Mengadili
Elite Predator
Teten Masduki, SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 31
Januari 2012
Hampir di mana saja, di negara maju atau
berkembang, sistem demokrasi dikuasai segelintir elite. Namun, hebatnya, elite
di Tanah Air tidak hanya menguasai jaringan politik, ekonomi, atau birokrasi,
tetapi juga hukum sehingga bukanlah perkara mudah menyeret elite busuk ke
pengadilan. Realitas ini sangat terasa dalam mengadili kasus-kasus korupsi yang
melibatkan nama besar.
Di sini hukum hanya efektif untuk orang
kecil, tetapi loyo terhadap penguasa dan orang kaya. Di luar sana, sebut saja
di Korea Selatan, hukum tetap bisa tegak berwibawa menghadapi konglomerat besar
kotor, bahkan
terhadap dua mantan presiden Korea
Selatan—Chun Do-wan dan Roh Tae-woo—meskipun kemudian ada mekanisme politik
untuk memberi pengampunan kepada mereka.
Di Amerika Serikat, hukum tampil relatif
meyakinkan dalam mengadili megaskandal Enron yang melibatkan seorang senator
atau dalam kasus megaskandal investasi Bernard Madoff yang menggegerkan bisnis
keuangan dunia.
Dalam kasus Nazaruddin yang tengah diadili di
pengadilan tindak pidana korupsi: susah alang kepalang mengadili sejumlah nama
besar politisi yang sudah disebut di media dan di sidang pengadilan. Bahkan,
belakangan disebutkan ada indikasi rencana pembunuhan terhadap Mindo Rosalina
Manulang, tersangka sekaligus pengungkap pelaku kejahatan yang sudah mendapat
perlindungan LPSK.
Hingga saat ini, sejumlah nama yang sebagian
sudah disebut-sebut dalam kesaksian di pengadilan, seperti Anas Urbaningrum,
Angelina Sondakh, inisial ”apel malang”, masih merupakan tokoh fiksi dalam
kisah telenovela kasus Nazaruddin.
Kita tahu berkali-kali Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan kewenangannya yang besar pun terpaksa harus menerapkan strategi
makan bubur panas untuk membongkar kasus megakorupsi yang melibatkan sejumlah
orang besar dengan mulai mengadili pelaku-pelaku kecil di tingkat operator.
Sebut saja dalam kasus cek perjalanan, kasus dana Yayasan Pengembangan
Perbankan Indonesia Bank Indonesia, atau Bank Century.
Jalan
Pintas
Ihwal bagaimana pembentukan elite mutakhir
sangat menarik dipelajari lebih lanjut. Namun, sepintas lalu, partai politik
dan DPR belakangan ini adalah salah satu jalan pintas untuk menyulap
orang-orang biasa menjadi elite yang mahaperkasa. Aktivis sosial, guru ngaji,
dan preman pasar jadi politisi, atau rekanan bisnis pemerintah daerah menjadi
kepala daerah adalah berkat demokrasi.
Bisnis Nazaruddin, sekadar contoh,
diberitakan seketika melambung luar biasa setelah Nazaruddin menjadi Bendahara
Umum Partai Demokrat. Dan sekarang, banyak kontrak pemerintah di pusat dan
daerah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan relatif baru, seperti dalam kasus
Nazaruddin, yang tak dikenal selama ini. Ribuan kuasa pertambangan batubara
jatuh ke tangan pengusaha yang berkantor di ruko, selain pemain lama.
Politisi yang membangun karier dari aktivisme
politik lewat organisasi massa, keagamaan, atau jenjang kepengurusan partai
kelihatan mulai tersingkir oleh mereka yang menguasai jaringan sumber daya
ekonomi. Maka, tidaklah mengherankan jika banyak pengusaha yang memimpin partai
politik akan membawa gerbong besar untuk menjamin kepentingan bisnis mereka.
Era partai massa memang sudah berakhir. Bukan
kekuatan ideologi lagi yang menggerakkan dinamika politik sekarang ini,
melainkan semata-mata uang. Rakyat biasa pun sudah tak lagi mau mengijonkan hak
pilih mereka pada saat pemilu. Entah karena sudah lama mereka dibohongi
politisi, mereka lebih senang mendapat pemberian langsung daripada dijanjikan
dengan kebijakan publik yang baik.
Ketika kekuasaan ekonomi dan politik bersatu
dalam satu tangan, sudah bisa dibayangkan di tengah alpanya aturan tentang
konflik kepentingan, kebijakan-kebijakan publik akan berhadap-hadapan dengan
kepentingan rakyat banyak.
Dengan adanya untung besar bagi penguasa
seperti sekarang ini, kehadiran negara predator seperti diteorikan sosiolog
masyhur Peter B Evans (1994) akan semakin nyata. Karakteristiknya mulai makin
jelas: para elite penguasa menikmati paling banyak surplus ekonomi nasional dan
mereka semakin terang-terangan tanpa malu-malu menjarah ekonomi kita dan
mengabaikan kepentingan umum.
Memutus
Sumber Logistik
Dalam memerangi oligarki elite predator,
tidak ada jalan lain selain memutus sumber logistik dan pendukung mereka. Juga
membongkar praktik-praktik operasi bisnis kotor mereka. Di sinilah penguatan
KPK menjadi sangat penting, termasuk mensterilkan KPK dari aparat hukum
konvensional yang sudah menjadi bagian dari rezim korupsi.
Dalam konteks ini bisa dipahami upaya
sistematis untuk melemahkan KPK dan pengadilan tipikor terus hidup dari
kalangan elite yang kepentingannya terganggu. Tidak mustahil pada masa yang
akan datang, upaya kooptasi kekuatan politik terhadap Komisi Pemilihan
Umum dan Mahkamah Konstitusi akan semakin kuat.
Dalam konteks inilah, gerakan sosial
antikorupsi tidak bisa lagi sekadar jadi komentator pada media umum, tetapi
harus betul-betul membangun fondasi gerakan yang kuat dalam masyarakat. Untuk
melakukan perubahan besar, memang gerakan sosial saja tidak cukup. Namun,
transformasi gerakan sosial ke politik yang sejak reformasi mewacana di
kalangan organisasi non-pemerintah barangkali jangan ditafsirkan secara linier
untuk menaiki tangga kekuasaan politik.
Mengapa? Karena terbukti selama ini, meskipun
tak semua, ketika orang biasa menduduki kekuasaan, sering kali tali mandatnya
putus dan terjadilah pengkhianatan terhadap nilai ideal atau kelompok rakyat jelata
yang disuarakannya selama berada di luar lingkaran kekuasaan.
Membetot kekuasaan politik dan
ekonomi dari puncak dan mendistribusikannya kepada orang-orang
biasa barangkali lebih menjanjikan keadilan secara sistematis ketimbang
ramai-ramai berlomba memanjat tangga kekuasaan yang biayanya kian hari kian
mahal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar