Sekali
Lagi, Syiah dan Kerukunan Umat
(Tanggapan untuk Muhammad Baharun
dan Fahmi Salim)
Haidar Bagir, PRESIDEN DIREKTUR KELOMPOK MIZAN
Sumber
: REPUBLIKA, 27
Januari 2012
Pertama,
mengenai adanya pendapat di kalangan Ahlusunah yang menyata kan bahwa Alquran
yang kita miliki sekarang tidak lengkap. Pandangan ini--sekali lagi saya
tegaskan, sudah tentu tak mewakili sikap Ahlusunah--, juga terdapat pada
kitab-kitab hadis sahih maupun kitab-kitab standar Sunni yang posisinya sama
kuat dibanding kitab hadis Syiah yang menukil pandangan sejenis. Berikut ini
sebagian di antaranya yang belum disebut Saudara Fahmi Salim.
Diriwayatkan
dalam, antara lain, Shahih Bukhari, bab “Syahadah“ berbunyi, “ind al-hakim fi
wilayah al-Qadha“, dan dinukil dalam Al-Itqan karya Imam Suyuthi dan Tafsir
Ibnu Katsir, bahwa Sayidina Umar bin Khattab mengatakan, “Apabila bukan karena
orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambahnambah ayat ke dalam Kitabullah,
akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.“ Bahkan, dalam Al-Itqan dan
beberapa kitab lain disebutkan bahwa ayat rajam yang hilang itu berbunyi, “Idza
zana syaikhu wa syaikhatu farjumuhuma al-battatan nakalan minallah, wallahu
`azizun hakim.“ Kenyataannya, kita semua tahu bahwa ayat ini tak terdapat dalam
Alquran yang kita miliki.
Selain
hadis tentang ayat Alquran dalam simpanan Siti Aisyah yang hilang itu, terdapat
pula riwayat dalam Musnad Ahmad dan dinukil dalam Al-Itqan karya Imam Suyuthi
bahwa Siti Aisyah mengatakan, “Pada masa Nabi, surah al-Ahzab dibaca sebanyak
200 ayat, tetapi ketika Usman menulis mushaf, ia tidak bisa mendapatkannya
kecuali yang ada sekarang.“ Seperti kita ketahui bahwa surah al-Ahzab yang ada
di mushaf sekarang ini adalah 73 ayat. Berarti menurut riwayat itu ada 127 ayat
yang hilang dari surah ini. Sejalan dengan itu, Tafsir alQurthubi menukilkan
hadis dari Ubay bin Ka'b yang menyebut jumlah ayat dalam surah yang sama adalah
286. Rawi yang sama sebagaimana dinukil Al-Itqan menyebut bahwa jumlah surah
Alquran adalah 116, bukan 114 yang kita miliki sekarang karena adanya dua surah
yang hilang dan disebut-sebut bernama AlHafd dan al-Khal'.
Di
sisi lain, bantahan para ulama Syiah dari kalangan mutaqaddimin dan
muta'akh-khirin terhadap isu adanya perubahan/ketidaklengkapan Alquran ini
dapat dibaca di banyak tulisan dan pandangan para ulama Syiah sendiri.
Terbatasnya tempat hanya memungkinkan penulis mengungkapkan pandangan,
Ayatullah Khomeini--antara lain dalam Tahdzib al-Ushul--yang mengatakan, “Semua
pernyataan tentang tahrif ini dapat segera ditunjukkan sebagai (berdasar
hadis-hadis) lemah (daif) ayau majhul (rawinya tak dikenal.“
Memang,
meski dianggap sebagai kitab hadis paling bisa diandalkan di kalangan Syiah,
tak sedikit ahli, khususnya para ulama muta`akhirin di kalangan mazhab ini
sendiri--yang menunjukkan bahwa kitab Al-Kafi, apalagi kitab-kitab sahih
lainnya, tak dengan demikian bebas dari kemungkinan memuat hadis-hadis palsu
atau lemah. Sekadar menyebut contoh saja, yang termasuk dalam kalangan ini
adalah Syekh Saduq sendiri, Muhammad Husayn Thabathaba'i dan Muhammad Bagir
Irawani dari kelompok ulama kontemporer.
Dalam
soal ini, sayang sekali Saudara Fahmi tidak teliti dalam merujuk pendapat Adnan
alBahrani dan al-Nuri al-Thabarsi.
Sebaliknya,
menurut Saudara Fahmi, kedua ulama Syiah itu justru membantah tuduhan adanya
tahrif Alquran di kalangan Syiah. Hal ini dapat dilihat jika kita merujuk
langsung karya mereka yang berjudul, Masyariq alSyamus al-Duriyah fi Ahaqiyah
Madzhab al-Akhbariyah dan Fashl al-Khithab.
Selanjutnya,
yang kedua, mengenai riwayat pengutukan Sayidina Ali bin Abi Thalib di
mimbar-mimbar--al-Suyuthi menyebutnya di lebih dari 70 ribu mimbar--selama
puluhan tahun. Sebelum yang lain-lain, perlu penulis tegaskan, kita semua
setuju adalah salah untuk menisbahkan fenomena ini kepada Ahlusunah sebagai
mazhab. Kita semua tahu bahwa kaum Sunni sama sekali tak kurang dalam hal
penghormatan terhadap anggota keluarga Nabi. Pertanyaannya, apakah benar bahwa
hal itu dilakukan oleh orang-orang Khawarij?
Jika
melihat riwayat-riwayat yang diungkapkan di berbagai kitab tarikh yang penulis
ketahui, tak ada yang menyebutnya dilakukan oleh orang-orang Khawarij. Para
penulis itu, selain Ibnu Atsir yang telah disebutkan oleh Saudara Fahmi, antara
lain, adalah Thabari dalam Tarikh-nya, Ibnu Katsir juga dalam Tarikhnya,
Al-Suyuthi dalam Al-Itqan, Yaqut Hamawi (penulis Mu'jam al-Buldan), Ibnu 'Abd
Rabbih (penulis Al-'Aqd al-Farid), serta belakangan Maulana Raghib Rahmani
(penulis Hazrat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Al-Khalifah alZahid). Mereka sepenuhnya
mengaitkan fenomena ini dengan permusuhan Muawiyah dan Ali.
Dalam
Shahih Muslim, misalnya, termuat sebuah hadis tentang instruksi Gubernur
Madinah yang juga salah satu kerabat Marwan bin Hakam kepada Sahl Ibnu Sa'ad
untuk mengutuk Sayidina Ali. Kitab-kitab tarikh menyebutkan, bahkan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz muda sempat terbawa oleh kebiasaan itu sebelum belakangan
menyetopnya.
Tampaknya
tidak semudah itu menafikan catatan-catatan sejarah dengan sekadar
mengutip
satu dua orang penulis yang menyebut para rawinya lemah hafalannya dan tidak
dikenal. Sebagai ilustrasi, Imam Abu Bakr al-Dzahabi, seorang ahli rijal (rawi)
terkemuka di kalangan ahlusunah, justru menyebut al-Maidani--salah seorang
rawinya--sangat bisa dipercaya.
Kini,
dengan tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya memberikan catatan khusus ke
pada Saudara Fahmi Salim. Saya, saamihnii yaa akhi, mengalami kesulitan serius
untuk memahami ogika Antum. Bagaimana mungkin Antum menuduh saya melakukan
distorsi dan melemparkan fitnah dalam argumentasi saya, padahal dengan tegas
saya menyatakan bahwa adanya riwayat-riwayat tentang tahrif Alquran di kalangan
Ahlusunah dan fenomena pengutukan Sayidina Ali sebagai sama sekali tak mewakili
pandangan Ahlusunah?
Jika saya, yang sudah menegaskan hal itu, harus dibilang pembuat fitnah, atau
melakukan pelecehan, maka apa yang akan Antum katakan kepada para rawi hadis
dari kalangan sahabat dan tabiin, serta para ulama Ahlusunah yang jelas-jelas
meriwayatkan hal itu begitu saja? Jika mengikuti logika Antum, Antum harus
menyebut mereka sebagai biangnya tukang fitnah--wal iyadzu bil-Lah! Juga,
bukankah yang saya lakukan dalam artikel saya terdahulu adalah persis dengan
apa yang dilakukan para ulama ahlusunah yang Antum rujuk: menukilnya, hanya
untuk kemudian membantahnya?
Dari
sini tampak jelas bahwa kita memang harus terus melancarkan tawaashaw bil-haq
wa tawaashaw bish-shabr dalam bentuk penyelenggaraan diskusi-diskusi objektif
dan penuh keikhlasan antarmazhab dan kelompok Islam, serta lewat berbagai
medium-bukan dakwah (prosetilasi yang didorong semangat konversi) satu mazhab
terhadap mazhab lain.
Menanggapi kedua penulis, selama hampir 30
tahun dalam kiprahnya, Penerbit Mizan tak pernah menerbitkan satu pun buku yang
diarahkan pada proses prosetilasi seperti ini. Apalagi, mengandung pelecehan
terhadap keyakinan umat Islam dari kelompok mana pun. Justru, kita pun perlu
mencegah ekstremisme, pemutlakan pandangan, intoleransi, dan kerancuan logika
yang berasal dari kelompok mana pun. Satu-satunya yang boleh kita andalkan
hanyalah qalb salim (QS 26 :89). Yakni, hati (akal) yang sehat, bersih, dan
ikhlas. Wallahu a'lam. ●
Itulah hebat & kayanya ISLAM yg penuh ilmu pengetahuan yg dapat diperdebatkan tanpa pemutlakan pendapat masing2, yg takan mampu manusia untuk menelaah kalau dgn emosi dan sifat keduniaan yg tinggi. Terus Berdebat yg penting damai!!
BalasHapus