Pelayan
Masyarakat Versus Penguasa
Kurnia J.R., SASTRAWAN
Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012
Ada kamus untuk membantu kita menerjemahkan
istilah public servant. Namun, seperti biasa, dalam keseharian kita justru
terasing dari makna bahasa baku.
Kita bahkan lebih kerap menerapkan arti yang
berlawanan untuk status yang seharusnya disandang. Konsep ”pelayan masy arakat”
atau ”abdi masyarakat” sebagai padanan istilah asing di atas tak diadopsi
pemerintah.
Rezim Orde Baru memiliki istilah yang
sepintas lalu terdengar simpatik: abdi negara, tetapi sejarah menunjukkan bahwa
negara dalam frase itu menemukan konteksnya dalam ucapan Raja Louis XIV,
”L’etat c’est moi.” Negara adalah aku. Jadi, abdi negara sama artinya dengan
abdi sang pemimpin rezim.
Sampai saat ini, mayoritas pejabat publik
kita tampil layaknya penguasa atas wilayah dan seisinya. Kepala pemerintahan
tak sungkan bicara soal kenaikan gajinya. Mobil dinas para menteri mewah, tidak
serasi dengan kehidupan sebagian terbesar rakyat yang morat-marit. Kantor
kepala daerah sampai level kepala desa laksana keraton raja-raja kecil pada
zaman pra-Republik.
Telinga mereka tersumbat. Yang didengarkan
hanya curahan hati sendiri atau pujian para punggawa dan kawula. Protes, keluh,
dan jerit tangis rakyat ditanggapi oleh aparat bersenjata.
Tak usah heran jika belakangan ini rakyat
semakin mudah mengamuk. Lantaran unjuk rasa yang beradab dan ”ikut aturan”
dianggap tidak efektif, massa demonstran dari golongan terpelajar sampai rakyat
jelata kerap merusak fasilitas umum dalam setiap aksi protes.
Di Pekanbaru, pengunjuk rasa mengobrak-abrik
tanaman hias di tengah kota. Di Jakarta, sekelompok pemrotes peraturan daerah
tentang minuman keras melempari Kantor Kementerian Dalam Negeri dengan batu.
Pagar megah Gedung DPR, wujud ironi keberadaan wakil rakyat di muka masyarakat,
selalu jadi sasaran kekesalan demonstran.
Eskalasi kemurkaan publik mengindikasikan
kian tulinya pemerintah. Seakan-akan telah berdiri tembok besar yang membendung
gelora rakyat yang ingin menyuarakan aspirasi kepada para penanggung jawab
negara. Para koruptor yang tengah diadili selalu berkilah—demi keringanan
hukuman atas diri mereka—bah - wa Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi,
tetapi mereka yang melarat dan tergusur tahu persis tidak ada hukum di rimba
belantara bernama Republik Indonesia.
Masyarakat tak berdaya negeri ini diduduki
segelintir orang bertingkah feodalistis hasil pemilu yang dilakukan secara
langsung.
Mayoritas pejabat pemerintah pusat yang
berkedudukan di Ibu Kota tampaknya menganggap Indonesia hanya seluas Jakarta.
Itu sebabnya mereka tak ngeh apa yang terjadi
di tanah perbatasan. Mereka juga tak berempati pada derita rakyat di pojok-pojok
negeri yang diteror pencemaran limbah industri dan perampasan lahan tempat
hidup mereka oleh pemodal raksasa yang menyalahgunakan hak guna lahan.
Rakyat Dicampakkan
Para kepala daerah bersikap serupa. Indonesia
hanya seluas daerah masing-masing. Itu sebabnya saat Wali Kota Solo Joko Widodo
memamerkan mobil karya siswa SMK, beberapa kepala daerah berkomentar kurang
simpatik, lalu membanggakan SMK di daerah masing-masing, seakan-akan ada
persaingan negatif antardaerah. Karena itu, jika kelak berkecambah bibit
perpecahan NKRI di level rakyat jelata, para pemimpin daerah model begitulah
biang keladinya.
Sebagai penguasa, para pejabat publik tidak
memperlakukan negeri ini dan penduduknya sebagai tanggung jawab yang harus
dikelola, dilindungi, dan difasilitasi untuk mencapai kesejahteraan, melainkan
sebagai hak milik yang dieksploitasi demi kepentingan pribadi. Mereka tidak
merasa bersalah ketika memanipulasi peraturan dan UU untuk memperkaya diri
sendiri.
Hutan dan kandungan bumi Indonesia digadaikan
dengan murah. Akibatnya, penduduk setempat tergusur, kehilangan sumber nafkah,
dan terlunta-lunta di tanah kelahiran mereka. Ketika menyuarakan protes, mereka
berhadapan dengan tinju, sepatu, dan peluru aparat yang tega menghabisi nyawa
rakyat dan kehilangan empati pada tubuh- tubuh kerempeng.
Penguasa juga tak peduli pada bangunan klasik
bersejarah. Demi upeti mereka biarkan cagar budaya dibuldoser pemodal besar
yang bernafsu membangun mal di mana-mana. Mereka tidak berpikir panjang tentang
bagaimana generasi anak-cucu kelak berkaca manakala hendak menggali jejak
sejarah dan artefak budaya yang pernah memperindah kepribadian bangsa ini.
Sama halnya dengan mayoritas anggota parlemen
pusat dan daerah. Tingkah mereka bagai penguasa yang leluasa memboroskan uang
pajak. Mereka asyik bersolek di ruang kerja tanpa peduli di luar pagar mereka,
rakyat kehilangan tempat tinggal dan kelaparan. Yang lebih berbahaya, setiap
ungkapan kritis terhadap perilaku korup itu justru rentan dituduh sebagai
tindakan pencemaran nama baik.
Begitulah penguasa. Mereka mencampakkan
istilah dan konsep dasar tata pemerintahan modern dan demokratis: public
servant alias pelayan masyarakat.●
PENINDASAN HARUS DI LAWAN
BalasHapus