Anatomi
Politik Tionghoa
Christianto Wibisono, CEO GLOBAL NEXUS INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
Daniel Johan, calon legislator dari PKB DKI
Jakarta 2009 dan sekarang anggota staf khusus Menteri Pembangunan Daerah
Tertinggal, menulis kolom di Kompas (21/1) dengan identitas Direktur Institute
of National Leadership and Public Policy.
Kolom itu renungan kontemplatif tentang makna
Imlek di Tahun Naga Air dengan tema ”Menanti Pemimpin Tegas dan Berani”.
Indonesia memiliki segala potensi menjadi ”Naga Asia” yang dikagumi
bangsa-bangsa di dunia. Namun, itu semua akan terwujud jika bangsa ini punya
pemimpin tegas dan berani. Kepemimpinan seperti itulah yang ditunggu rakyat dan
sejarah.
Pada hari yang sama, Hermawi Taslim, yang
menyebut diri mewakili Komunitas Glodok, menyatakan dalam diskusi Warung Daun
Cikini bahwa etnisitas Tionghoa kecewa berat kepada SBY dan Partai Demokrat
pasti akan merosot tajam pada Pemilu 2014.
Selaku pengamat sejarah politik Indonesia,
saya menyambut positif debat, dialog, dan diskusi tentang politik sepanjang tak
menimbulkan disharmoni karena generalisasi dan eksploitasi politik partisan.
Benang merah sejarah keterlibatan politik
warga Tionghoa sejak perjuangan kemerdekaan hingga Orde Reformasi adalah bahwa
keturunan Tionghoa itu plural, bukan satu tribal monolit. Ini penting supaya
ada penjernihan pikiran untuk tak menggebyah-uyah seluruh keturunan Tionghoa
dengan stigma economic animal dan tidak patriot.
Empat dari 62 anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah Oei Tjong Hauw, putra
pendiri Oei Tiong Ham Concern, konglomerat pertama di Asia Tenggara; Liem Koen
Hian, Ketua Partai Tionghoa Indonesia; Tan Eng Hoa, Ketua Waroengbond Tionghoa;
dan Oei Tiang Tjoei, Ketua Hoo Hap Hwee Kwan, ormas sosial budaya. BPUPKI
membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Yap Tjwan Bing sebagai
satu dari 21 anggota.
Berisiko
Elite politik Indonesia berisiko menjadi
tahanan politik. Namun, bagi Tionghoa risikonya lebih berat karena faktor
rasisme. Bung Karno, Sutan Sjahrir, Mohamad Natsir, Burhanudin Harahap, dan
Amir Sjarifuddin korban perang saudara atau tahanan politik.
Beban elite Tionghoa lebih berat. Liem Koen
Hian ditahan oleh Kabinet Sukiman hingga frustrasi dan kecewa berat
menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Yap Tjwan Bing cedera pada aksi rasis
10 Mei 1963 sehingga ia hijrah ke San Francisco, tetapi di hari tuanya kembali
dan wafat di Indonesia.
Putri saya mengalami rasisme dalam the rape
of Jakarta, Mei 1998, sehingga keluarga saya hijrah ke Washington DC. Seluruh
tokoh kiri Tionghoa, mulai dari PKI, Baperki, sampai Sukarnois, menjadi tapol
rezim Soeharto. Namun, seperti juga warga Indonesia yang lain berideologi kiri
komunis, sosialis, nasionalis, dan islamis, keturunan Tionghoa juga bukan suatu
tribal monolit.
Dua menteri dari kabinet Sutan Sjahrir III (2
Oktober 1946-3 Juli 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-29 Januari
1948) adalah tokoh Partai Sosialis: Tan Po Goan dan Siauw Giok Tjhan. Siauw
kemudian menjadi ketua Baperki dan menjadi tapol korban G30S.
Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli
1953-12 Agustus 1956), Ong Eng Die dari PNI menjadi menteri keuangan dan Lie
Kiat Teng alias Mohamad Ali menjadi menteri kesehatan dari PSII. Dalam kurun
ini pluralitas Tionghoa tecermin dari polemik antara Auwjong Peng Koen (PK
Ojong) yang menulis di majalah Star Weekly dan Ong Eng Die, menteri yang
Tionghoa.
Setelah Pemilu 1955 justru tak ada menteri
Tionghoa dalam kabinet. Uniknya, baru setelah meledak peristiwa rasialis
Bandung 10 Mei 1963, Oei Tjoe Tat yang tokoh Baperki dan Partindo diangkat
menjadi menteri negara diperbantukan Presidium Kabinet pada 13 November 1963.
Bung Karno mengangkat Oei Tjoe Tat dan Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong,
mantan fo- tografer istana harian Duta Masyarakat, organ resmi NU, sebagai menteri.
Tan Kiem Liong menggebrak dengan pengampunan
pajak 1964, pemutihan dana pajak masyarakat untuk pendapatan negara. Sementara
David G Cheng, arsitek perancang menara Bung Karno, dijadikan menteri cipta
karya di lingkungan Pekerjaan Umum. Setelah kabinet terakhir Bung Karno
dilikuidasi oleh Soeharto, sejak 29 Maret 1966 tak pernah ada menteri Tionghoa
dalam kabinet Soeharto.
Baru pada saat kepepet Soeharto nekat
mengangkat kroninya, Bob Hasan alias The Kian Seng, menjadi menteri
perindustrian dan perdagangan yang hanya dua bulan (Maret-21 Mei 1998). Habibie
tak mengangkat menteri Tionghoa, tetapi menunjuk James Riady sebagai salah satu
Utusan Khusus Presiden untuk AS. Saya batal dilantik jadi anggota MPR oleh
Presiden BJ Habibie karena mendampingi putri saya ke AS.
Apakah peran Tionghoa dalam politik punah
pada era Soeharto oleh pembubaran PKI, Baperki?
Nyaris punah, tetapi justru perbedaan dalam
tubuh masyarakat Tionghoa sama dengan perbedaan dalam tubuh seluruh masyarakat
Indonesia: tak memusnahkan peranan Tionghoa sebagai individu. Namun, memang
hanya beberapa gelintir yang aktif berpolitik.
Meski tak menjabat menteri, Harry Tjan
Silalahi kepada Soeharto tak kalah dengan Oei Tjoe Tat kepada Bung Karno.
Sama-sama pembisik, tetapi Harry melakukannya melalui Ali Moertopo dan Benny
Moerdani. Setelah Benny Moerdani berani mempertanyakan bisnis putra-putri
Cendana, barulah Soeharto naik pitam dan mencuekkan CSIS yang di dalamnya
tersua Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi sebagai pelobi politik dan pengusaha
penyandang dana yang sangat efektif.
Liem Sioe Liong mengganti konglomerat Oei
Tiong Ham menjadi konglomerat baru Indonesia. Sejarah terulang saat Soeharto
tersinggung dengan ”arogansi” William Soeryadjaya ketika Soeharto minta
konglomerat menyisihkan saham untuk koperasi. Bank Summa bangkrut selain karena
kegagalan Edward Soeryadjaya mengelola, juga karena BI menolak menyelamatkan.
Setelah reformasi, iklim liberal justru
menguak perbedaan elite Tionghoa, baik secara personal maupun ideologi.
Perpecahan dalam organisasi pengusaha Tionghoa berebut legitimasi, bahkan
sempat meledak jadi adu jotos dalam rapat yang diadakan untuk mengampanyekan
Indonesia sebagai tuan rumah World Chinese Entrepreneurs Convention. Akibatnya,
Indonesia gagal menjadi tuan rumah WCEC.
Saya ingin mengingatkan politisi Tionghoa
bahwa Anda berkiprah sebagai individu untuk bangsa dan negara, bukan mendaku
mewakili secara partisan seperti kritik PK Ojong bahwa Ong Eng Die adalah tokoh
PNI dan bukan mewakili Tionghoa.
Silakan memihak atau mengkritik presiden
petahana karena itu hak asasi warga negara. Namun, jangan mengklaim mewakili
seluruh etnisitas Tionghoa karena Tionghoa bukan tribal monolit, melainkan
plural dan berhak meluruskan posisi petahana secara rasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar