yang tanpa tatanan, hidup dalam situasi barbar perang semua
melawan semua. Dalam perkembangannya, kata koinonia politike ini
bermetamorfosis menjadi kata politica communicatio, communitas politica,
civilis communitas, societas civilis, hingga akhirnya menjadi civil
society. Namun semuanya merujuk pada pengertian yang sama: pemerintahan
negara republik, komunitas hidup bersama, dan tata sosial yang beradab.
Tatanan
beradab lahir karena kesadaran bahwa manusia tidak dapat seterusnya hidup
berdasarkan naluri-naluri alamiah yang menempatkan individu bak serigala bagi
sesamanya. Meminjam penjelasan Richard Hooker (1554-1600), masyarakat warga
sesungguhnya terbentuk melalui logika negatif, dengan mekanisme leisure of
evil: untuk mengatasi situasi saling melanggar dan menyakiti, tak ada cara
lain kecuali bersama-sama mengembangkan pemerintahan yang otoritatif untuk
mengatur kehidupan bersama.
Dengan
demikian, "musuh" masyarakat sipil sesungguhnya bukanlah negara an
sich, melainkan kondisi tanpa tatanan dan hukum rimba. Sebagaimana kemudian
juga dijelaskan John Locke (1632-1704), problem masyarakat sipil adalah naluri
binatang (state of nature) manusia dan pamer individualitas tanpa batas.
Negara yang otoritatif dan hukum yang berwibawa justru menjadi tujuan dari
fenomena masyarakat sipil. Meskipun negara yang otoriter dan tidak semena-mena
dalam perjalanannya juga menjadi bagian dari problem masyarakat sipil,
antagonisme antara masyarakat sipil dan negara tidak semestinya dilihat sebagai
sesuatu yang permanen.
Dalam
konteks Indonesia saat ini, koreksi pemahaman itu menjadi relevan. Yang kita
hadapi sekarang notabene bukanlah sosok kekuasaan yang otoriter, despotik, dan
menindas. Terkait dengan masalah kekerasan dan ketidakadilan sosial, yang kita
hadapi justru fenomena negara yang terkesan rapuh dan mengalami disorientasi.
Negara yang kelihatan ragu-ragu dalam menegakkan hukum dan keadilan terlambat
mengambil tindakan-tindakan desisif guna melindungi hak hidup, hak beragama,
dan hak politik rakyatnya serta sering sembrono dalam mempertahankan ketahanan
pangan nasional dan pengelolaan sumber daya alam yang adil.
Insiden
kekerasan yang marak belakangan merupakan cermin frustrasi masyarakat atas
kondisi tersebut. Ketika otoritas resmi tak lagi dianggap mampu menegakkan
keadilan, jalan kekerasan pun ditempuh sebagai ekspresi diri. Di Mesuji, si
lemah tak segan-segan menggorok leher sesama si lemah yang kebetulan menjadi
centeng si kuat. Di Bima, masyarakat tak segan-segan memblokade pelabuhan,
meskipun mereka tahu tindakan ini membuat sengsara banyak orang. Tindakan
anarkistis ditempuh karena rakyat kecil frustrasi atas sikap acuh tak acuh
negara terhadap hak hidup warganya.
Sikap
acuh tak acuh negara terhadap hak hidup warganya ini kemudian dapat dijelaskan
dari perspektif hegelian. Sebagai puncak perkembangan dari fenomena masyarakat
sipil, negara mewajibkan setiap orang dalam teritori nasional melepaskan
ikatan-ikatan tradisional untuk melebur ke dalam satu identitas: warga negara.
Peraturan perundang-undangan kemudian mengatasi segala hukum keluarga, adat,
dan agama. Konsekuensinya, semakin sempit peluang bagi warga untuk mengklaim
kepemilikan tanah berdasarkan hukum adat atau hak pengelolaan alam berdasarkan
ikatan-ikatan alamiah.
Persoalannya,
setelah mencabut warganya dari ikatan-ikatan tradisional, negara seakan-akan
membiarkan mereka masuk ke dalam struktur sosial yang timpang. Kesamaan hak di
depan hukum hanya fatamorgana. Bukan rahasia lagi bahwa pelayanan publik dan
jaminan hukum di semua lini birokrasi menjadi privilese bagi mereka yang kaya
atau dekat dengan kekuasaan. Kemudahan-kemudahan pelayanan pemerintahan menjadi
komoditas yang diperjualbelikan. Alih-alih menciptakan kesetaraan, hukum dan
pelayanan publik justru menciptakan segregasi antara yang miskin dan yang kaya,
yang lemah dan yang kuat. Yang kaya semakin kaya karena dapat membeli semua jenis
pelayanan pemerintah, yang miskin semakin miskin karena hampir selalu kalah
dalam perlombaan nepotisme birokratis.
Persoalan
berikutnya, hukum nasional juga belum menjamin pengelolaan sumber daya alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Tanah adat terus-menerus
diserobot oleh industri besar perkebunan dan pertambangan. Sumber daya alam
dieksploitasi tanpa signifikansi bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Dan
hampir selalu terjadi, aparatus negara diam-diam berkongsi dengan pemodal besar.
Sekadar gambaran, mungkinkah perusahaan perkebunan yang sedang bersengketa
dengan warga sekitar membentuk pam swakarsa tanpa sepengetahuan aparat keamanan
setempat? Mungkinkah perusahaan pertambangan yang merusak lingkungan beroperasi
tanpa restu dari pemerintah setempat?
Kekerasan
yang terus terjadi, dan kelambanan menangani kompleksitas masalah pertanahan,
sumber daya alam, serta kebebasan beragama pada akhirnya menunjukkan krisis
kewargaan. Negara gamang dalam menjaga tatanan sosial yang beradab, sehingga
banyak sengketa diselesaikan melalui pertunjukan state of nature: adu
kuat antara yang kaya dan yang miskin, antara yang mayoritas dan yang
minoritas. Krisis terjadi karena yang mengaitkan warga negara yang satu dengan
yang lain bukan lagi komunikasi dan interaksi yang didasarkan pada empati atau
solidaritas, tapi sikap sewenang-wenang, ambisi menguasai, dan perlombaan
kepentingan partikular diri. Kalaupun terjadi komunikasi di antara mereka yang
bertikai, pemerintah, aparat, dan para pemimpin politik, bukan dalam rangka
mencari solusi bagi kebaikan bersama, tapi dalam rangka memobilisasi opini
publik dan politik pencitraan.
Dengan sendirinya krisis kewargaan ini juga
menunjukkan krisis legitimasi negara, karena keberadaan negara tak lain dan tak
bukan untuk menjaga tatanan sosial yang beradab itu. Ironisnya, dalam banyak
kasus, negara sepertinya justru melegalkan sikap sewenang-wenang para pengusaha
besar dan kelompok mayoritas agama pada kasus yang lain. Dan melawan
"legalisasi" ini, dengan mudahnya akan dicap sebagai tindakan melawan
hukum. Jika kehidupan publik kenyataannya masih dilandasi oleh self-interest,
naluri menguasai dan kesewenang-wenangan, lalu apa fungsi pemerintahan dan
hukum? Jika pemerintah belum mampu menjamin rasa aman dan hak hidup warganya,
dan jika hukum kenyataannya justru memfasilitasi penindasan warga yang kuat
terhadap warga yang lemah, apa kemudian yang melegitimasi keberadaan negara? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar