“Surat
Cinta” Century
Febri Diansyah, PENELITI INDONESIA CORRUPTION WATCH
Sumber
: KOMPAS, 10 Januari 2012
Gerimis pada awal 2012 belum mampu
mendinginkan polemik penalangan Century yang terjadi hampir empat tahun lalu.
Sepenggal pidato Presiden SBY satu hari pascahasil angket Century mulai
dipertanyakan lantaran tiga surat mantan Menteri Keuangan dan Ketua KSSK.
”Sekali lagi, saat pengambilan keputusan itu
saya sedang berada di luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan
arahan....”
Itulah kutipan transkripsi pidato Presiden
Yudhoyono di Istana Negara, 4 Maret 2010, yang tertulis di laman www.presidensby.info.
Di sana, Presiden bilang, ketika kebijakan bailout diambil, SBY mengikuti KTT
G-20 di Amerika Serikat dan APEC di Peru.
Masih di pidato yang sama, dikatakan,
berdasarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
(JPSK), pengambilan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak
butuh keterlibatan Presiden.
Tentu tidak berlebihan jika saya memaknai
pidato itu bahwa salah ataupun benar kebijakan penalangan Bank Century adalah
tanggung jawab KSSK. Sebuah Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang hanya
terdiri atas dua orang, yaitu Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur Bank
Indonesia sebagai anggota (Pasal 5). Sempurna?
Terselubung
Tak ada gading yang tak retak. Tampaknya ada
yang lupa, Pasal 9 Perppu No 4/2008 tentang JPSK mengatur, ”KSSK menyampaikan
laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden”. Mungkinkah
keputusan KSSK yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak
sistemis dan kemudian menyerahkan penanganan kepada LPS (21/10/2008) tidak
dilaporkan kepada Presiden? Jika KSSK tak melaporkan, dengan mudah kita bisa
katakan bahwa keputusan KSSK tersebut cacat hukum.
Namun, beberapa lembar surat KSSK membuka
tirai yang selama ini masih samar. Jika tanggal surat (25/11/2008) itu benar,
artinya Presiden diberi tahu empat hari pasca-bailout Century dilakukan. Saat
itu, mengacu pada audit investigatif BPK, pencairan tahap I senilai Rp 2,7
triliun telah terjadi (23/11/2008). Tiga tahap pencairan dana lainnya yang
belum dilakukan adalah Rp 2,2 triliun, Rp 1,1 triliun, dan Rp 630 miliar.
Namun, tercatat sehari sebelum pencairan tahap I ini (22/11/2008), laporan
lisan juga sudah dilakukan kepada Wakil Presiden.
Selain itu, laporan KSSK kepada Presiden tak
berhenti sampai di sini. Dua surat berikutnya dikirim masing-masing pada 4
Februari dan 29 Agustus 2009. Lantas, apa yang bisa dibaca dari surat-surat
tersebut?
Sejumlah media sudah membuka fakta ini. Untuk
kepentingan mengungkap kebenaran yang lebih substansial, pihak-pihak yang berwenang
harus menelusuri lebih jauh makna komunikasi tersebut. Berdasarkan fakta yang
terungkap, setidaknya kita tahu pihak-pihak yang harus bertanggung jawab.
Kebenaran
vs Kebenaran
Polemik lain yang belum terjawab hingga saat
ini adalah kisruh politik tentang penuntasan kasus Bank Century. Hasil angket
menyimpulkan adanya penyimpangan pada kebijakan dan aliran dana talangan
Century. Bahkan, pansus yang dibentuk saat itu menyebutkan pihak-pihak yang
harus bertanggung jawab, dua di antaranya adalah mantan Gubernur BI yang
sekarang menjadi Wakil Presiden dan mantan Menteri Keuangan. Opsi C ini menang
dalam pemungutan suara pada Rapat Paripurna DPR.
Diterima atau tidak, menurut saya, opsi C
adalah sebuah kebenaran politik. Ia lahir dari proses politik yang dijamin
konstitusi.
Namun, pertanyaannya, dapatkah kebenaran
politik tersebut dipaksakan menjadi kebenaran hukum? Tunggu dulu. Jika hal ini
dibiarkan, yang akan terjadi adalah arogansi politik terhadap hukum atau bahkan
bukan tidak mungkin menjadi intervensi politik.
Oleh karena itu, saya cenderung berpendirian
bahwa hak konstitusional dan fungsi pengawasannya—jika ingin
diteruskan—haruslah pada jalurnya. Jalur tersebut adalah melalui penggunaan hak
menyatakan pendapat yang dimiliki DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
DPR juga tidak bisa berkilah bahwa semua
sudah diserahkan kepada KPK. Karena sebelum DPR bekerja sebenarnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memulai penelusuran skandal Century. Bahkan,
KPK-lah yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, bukan DPR.
Jika DPR masih bersikukuh menunggu KPK, sama
artinya proses pansus angket Bank Century yang lalu itu sekadar buang-buang
uang negara. Untuk apa ada pansus yang berbiaya mahal jika akhirnya kembali ke
proses hukum yang sebelumnya bahkan telah dimulai?
Bagi saya, hak menyatakan pendapat tidaklah
perlu ditakuti oleh kedua belah pihak. Justru kepastian hukum akan didapatkan
melalui proses persidangan di MK. DPR wajib membuktikan tuduhannya dan pihak
yang dituduh dapat membantah. Hakimlah yang akan memutuskan. Saya sendiri
cenderung lebih percaya integritas MK. Tentu tetap dengan pengawasan yang ketat
dari publik.
Di titik itulah kebenaran hukum yang
didapatkan melalui proses hukum pidana di kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus
berjalan terpisah. DPR cukup mengawasi, bukan intervensi. Khusus untuk KPK,
pimpinan yang baru ditagih komitmennya dalam pemberantasan korupsi untuk
menuntaskan skandal Century ini. Beberapa celah yang ditemukan dalam audit
investigatif dan audit forensik BPK bisa dijadikan modal awal membongkar lebih
lanjut. KPK diharapkan segera meningkatkan status penanganan kasus Century ke
penyidikan.
Publik
Masih Menunggu
Dugaan adanya unsur melawan hukum terkait
pengawasan BI, laporan tentang keadaan Bank Century sebagai dasar fasilitas
pendanaan jangka pendek (FPJP), pelanggaran CAR, aliran dana Rp 1 miliar kepada
salah satu petinggi BI, aliran dana dari salah satu buron dalam kasus Century
ke politisi, atau aliran dana lain yang diungkap di audit forensik BPK sangat
mungkin dibongkar.
Demikian juga dengan dugaan cacat hukum
bailout karena berdasarkan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya Komite
Koordinasi (KK) yang berwenang membuat kebijakan penyelamatan bank gagal
berdampak sistemis. Selain terdiri dari Menteri Keuangan dan Gubernur BI,
Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) dan LPS adalah anggota KK yang berwenang ikut
mengambil keputusan. Berbeda dengan KSSK yang disiapkan sedemikian rupa oleh
Perppu No 4/2008. Perppu tampaknya menghilangkan unsur LPP dan LPS sebagai
pihak yang bisa mengambil keputusan.
Lebih dari itu, jika KPK mampu, bukan tidak
mungkin rantai yang hilang pada penerbitan Perppu JPSK, perubahan Peraturan BI,
pencairan dana penyertaan modal sementara Rp 2,8 triliun yang masih dilakukan
meski perppu tidak diterima DPR bisa diungkap.
Salah satu yang perlu didalami adalah apakah
ada konflik kepentingan dan niat jahat di balik kebijakan tersebut. Biasanya
unsur itu bisa dibuktikan dengan adanya aliran dana berupa kickback kepada
pengambil kebijakan langsung atau pihak-pihak yang masih punya afiliasi
terhadap pejabat tersebut. Bisa melalui organisasi seperti yayasan, perusahaan,
atau bahkan partai. Atau kemungkinan adanya persekongkolan untuk mendesain
tabir hukum melalui kebijakan juga perlu ditelusuri.
Apa pun itu, publik sangat menanti kerja
konkret KPK jilid III. Demikian juga DPR, tetapi janganlah mencampuradukkan
kebenaran politik dan memaksakannya.
Silakan jalankan proses politik agar publik
juga tidak disuguhi tontonan yang memuakkan tentang transaksi dan politik
barter. Semoga saja ”surat cinta” ini bisa menjadi celah baru membongkar
skandal Bank Century. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar