Melupakan
Sejarah Akan Dihukum
Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
Sumber
: KOMPAS, 10 Januari 2012
Manusia adalah anak sang waktu. ”Mereka yang
tak dapat mengingat masa lalu akan dihukum mengulangi kesalahan yang sama.”
Ungkapan George Santayana itu patut dicamkan ketika kita memasuki tahun baru.
Titik kedatangan kebaruan semestinya momen reflektif dari pengalaman
keberangkatan. Waktu adalah guru yang baik, tetapi kita sering terkutuk olehnya
karena tak mau belajar darinya.
Mengiringi letusan kembang api yang berpendar
di udara, pidato para pejabat negara melambungkan pujian tentang pencapaian
prestasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi didengungkan bak mantra seraya dilupakan
penderitaan ekonomi rakyat yang terpantul dalam tuntutan kenaikan gaji
perburuhan, nestapa buruh migran, serta kerusuhan di Papua, Mesuji, dan Bima.
Padahal, jika ada klaim pertumbuhan di satu sisi bersamaan dengan merebaknya ledakan
ketidakpuasan di sisi yang lain, di tengahnya mesti ada kejahatan.
There are three kinds of lies: lies, damned
lies, and statistics (Ada tiga jenis kebohongan: kebohongan, kebohongan
terkutuk, dan statistik). Demikian dikatakan Benjamin Disraeli. Sindiran itu
terasa pas untuk melukiskan statistik rekaan pemerintah yang mengungkap
sebagian kebenaran seraya menutupi kebenaran yang lain. Pertama, apakah
pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6,5 persen mengindikasikan prestasi pemerintah
atau justru menunjukkan kegagalan pemerintah— yang semestinya jika good
governance dijalankan bisa meraih angka pertumbuhan yang jauh lebih tinggi?
Kedua, apakah pertumbuhan ekonomi
merefleksikan sehatnya perekonomian nasional? Siapa yang mendapatkan keuntungan
dari pertumbuhan ekonomi itu? Bukankah 70 persen dari rakyat Indonesia
mengandalkan hidup dari sektor informal? Pendapatan per kapita Indonesia
dinyatakan naik pada kisaran 3.000 dollar Amerika Serikat, tetapi belum lama
berselang aksi buruh yang menuntut kenaikan gaji dari 1.600 dollar AS ke 1.700
dollar AS begitu sulit dipenuhi. Sementara itu, nilai kekayaan 40 konglomerat
Indonesia setara dengan separuh APBN kita.
Kita tidak pernah belajar dari masa lalu.
Pada awal dekade 1990-an, Bank Dunia menyatakan, fundamen ekonomi Indonesia
baik dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun, menjelang akhir
dekade itu, perekonomian Indonesia mengalami krisis akut, sang mesiah Bank
Dunia tak bisa menolong dan sabuk pengamannya justru ketahanan sektor informal
sebagai juru selamat sejati.
Anehnya, hari ini kita mengulangi kebodohan
yang sama dengan terus-menerus merayakan pertumbuhan seraya mengabaikan
pemerataan. Joseph E Stiglitz, berdasarkan pengamatannya atas perkembangan
ekonomi global, mengingatkan bahwa pertumbuhan tidak bisa dipertukarkan (trade-off)
dengan pemerataan. Jika pertumbuhan ekonomi dikehendaki secara berkelanjutan,
pertumbuhan itu harus bersifat inklusif, dalam arti bahwa (setidaknya)
mayoritas warga negara harus memperoleh keuntungan dari itu.
Pengharapan pada efek penetesan ke bawah
sebagai berkah pertumbuhan terbukti tak jalan. Menurut dia, pemerintah bisa
meningkatkan pertumbuhan dengan memperluas pemerataan. Kunci dalam
mengembangkan pemerataan ini adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah untuk mendorong pemerataan bukan dengan
jalan proteksionisme ekonomi, melainkan lebih efektif melalui proteksi sosial
berupa pemberian kesempatan pendidikan bagi semua dan jaminan sosial. Ekonomi
modern memerlukan individu-individu yang berani mengambil risiko dan untuk itu
diperlukan jejaring pengaman sosial lewat penguatan solidaritas sosial sebagai
sumber jaminan sosial.
Satu-satunya pelajaran yang kita ambil dari
sejarah adalah melupakan sejarah. Dalam kaitan ini, pemerintah cenderung
meremehkan jalaran api ketidakpuasan yang mulai menyala di sejumlah titik.
Padahal, sejarah Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain bertubi-tubi
menunjukkan, manakala pusat kuasa sebagai pusat teladan tak bisa lagi dipercaya
rakyat, pembangkangan sipil dan amuk massa akan meledak di wilayah-wilayah
pinggiran laksana cincin api pedesaan yang mengepung kota.
Cincin api pemberontakan di pinggiran itu
akan bersahutan dengan menguaknya endapan masalah-masalah politik yang selama
ini diredam dengan mekanisme pengalihan perhatian. Kasus Bank Century,
manipulasi pemilihan umum, dan kasus korupsi lain akan mengemuka kembali
seiring dengan pertentangan dan perbedaan kepentingan politik di kalangan
elite, terutama menyongsong Pemilu 2014. Tak ayal lagi, tahun 2012 akan menjadi
tahun kegaduhan politik.
Pertumbuhan ekonomi akan berjalan di atas
lempengan politik yang goyah. Meski para pejabat sering sesumbar membanggakan
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pencapaian
sesungguhnya masih jauh. Peringkat demokrasi Indonesia dalam Indeks Demokrasi
Global 2011, yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit, di urutan ke-60 dari
167 negara yang diteliti, jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59),
Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk dalam kategori flawed
democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, pemilu yang tidak
bersih, pemerintahan yang korup dan pengingkaran janji-janji pemilu, serta
keterancaman pluralisme.
Belajar dari masa lalu, tidak ada artinya
menutupi kenyataan. Tahun 2012, Indonesia berkejaran dengan waktu. Kita berada
di persimpangan jalan menuju konsolidasi demokrasi atau menuju kegagalan
demokrasi. Diperlukan kejujuran untuk menyelamatkan negara ini dari kutukan
sang waktu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar