Dua
Corak Tradisi Islam
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL
Sumber : JIL, 24 Januari 2012
Berkebalikan dengan teks Ibn al-Qayyim ini,
kita menjumpai tradisi populer yang berasal dari teladan para wali di Jawa yang
menunjukkan sikap toleran terhadap tradisi agama lain, bahkan penghormatan yang
tinggi terhadapnya. Contohnya adalah menara Kudus yang dibangun oleh Syekh
Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus (wafat circa 1550 M), salah satu Wali Sembilan
yang menyebarkan agama Islam di Jawa.
Menara ini mirip sekali dengan bentuk pura
dalam tradisi Hindu. Konon, Sunan Kudus juga melarang murid-muridnya
menyembelih sapi untuk menghormati perasaan umat Hindu. Itulah sebabnya, hingga
saat ini, tradisi memakan daging sapi kurang begitu berkembang di masyarakat
Muslim di kawasan Kudus, Jawa Tengah—sisa dari kebiasaan yang berasal dari masa
Sunan Kudus dulu.
Salah satu hal yang mengagumkan pada setiap
agama, termasuk tentunya dalam Islam, adalah adanya tradisi yang begitu kaya di
dalamnya. Tradisi itu tumbuh pelan dalam setiap masyarakat agama, mengikuti
perkembangan masyarakat. Jika hendak melihat bagaimana sebuah agama
diterjemahkan dalam situasi dan keadaan yang kongkrit, maka lihatlah tradisi
yang ada pada agama itu.
Tradisi adalah semacam embodiment atau
penubuhan agama dalam bentuk yang bisa dilihat langsung. Agama sebagaimana
tertuang dalam teks-teksnya, misalnya Quran atau hadis dalam konteks Islam,
biasanya bersifat abstrak. Teks itu harus diterjemahkan dalam situasi yang
kongkrit. Terjemahan itu selalu terjelma dalam sebuah tradisi atau
sunnah/turath.
Biasanya tradisi lahir sebagai bentuk
interaksi antara agama sebagai ajaran tekstual dengan situasi yang dihadapi
oleh umatnya. Dalam tradisi itulah kita melihat secara kongkrit bagaimana
masyarakat yang memeluk agama tertentu mendialogkan antara keyakinan dan ajaran
yang secara tekstual termuat dalam Kitab Suci mereka dengan keadaan nyata yang
mereka hadapi.
Karena wataknya yang sedemikian itu, maka
setiap tradisi biasanya terkait dengan konteks yang spesifik. Dan karena itu
pula, setiap tradisi menggambarkan situasi yang hidup pada zaman tertentu.
Dalam setiap komunitas agama, bisanya akan
kita jumpai kelas-kelas sosial yang beragam coraknya, dan mereka akan
mengembangkan tradisi yang sesuai dengan keragaman kelas itu. Inilah yang
menjelaskan kenapa muncul tradisi yang beragam dalam komunitas itu. Ada tradisi
yang mencerminkan kegiatan kelas elit dalam agama itu, ada tradisi yang
dikembangkan oleh masyarakat kecil atau awam.
Contoh yang pertama adalah kegiatan
intelektual yang dilakukan oleh para sarjana dalam agama. Para elit intelektual
mencoba menerjemahkan norma agama ke dalam situasi yang kongkrit melalui
kegiatan intelektual yang dalam Islam disebut dengan ijtihad atau penalaran
rasional. Para sosiolog agama biasa menyebut tradisi ini sebagai Tradisi Tinggi
atau Tradisi Tulis (Literate Tradition).
Di seberang tradisi tinggi ini, ada tradisi
populer yang berkembang di masyarakat. Tradisi populer ini biasanya terkait
dengan kisah-kisah populer yang berkenaan dengan kehidupan orang-orang saleh
yang menjadi panutan masyarakat. Dalam kalangan masyarakat Islam Jawa,
misalnya, dikenal tradisi populer berkenaan dengan kisah para wali.
Bagi orang awam, agama sebagaimana tertulis
dalam teks atau sebagaimana diungkapkan melalui tradisi tinggi yang
“intelektualistik” itu biasanya susah dijangkau. Mereka membutuhkan “agama”
yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Tradisi yang berkenaan
dengan kisah hidup para orang saleh (wali, kiai, ulama, dsb.), biasanya lebih
intim dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat biasa.
Sementara itu, kalangan “terpelajar” yang
menggemari agama sebagai arena untuk olah intelektual akan menyukai Tradisi
Tinggi yang tertuang dalam teks-teks yang ditulis oleh para sarjana, entah di
masa klasik atau modern. Teks para doctors of law atau ahli hukum Islam
(fuqaha), misalnya, biasanya lebih menarik mereka. Teks-teks karangan Imam
al-Shafi’i (m. 820 M) dan para pendiri mazhab Islam yang lain akan sangat
memikat kelas terpelajara ini.
Harus diakui, otoritas Tradisi Tinggi
biasanya lebih tinggi dan kokoh ketimbang Tradisi Populer yang bersumber dari,
antara lain, kisah-kisah hidup para orang saleh tersebut. Tradisi tinggi yang
tertulis itu biasanya menjadi sandaran ortodoksi, yakni ajaran pakem dalam
sebuah agama yang dianggap otoritatif dan menjadi kriteria untuk menilai
paham-paham lain dalam agama bersangkutan.
Dalam karyanya yang masyhur, Muslim Society
(1981), Ernest Gellner pernah mengemukakan pengamatan yang menarik tentang dua
tradisi ini. Menurut dia, dan saya kira dia benar dalam hal ini, keuntungan
sebuah agama yang memiliki pembelahan antara dua tradisi ini (seperti kasus
Islam) adalah adanya kemudahan agama tersebut untuk melakukan penyesuaian diri
dengan keadaan yang terus berubah. Dengan kata lain, agama semacam ini akan
lebih mudah melakukan modernisasi sosial ketimbang agama yang hanya mengenal
tradisi tunggal saja.
Masih menurut Gellner, jika terjadi suatu
kemunduran dalam umat agama bersangkutan, maka para elit agama itu bisa
melakukan pemisahan antara tradisi tinggi dan tradisi populer. Mereka akan
mengatakan bahwa kemunduran umat dalam agama itu lebih disebabkan oleh
penyelewengan yang ditimbulkan oleh pengaruh tradisi populer. Karena itu, solusinya
adalah kembali kepada tradisi tinggi yang tertuang dalam teks. Tradisi tekstual
ini dianggap lebih suci dan bebas dari pengaruh kultural yang koruptif serta
mengandung tenaga pembebasan untuk memajukan umat.
Pengamatan Gellner ini memang cenderung melihat
tradisi populer secara kurang simpatik. Meski tak seluruhnya pengamatan Gellner
salah, tetapi ada pula kritik kecil terhadap pengamatannya ini. Menurut saya,
sumber kekakuan dalam masyarakat agama yang kerap menghalanginya untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, bisa juga muncul dari Tradisi
Tinggi yang tertuang dalam teks para sarjana.
Sementara Islam sebagaimana dicerminkan dalam
tindakan para orang saleh yang merupakan dasar tradisi populer justru bisa
menjadi sumber fleksibilitas dalam masyarakat Muslim dan memudahkan mereka
untuk melakukan akomodasi terhadap perubahan.
Contoh yang sangat baik adalah teks dari abad
ke-14 Masehi yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (m. 1350 M) berjudul
Ahkam Ahl al-Dhimma (Hukum Berkenaan dengan Orang Dhimmi). Dhimmi adalah konsep
dalam teori politik Islam klasik, yang artinya adalah warga negara non-Muslim
yang hidup di negeri Muslim. Mereka adalah semacam “permanent/alien resident”
dalam konsep politik modern saat ini.
Kalau kita baca buku ini, terasa sekali nada
“superioritas” Islam yang sangat kuat, terutama terhadap umat Kristen dan
Yahudi. Jika buku ini dipakai sebagai rujukan dalam kehidupan modern, bukan
mutahil ketegangan antara Islam dan Kristen akan mudah terjadi.
Saya ambilkan secuil contoh saja dari
pembahasan buku ini. Menurut Ibn al-Qayyim, seorang ulama yang sangat dihormati
tertutama di kalangan penganut ideologi Wahabisme ini, jika suatu negara
ditaklukkan dengan paksa oleh umat Islam, dan kemudian umat Islam membangun
kota (mashr) baru di sana (istilah Arabnya: tamshir), maka tak satu pun gereja
atau sinagog baru boleh didirikan. Gereja yang didirikan setelah kota baru itu
dibangun oleh umat Islam, seluruhnya harus dihancurkan. Yang boleh tersisa
hanyalah gereja yang sudah ada di tanah itu sebelum kedatangan Islam. (Ahkam
Ahl al-Dhimma, hal. 1195).
Menurut Ibn al-Qayyim, dengan mengutip
pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 855), umat Kristen juga dilarang membunyikan
lonceng keras-keras di gereja mereka. Selain itu, mereka juga dilarang
menampakkan tanda salib secara terbuka di gereja mereka.
Jika dibaca saat ini, tanpa memperhitungkan
konteks di mana ia ditulis, karya Ibn al-Qayyim itu bisa menimbulkan sikap
negatif di kalangan Muslim terhadap umat agama lain, terutama Kristen. Seluruh
isi buku itu memang menggambarkan tradisi intelektual Islam klasik pada periode
tertentu di mana salah satu cirinya adalah penonjolan superioritas Islam
terhadap Kristen hingga ke dimensi yang paling visual, seperti urusan
pelarangan pemasangan salib gereja, misalnya.
Berkebalikan dengan teks Ibn al-Qayyim ini,
kita menjumpai tradisi populer yang berasal dari teladan para wali di Jawa yang
menunjukkan sikap toleran terhadap tradisi agama lain, bahkan penghormatan yang
tinggi terhadapnya. Contohnya adalah menara Kudus yang dibangun oleh Syekh
Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus (wafat circa 1550 M), salah satu Wali Sembilan
yang menyebarkan agama Islam di Jawa.
Menara ini mirip sekali dengan bentuk pura
dalam tradisi Hindu. Konon, Sunan Kudus juga melarang murid-muridnya
menyembelih sapi untuk menghormati perasaan umat Hindu. Itulah sebabnya, hingga
saat ini, tradisi memakan daging sapi kurang begitu berkembang di masyarakat
Muslim di kawasan Kudus, Jawa Tengah—sisa dari kebiasaan yang berasal dari masa
Sunan Kudus dulu.
Sikap yang toleran terhadap tradisi agama
lain ini juga terus dikembangkan oleh para ulama di Jawa hingga sekarang.
Tradisi inilah yang, antara lain, mengilhami Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur untuk membangun tradisi dialog antaragama dengan kelompok-kelompok agama di
luar Islam.
Contoh ini memperlihatkan bahwa tradisi
toleransi justru lebih bisa dipupuk melalui tradisi populer yang berkembang di
masyarakat. Sementara Tradisi Tinggi yang berasal dari teks para sarjana Islam
klasik justru, dalam kasus ini, cenderung “tertutup” dan eksklusif, sebagaimana
diperlihatkan oleh teks dari Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Tentu tak selamanya Tradisi Tinggi bersifat
seperti itu. Apa yang disebut sebagai Tradisi Tinggi yang intelektualistik itu
bukanlah monolitik. Di dalamnya banyak versi. Ada versi yang progresif dan
sangat sesuai dengan kebutuhan kita sekarang, tetapi juga ada yang tertutup dan
kurang pas dengan keadaan saat ini. Kitab Ibn al-Qayyim di atas itu, menurut
saya, adalah salah satu contoh teks yang kurang begitu relevan dengan keadaan
saat ini. Kita perlu mengembangkan teks atau tradisi baru yang lebih terbuka
dan dialogis.
Kenapa tradisi yang terbuka seperti ini lebih
kita butuhkan? Sebab tradisi seperti inilah yang lebih sesuai dengan masyarakat
informasi saat ini yang salah satu ciri pokoknya adalah ketebukaan,
transparency, serta sikap terbuka dan menghargai perbedaan, bukan sikap yang
menonjolkan superioritas keagamaan yang akan gampang menyulut ketegangan dan
konflik sosial. Wa ‘l-Lahu a’lam bi al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar