Menanti
Kebijakan Penurunan Bunga Kredit
Sunarsip, EKONOM THE INDONESIA ECONOMIC
INTELLIGENCE (IEI)
Sumber
: KORAN TEMPO, 30
Januari 2012
Keinginan
Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga kredit bank tampaknya serius. Setidaknya,
hal itu terlihat dari persiapan yang dilakukan BI untuk menyusun perangkat
kebijakannya. Kita berharap, kebijakan BI nantinya dikeluarkan melalui
Peraturan Bank Indonesia (PBI). Melalui PBI, hal itu menunjukkan kesiapan BI
dalam merancang kebijakan tersebut secara komprehensif. Perlu diketahui,
sejatinya tidak mudah merancang kebijakan untuk mengarahkan penurunan suku
bunga kredit ini. Persoalan suku bunga kredit di Indonesia terlalu kompleks.
Di
sisi lain, tingkat suku bunga yang terbentuk semestinya merupakan hasil dari
mekanisme pasar. Dalam teori kebijakan publik, ketika pasar mengalami kegagalan
(market failure), negara memang harus melakukan intervensi. Tujuannya,
agar mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan yang nyata (bukan keseimbangan
semu) sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi pelaku pasar.
Pertanyaannya, apakah saat ini pasar (suku bunga) memang dinilai telah gagal?
Apakah kebijakan yang diambil akan mengakomodasi hal-hal di luar aspek
perbankan, yang sejatinya juga ikut membentuk tingkat suku bunga? Belum jelas.
Tetapi, sebagai sebuah ikhtiar, tentunya kita perlu memberikan jalan keluar
untuk memecahkan masalah ini.
Laba
dan Efisiensi
Saya
perhatikan, keluarnya wacana penurunan suku bunga kredit ini sejatinya berawal
dari pidato Gubernur BI Darmin Nasution pada saat Pertemuan Perbankan Tahunan
2011 pada 9 Desember 2011 . Melalui pidatonya yang berjudul "Mewujudkan
Keseimbangan yang Efisien Menuju Pertumbuhan yang Berkesinambungan",
Gubernur BI secara eksplisit menyoroti keterkaitan antara ketersediaan
pembiayaan dan tingginya suku bunga kredit, yang seolah menegaskan bahwa
hambatan pembiayaan di Indonesia adalah disebabkan oleh tingginya suku bunga
kredit.
Kontribusi
pembiayaan perbankan memang relatif rendah saat ini. Berdasarkan data dari BI,
rasio total aset industri perbankan terhadap PDB di Indonesia telah mencapai
47,2 persen (September 2011). Namun rasio penyaluran kredit terhadap produk
domestik bruto (PDB) hanya 29 persen (September 2011). Sebagai perbandingan, data
Bank Dunia memperlihatkan rasio penyaluran kredit perbankan terhadap PDB di
Malaysia, Thailand, dan Cina masing-masing 114 persen, 117 persen, dan 131
persen.
Ironisnya,
perbankan di Indonesia justru meraup keuntungan besar, bahkan paling besar, di
antara negara-negara ASEAN. Pada November 2011, tingkat return on asset
(ROA) perbankan di Indonesia mencapai 3,07 persen, jauh lebih tinggi dibanding
di negara-negara ASEAN lainnya, yang rata-rata hanya 1,14 persen. Di sisi lain,
efisiensi perbankan di Indonesia dinilai masih rendah, seperti terlihat dari
rasio BOPO yang mencapai 85,97 persen (November 2011). Sebagai perbandingan,
rasio BOPO (biaya operasi terhadap pendapatan operasi) perbankan di ASEAN
berkisar 40-60 persen.
Ketidakefisienan
ini tentunya akan melahirkan biaya ekonomi tinggi, sehingga kurang kompetitif.
Tingginya ongkos pembiayaan di Indonesia tecermin pada suku bunga Kredit Modal
Kerja (KMK) yang sebesar 12 persen (November 2011), meskipun suku bunga acuan
(BI Rate) sudah mencapai 6 persen. Sebagai perbandingan, di Malaysia dan
Filipina, dengan suku bunga acuan masing-masing 3 persen dan 4,5 persen (reverse
repo), tingkat suku bunga kredit bank hanya 6,5 persen dan 5,7 persen
(Oktober 2011).
Kombinasi
antara tingginya laba perbankan dan tingginya inefisiensi inilah yang
disinyalir menjadi penyebab tingginya suku bunga kredit. Penetapan suku bunga
kredit oleh perbankan dilakukan untuk menutup tingginya biaya serta menjaga
margin agar tetap memberikan keuntungan. Namun, akibatnya, penetrasi pembiayaan
perbankan menjadi terabaikan, seperti terlihat dari rendahnya rasio pembiayaan
perbankan terhadap PDB.
Biaya
Dana
Saya
melihat bahwa fokus penurunan inefisiensi semestinya lebih diarahkan pada sisi liabilities
(dana), bukan pada sisi asset (kredit) neraca bank. Ini mengingat
sebagian besar sumber inefisiensi berasal dari sisi dana, khususnya terkait
dengan tingginya biaya dana (cost of fund). Hanya, patut dicatat pula
bahwa sebagian dari faktor pembentuk cost of fund juga berada di luar
kontrol perbankan.
Saya
berpendapat, membandingkan tingkat bunga kredit di Indonesia dengan di negara
lain tidaklah fair. Ini mengingat, cost of fund perbankan di
negara lain jauh lebih rendah dibanding di Indonesia. Sebagai contoh,
berdasarkan data dari The Economist (edisi 21 Januari 2012), bunga
deposito (3 bulan) di Malaysia hanya 3,22 persen. Jika suku bunga kredit di
Malaysia sebesar 6,5 persen, itu berarti spread-nya (selisih antara
bunga kredit dengan bunga simpanan) sebesar 3,28 persen. Sekalipun terlihat
rendah ("hanya" 3,28 persen), sejatinya spread tersebut 50
persen sendiri dari dari tingkat bunga kredit di Malaysia.
Bandingkan
dengan di Indonesia. Suku bunga deposito (3 bulan) di Indonesia sebesar 9,78
persen. Sementara itu, suku bunga KMK sebesar 12 persen. Itu berarti, spread-nya
hanya sekitar 2,22 persen atau hanya 18,5 persen dari suku bunga kredit di
Indonesia. Tentunya, kita tidak ingin menekan spread hingga nominalnya
seperti di Malaysia. Sangat keliru bila kita ingin menyetarakan besarnya nominal
spread perbankan di Indonesia dengan di Malaysia, karena kondisinya
tidak apple to apple.
BOPO
perbankan di Indonesia memang lebih tinggi dibanding di negara lain (Malaysia
misalnya). Namun upaya penurunan BOPO di Indonesia jauh lebih sulit dibanding
di Malaysia. Ini mengingat BOPO juga terkait dengan geografis Indonesia yang
luas serta infrastruktur yang tidak memadai, sehingga menyebabkan biaya
pembukaan kantor cabang, misalnya, lebih mahal. Komposisi kredit yang
disalurkan bank-bank kecil menengah yang kebanyakan di retail, mikro, dan kecil
juga membuat biaya pengelolaan kredit menjadi lebih besar. Tingginya BOPO ini
akhirnya harus ditutup dengan margin tinggi.
Kesimpulannya,
fokus pada upaya menurunkan cost of fund menjadi tujuan antara (intermediate
goal) yang realistis diupayakan saat ini. Dan kuncinya adalah menciptakan
kondisi di mana para pemilik dana besar bersedia mengalihkan dananya ke
simpanan berbiaya murah (giro dan tabungan). Bila upaya ini tidak berhasil,
rasanya sulit kita dapat mewujudkan kondisi di mana bunga kredit menjadi
kompetitif. Ini mengingat, saat ini komposisi dana berbiaya mahal masih relatif
tinggi, yaitu sekitar 46 persen (November 2011). Dana murah pun hanya dikuasai
oleh beberapa bank besar, di mana 10 bank besar menguasai sekitar 70 persen
dana murah. Selebihnya, 30 persen dana murah diperebutkan oleh 110 bank kecil.
Terdapat beberapa solusi untuk
"menekan" pemilik dana besar agar mengalihkan dananya ke simpanan
berbiaya murah. Pertama, mengatur agar bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin
Simpanan tidak melebihi BI Rate. Kedua, mengaitkan besarnya bunga kredit
yang diterima nasabah besar (yang biasanya juga pemilik dana besar) dengan
komposisi dana yang ditaruh di bank. Ketiga, moral suasion, khususnya
bagi pemilik dana besar dari BUMN non-keuangan untuk mengalihkan dananya ke
giro atau tabungan. Sementara itu, pemilik dana besar lembaga keuangan
(asuransi dan dana pensiun) diarahkan untuk menempatkan dananya pada obligasi
yang diterbitkan bank. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar