Selasa, 10 Januari 2012

Melupakan Sejarah Akan Dihukum


Melupakan Sejarah Akan Dihukum
Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
Sumber : KOMPAS, 10 Januari 2012


Manusia adalah anak sang waktu. ”Mereka yang tak dapat mengingat masa lalu akan dihukum mengulangi kesalahan yang sama.” Ungkapan George Santayana itu patut dicamkan ketika kita memasuki tahun baru. Titik kedatangan kebaruan semestinya momen reflektif dari pengalaman keberangkatan. Waktu adalah guru yang baik, tetapi kita sering terkutuk olehnya karena tak mau belajar darinya.

Mengiringi letusan kembang api yang berpendar di udara, pidato para pejabat negara melambungkan pujian tentang pencapaian prestasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi didengungkan bak mantra seraya dilupakan penderitaan ekonomi rakyat yang terpantul dalam tuntutan kenaikan gaji perburuhan, nestapa buruh migran, serta kerusuhan di Papua, Mesuji, dan Bima. Padahal, jika ada klaim pertumbuhan di satu sisi bersamaan dengan merebaknya ledakan ketidakpuasan di sisi yang lain, di tengahnya mesti ada kejahatan.

There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics (Ada tiga jenis kebohongan: kebohongan, kebohongan terkutuk, dan statistik). Demikian dikatakan Benjamin Disraeli. Sindiran itu terasa pas untuk melukiskan statistik rekaan pemerintah yang mengungkap sebagian kebenaran seraya menutupi kebenaran yang lain. Pertama, apakah pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6,5 persen mengindikasikan prestasi pemerintah atau justru menunjukkan kegagalan pemerintah— yang semestinya jika good governance dijalankan bisa meraih angka pertumbuhan yang jauh lebih tinggi?

Kedua, apakah pertumbuhan ekonomi merefleksikan sehatnya perekonomian nasional? Siapa yang mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi itu? Bukankah 70 persen dari rakyat Indonesia mengandalkan hidup dari sektor informal? Pendapatan per kapita Indonesia dinyatakan naik pada kisaran 3.000 dollar Amerika Serikat, tetapi belum lama berselang aksi buruh yang menuntut kenaikan gaji dari 1.600 dollar AS ke 1.700 dollar AS begitu sulit dipenuhi. Sementara itu, nilai kekayaan 40 konglomerat Indonesia setara dengan separuh APBN kita.

Kita tidak pernah belajar dari masa lalu. Pada awal dekade 1990-an, Bank Dunia menyatakan, fundamen ekonomi Indonesia baik dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun, menjelang akhir dekade itu, perekonomian Indonesia mengalami krisis akut, sang mesiah Bank Dunia tak bisa menolong dan sabuk pengamannya justru ketahanan sektor informal sebagai juru selamat sejati.

Anehnya, hari ini kita mengulangi kebodohan yang sama dengan terus-menerus merayakan pertumbuhan seraya mengabaikan pemerataan. Joseph E Stiglitz, berdasarkan pengamatannya atas perkembangan ekonomi global, mengingatkan bahwa pertumbuhan tidak bisa dipertukarkan (trade-off) dengan pemerataan. Jika pertumbuhan ekonomi dikehendaki secara berkelanjutan, pertumbuhan itu harus bersifat inklusif, dalam arti bahwa (setidaknya) mayoritas warga negara harus memperoleh keuntungan dari itu.

Pengharapan pada efek penetesan ke bawah sebagai berkah pertumbuhan terbukti tak jalan. Menurut dia, pemerintah bisa meningkatkan pertumbuhan dengan memperluas pemerataan. Kunci dalam mengembangkan pemerataan ini adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah untuk mendorong pemerataan bukan dengan jalan proteksionisme ekonomi, melainkan lebih efektif melalui proteksi sosial berupa pemberian kesempatan pendidikan bagi semua dan jaminan sosial. Ekonomi modern memerlukan individu-individu yang berani mengambil risiko dan untuk itu diperlukan jejaring pengaman sosial lewat penguatan solidaritas sosial sebagai sumber jaminan sosial.

Satu-satunya pelajaran yang kita ambil dari sejarah adalah melupakan sejarah. Dalam kaitan ini, pemerintah cenderung meremehkan jalaran api ketidakpuasan yang mulai menyala di sejumlah titik. Padahal, sejarah Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain bertubi-tubi menunjukkan, manakala pusat kuasa sebagai pusat teladan tak bisa lagi dipercaya rakyat, pembangkangan sipil dan amuk massa akan meledak di wilayah-wilayah pinggiran laksana cincin api pedesaan yang mengepung kota.

Cincin api pemberontakan di pinggiran itu akan bersahutan dengan menguaknya endapan masalah-masalah politik yang selama ini diredam dengan mekanisme pengalihan perhatian. Kasus Bank Century, manipulasi pemilihan umum, dan kasus korupsi lain akan mengemuka kembali seiring dengan pertentangan dan perbedaan kepentingan politik di kalangan elite, terutama menyongsong Pemilu 2014. Tak ayal lagi, tahun 2012 akan menjadi tahun kegaduhan politik.

Pertumbuhan ekonomi akan berjalan di atas lempengan politik yang goyah. Meski para pejabat sering sesumbar membanggakan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pencapaian sesungguhnya masih jauh. Peringkat demokrasi Indonesia dalam Indeks Demokrasi Global 2011, yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit, di urutan ke-60 dari 167 negara yang diteliti, jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan pengingkaran janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme.

Belajar dari masa lalu, tidak ada artinya menutupi kenyataan. Tahun 2012, Indonesia berkejaran dengan waktu. Kita berada di persimpangan jalan menuju konsolidasi demokrasi atau menuju kegagalan demokrasi. Diperlukan kejujuran untuk menyelamatkan negara ini dari kutukan sang waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar