Dilema
Pembatasan BBM
Anggito Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber
: KOMPAS, 26
Januari 2012
Subsidi BBM di tahun 2011 telah melampaui
batas kewajaran. Kenaikan anggaran subsidi BBM terjadi karena kenaikan harga
minyak mentah dunia dan lonjakan volume konsumsi BBM, terutama premium.
Karena kompleksnya masalah, rencana
pembatasan subsidi telah menimbulkan dilema bagi pemerintah, apakah akan tetap
dijalankan atau ditunda, bahkan dibatalkan. Wacana kenaikan harga kembali
mencuat sebagai kebijakan yang lebih tepat ketimbang pembatasan konsumsi.
Pemerintah akan menjalankan pembatasan bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi, dimulai dari premium per 1 April 2012 sesuai
amanat UU No 22/2011 tentang APBN 2012. Pasal 7 Ayat 4 UU APBN 2012
menyebutkan, pengendalian anggaran subsidi BBM 2012 akan dilakukan lewat
pengalokasian yang lebih tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi.
Penjelasan Ayat 4 menyebutkan, pengalokasian BBM bersubsidi secara tepat
sasaran dilakukan lewat pembatasan konsumsi premium kendaraan roda empat
pribadi di Jawa-Bali sejak 1 April 2012.
Sayangnya, UU APBN 2012, tak seperti UU APBN
sebelum-sebelumnya, telah menutup kemungkinan penyesuaian kebijakan harga BBM,
bahkan termasuk jika harga minyak dunia naik. UU APBN mengamanatkan pemerintah
untuk membatasi volume konsumsi, sedangkan untuk harga BBM bersubsidi tidak
boleh diubah. Padahal, kecenderungan kenaikan harga minyak dunia sudah pasti
akan memengaruhi harga keekonomian BBM dan jika tidak disesuaikan, akan
menambah anggaran subsidi BBM.
Meskipun jelas-jelas merupakan perintah UU
APBN 2012, pembatasan BBM menghadapi dua masalah pelik, yakni dampak beban
biaya sosial-ekonomi dan masalah ketidaksiapan teknis BBG (bahan bakar gas).
Masalah-masalah ini justru mengemuka dari hasil pembahasan Komisi VII DPR
dengan para pihak, yakni pakar, Pertamina, Hiswana Migas, pelaku UMKM,
Gaikindo, dan Kadin, beberapa hari lalu. Semua pihak terkait menyatakan
ketidaksiapannya apabila kebijakan tersebut dilaksanakan pada April 2012.
Dampak
Sosial-Ekonomi
Masalah sosial-ekonomi timbul karena pemilik
mobil pribadi yang tak memiliki akses ke BBG akan mengeluarkan biaya BBM hampir
dua kali lipat (dari harga premium Rp 4.500 per liter ke pertamax Rp 8.800 per
liter). Kenaikan beban biaya BBM akan memberatkan pemakai premium dan ini
terutama akan dirasakan jutaan pengusaha usaha menengah, kecil, dan mikro
(UMKM) yang sebagian besar menggunakan mobil pelat hitam berbahan bakar premium
untuk mendukung kegiatan usaha.
Dari jumlah UMKM yang mencapai 50 juta, lebih
dari separuh adalah sektor informal dan tidak memiliki surat izin usaha
perdagangan (SIUP). Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, pengusaha
tanpa SIUP tak bisa mendapatkan pelat kuning dan dilarang membeli BBM
bersubsidi. Pengalihan dari pelat hitam ke pelat kuning saja belum
dipersiapkan, apalagi jika dipersyaratkan harus ada SIUP, bisa terbayang proses
akan memakan waktu dan kompleks.
Menurut Sensus Ekonomi 2006, pengeluaran UMKM
untuk bahan bakar terhadap total biaya produksi mencapai 21 persen. Studi
Sinaga (2006) mengenai dampak kenaikan harga BBM menunjukkan, kenaikan harga
BBM menyebabkan biaya produksi bulanan UMKM meningkat 28 persen. Studi ini juga
menjelaskan bahwa sebanyak 77 persen UMKM terkena dampak kenaikan harga.
Sebanyak 66 persen dari UMKM memutuskan untuk mengurangi keuntungan usaha jika
ingin mempertahankan harga saat harga BBM naik.
Studi Suarja dan Syarif (2008) menjelaskan
dampak kenaikan harga BBM 100 persen menyebabkan laba UMKM per bulan turun 18
persen, sedangkan penyerapan tenaga kerja oleh UMKM turun 2,5 persen.
Pengalihan dari premium ke pertamax ini juga berpotensi menimbulkan migrasi
pengguna mobil premium ke solar atau ke sepeda motor. Artinya, subsidi tetap
saja membengkak. Pelaksanaan pengalihan ini juga harus dilakukan serentak di
Jawa-Bali untuk mengurangi kemungkinan penyelewengan.
Dari sisi penyediaan infrastruktur SPBU
pertamax diyakini dapat dipersiapkan 100 persen dalam dua bulan ke depan
meskipun harus diciptakan kebijakan khusus, misalnya dalam insentif pembiayaan
dan investasi. Pemerintah perlu menciptakan sistem dan pengawasan yang dapat
mengurangi konflik di SPBU apabila mobil pelat hitam pribadi memaksa membeli
premium. Ini pun belum dipersiapkan.
Kesiapan
BBG Masih Minim
Kebijakan energi alternatif BBG merupakan
langkah yang tepat karena produksi gas dalam negeri memadai, bahkan separuhnya
telah diekspor, sedangkan produksi BBM tidak mencukupi sehingga harus impor.
Bahan bakar gas relatif aman serta lebih murah dan ramah lingkungan. Namun,
tetap saja dipastikan bahwa tersedia gas untuk keperluan dalam negeri,
khususnya untuk BBG, seperti yang dibutuhkan untuk PLN dan pabrik pupuk ataupun
untuk LPG rumah tangga.
Masalah teknis pengadaan alternatif BBG
adalah di samping belum adanya jaminan kepastian pasokan gas dalam negeri—masih
sedikitnya SPBG—juga belum adanya sosialisasi keamanan BBG dan belum adanya
kepastian mengenai garansi mobil. Pengadaan konverter juga memakan waktu lama
dan membutuhkan standardisasi, seperti Standar Nasional Industri (SNI) atau
ISO. Saat ini, jumlah SPBG masih sangat minim dan terkonsentrasi di Jakarta.
Penyediaan compressed natural gas (CNG) juga menghadapi kendala karena
infrastruktur pipa belum tersalurkan, sedangkan harga liquefied gas for
vehicles (LGV) lebih mahal daripada CNG. Sosialisasi keamanan BBG masih minim
dan belum ada kajian kelayakan (atau kerusakan) mesin akibat pemakaian BBG.
Rencananya CNG akan ditetapkan pada harga Rp
4.100 per liter dan LGV Rp 5.500 per liter dengan subsidi Rp 1.000. Perbedaan
harga tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumen LGV, khususnya di luar
Jakarta. Perlu dipikirkan mengenai penyetaraan harga BBG jenis CNG dan LGV
sehingga tidak merugikan konsumen.
Pemerintah juga perlu mengembangkan produksi
converter kit dalam negeri dengan prototipe converter kit yang telah dikaji di
dalam negeri dengan standar internasional. Saat ini, ITB, UGM, dan beberapa
universitas lain telah mengembangkan prototipe konverter. UGM telah
mengembangkannya selama tiga tahun dan masih membutuhkan tiga pengujian lagi
sebelum layak produksi. Produksi konverter ”jalur cepat” oleh PT Dirgantara
Indonesia dan beberapa BUMN lain perlu mendapatkan konfirmasi kelayakan.
Masalah garansi mobil terkuak dalam diskusi
dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) di Komisi VII
DPR. Gaikindo mengingatkan, pemilik kendaraan yang mobilnya masih dalam masa
garansi dilarang memasang converter kit di luar dealer resmi. Pemasangan alat
konversi BBM ke BBG ini dipastikan akan ”menghanguskan” garansi mesin atau
garansi tak berlaku.
Kenaikan
Harga BBM Lebih Baik
Di sisi positifnya, rencana pembatasan ini
akan melepaskan tekanan berat di anggaran pemerintah. Jumlah mobil pribadi di
Jawa-Bali mencapai 8 juta unit. Konsumsi premium Jawa-Bali mencapai 20 juta
kiloliter, 80 persen dari konsumsi premium nasional. Sebesar 53 persen terdiri
atas mobil pribadi yang menggunakan premium.
Dengan asumsi jumlah mobil tak tumbuh besar
pada 2012 dan konsumsi premium kendaraan pribadi 10,6 juta kiloliter, jika
dilaksanakan sesuai rencana dan tepat waktu, penghematan yang dapat dicapai
pemerintah dengan harga keekonomian premium Rp 8.200 per liter adalah lebih
dari Rp 20 triliun. Penghematan ini sekitar 20 persen dari anggaran pemerintah
untuk subsidi BBM pada 2012. Pada 2012 pemerintah realistis dengan menargetkan
penghematan 6,21 juta kiloliter karena dilakukan secara bertahap dengan tingkat
kepatuhan yang masih rendah.
Namun, melihat kompleksitas masalah
sosial-ekonomis dan teknis, tampaknya pembatasan BBM dengan pengalihan premium
ke pertamax dan penyediaan alternatif BBG belum siap untuk dilaksanakan
sekaligus pada April 2012. Studi tiga universitas (UI, UGM, dan ITB) tahun 2011
juga menyimpulkan pengalihan premium ke pertamax adalah opsi ketiga setelah
dilaksanakannya kenaikan harga premium Rp 500 per liter dan penerapan sistem
pendataan konsumsi bagi kendaraan umum. Penyediaan alternatif BBG bukan
merupakan opsi, melainkan justru wajib dikembangkan segera, tetapi dilakukan
secara bertahap.
Pemakaian BBG terkendala karena harga premium
terlalu murah. Harga CNG Rp 4.100 per liter dan LGV Rp 5.500 per liter masih di
bawah harga premium bersubsidi Rp 4.500 per liter. Maka, jika harga premium
dinaikkan Rp 1.000 per liter dalam waktu setahun, dipastikan akan terjadi
pengalihan pengguna premium ke BBG secara otomatis tanpa paksaan. Dengan
catatan, pengadaan konverter BBG harus disubsidi APBN. Harga konverter masih
bisa diturunkan di bawah Rp 10 juta seperti perkiraan tim UGM. Kebijakan yang
tepat dan penting ini sayangnya tak didahului kajian dan perencanaan matang dan
analisis dampak yang diakibatkan oleh pembatasan. Pemerintah, melalui komentar
di media massa, sejak awal cenderung ragu mengenai kesiapan pemberlakuan
pengalihan premium ke pertamax di Jawa-Bali serta persiapan infrastruktur untuk
BBG, baik CNG maupun LGV, sebagai alternatif.
Karena sudah tercantum dalam UU APBN 2012,
pemerintah perlu persetujuan DPR untuk meninjau ulang kebijakan pembatasan BBM,
termasuk mempertimbangkan opsi menaikkan harga premium minimal Rp 500 per liter
untuk menghemat anggaran dan memberikan insentif bagi BBG. Prinsipnya
pembatasan konsumsi premium tidak dapat dipaksakan tanpa memberikan alternatif
BBG yang lebih murah, terjangkau, aman, dan layak di seluruh Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar