Permainan
Bahasa dalam Korupsi
Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
Sumber
: KOMPAS, 28
Januari 2012
Korupsi merupakan praktik pencurian uang
negara yang sejak awal dilakukan penuh kesengajaan oleh para pelakunya. Untuk
membuktikan fenomena ini, kita dapat melacaknya dari penggunaan bahasa yang
dijalankan oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
Pilihan kata atau diksi dan simbol-simbol
yang dipakai untuk menciptakan sandi tertentu membuktikan asumsi ini. Jadi,
korupsi tidak lagi sekadar strategi bagaimana menggelembungkan dana (mark up)
untuk bisa menghasilkan keuntungan pribadi, tetapi juga penuh tipu daya agar
tidak terjerat hukum. Inilah yang kemudian melibatkan permainan bahasa yang
tidak mudah dicerna dan dipahami oleh nalar awam.
Sebagai suatu permainan bahasa, praktik
kebahasaan yang terdapat pada tindakan korupsi tidak mudah dipecahkan oleh
bahasa hukum, apalagi bahasa sehari-hari manusia biasa. Bahasa memang sebagai
perangkat untuk berkomunikasi. Namun, karena permainan bahasa dalam aksi-aksi
korupsi penuh dengan simbolisasi dan untaian sandi, komunikasi yang terjadi di
dalamnya bersifat begitu terbatas. Permainan bahasa dalam aksi-aksi korupsi
bukan dimaksudkan untuk menyampaikan makna lugas (denotatif), melainkan arti
kias (konotatif) yang sifatnya berlapis-lapis.
Untuk dapat mengerti permainan bahasa
korupsi, kita harus memahami konsep language game yang dikemukakan Ludwig
Wittgenstein (1889-1951). Hans-Johann Glock dalam A Wittgenstein Dictionary
(2004) menjelaskan konsep permainan bahasa Wittgenstein itu sebagai berikut:
(1) sebagaimana halnya sebuah permainan, bahasa memiliki aturan-aturan yang
membentuknya, yakni tata bahasa; (2) makna dari sebuah kata tidak merujuk pada
obyek tertentu, tetapi ditentukan aturan-aturan yang meregulasikannya; dan (3)
sebuah maksud tidak dapat beroperasi apabila tidak melibatkan sistem aturan ke
dalam permainan itu.
Penuh
Kerahasiaan
Ketika berbicara aturan atau sistem kebahasaan,
para aktor yang terlibat dalam praktik korupsi pasti menyadari benar posisi
politik dan status sosial mereka. Tata bahasa yang digunakan, subyek dan obyek
yang ditargetkan, demikian juga maksud yang hendak disampaikan sengaja dikemas
dalam permainan penuh kerahasiaan. Hal ini dijalankan supaya permainan korupsi
itu bisa beroperasi secara lancar dan siapa saja yang terlibat dalam aksi
pencurian anggaran negara tersebut menjadi tidak mudah diusut.
Kenyataan itu dapat disimak apabila kita
mengikuti persidangan Muhammad Nazaruddin. Berulang kali istilah ”ketua besar”
dan ”bos besar” menjadi sandi yang mengundang teka-teki. Siapakah sebenarnya
mereka itu? Apakah mereka yang duduk sebagai ketua umum partai tertentu?
Ataukah mereka yang dimaksud itu berada dalam jabatan sebagai ketua badan
tertentu pada lembaga wakil rakyat? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab karena
kalangan aktor korupsi memang bermaksud menyembunyikan identitas asli
pihak-pihak yang berposisi sebagai pejabat politik yang dikenali publik.
Tidak hanya sandi yang serba menyembunyikan
persona tertentu yang dilibatkan dalam bahasa korupsi. Bahkan, untuk merujuk
uang suap atau fee sebagai imbal jasa, aktor-aktor korupsi juga menggunakan
simbolisasi yang spesifik. Dari situlah lantas kita begitu akrab dengan sandi
”apel malang” untuk sogokan berupa mata uang rupiah dan ”apel washington” untuk
suap berwujud mata uang dollar Amerika Serikat. Kata-kata yang dimaksud untuk
memberi sogokan pun bisa diganti menjadi ”semangka” atau ”pelumas”. Nomenklatur
buah-buahan dan material lubrikasi tertera pula di sana.
Tidak
Terkesan Vulgar
Mindo Rosalina Manulang, seorang saksi untuk
terdakwa Nazaruddin dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games, menuturkan bahwa
kata-kata ”apel malang”, ”apel washington”, ”semangka”, dan ”pelumas” sengaja
dipakai agar tidak terkesan vulgar. Hal ini, sekali lagi, menunjukkan korupsi
merupakan tindakan yang demikian disadari dan telah dirancang secara matang
oleh para pelakunya. Meminta uang atau menuntut suap dianggap sebagai diksi yang
kasar. Untuk menggantikan kekasaran itu, dimunculkanlah berbagai kata yang
dinilai lebih sopan dan terhormat.
Hanya saja harus dicatat bahwa kevulgaran
kata dalam praktik korupsi tidak sama dengan kekasaran tuturan dalam
percakapan. Dalam tindak tutur, kata-kata yang dipakai diperhitungkan supaya
menciptakan kesan penuh kesopanan. Gejala itu lazim disebut sebagai eufemisme.
Sementara dalam korupsi, kata-kata yang terkesan vulgar sengaja dihindarkan
tidak sekadar untuk menyelubungi aksi-aksi kekotoran yang disadari, tetapi juga
untuk menyimpan kerahasiaan. Jadi, bahasa korupsi memang menggelontorkan
eufemisme supaya memberikan impresi kesantunan. Namun, hal yang lebih penting
adalah menciptakan sandi-sandi yang sulit dilacak setiap orang.
Praktik-praktik berbahasa itu menunjukkan
bahwa para aktor korupsi berada dalam kesadaran yang mutlak dalam menjalankan
perbuatan jahatnya. Karena para aktor tersebut melakukan tindakan kriminalitas
tidak sendirian, tetapi berkarakter gerombolan, otomatis mereka juga memahami
benar dirinya sebagai anggota dari kelompok pelaku kejahatan. Hanya mereka yang
menjadi anggota dari kumpulan penjahat itu saja yang mampu mengartikan
sandi-sandi tertentu. Dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games itu pun muncul
kata sandi ”instruktur kebugaran” dan ”pusat kebugaran”.
Menjadi Argot
Dalam studi bahasa rahasia, pemakaian
kosakata tertentu yang kuyup dengan maksud menyembunyikan dikenal sebagai
argot. Secara konseptual, demikian Barry J Blake (Secret Language: Codes,
Tricks, Spies, Thieves, and Symbols, 2010) menjelaskan, argot dapat diartikan
sebagai kosakata nonstandar dan dipakai sebuah kelompok yang terikat oleh
kepentingan bersama akibat isolasi ataupun perlawanan mereka terhadap otoritas.
Secara tradisional, argot diasosiasikan dengan mereka yang hidup di luar hukum:
pencuri, perampok, pencopet, dan sejenisnya.
Tampaknya, argot tidak hanya bergulir pada
kalangan penjahat jalanan. Para pelaku korupsi juga menggunakan sandi-sandi
kebahasaan untuk mengoperasikan kehendak busuk mereka. Tentu saja, aneka
kosakata yang dikerahkan di dalamnya terkesan lebih halus, elitis, dan penuh
enigma. Pasti mereka sadar bahwa tindakan kejahatan mereka akan terendus aparat
pemberantas korupsi. Maka, mereka pun bersiap dengan sandi-sandi kejahatan itu
karena apabila diungkap, sejumlah pihak yang terlibat dalam praktik
kriminalitas tersebut akan dengan lihai mengingkarinya.
Apakah akibat permainan bahasa korupsi yang
penuh sandi itu akan membuat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sulit
menetapkan tersangka baru dalam kasus wisma atlet SEA Games? Kita tunggu saja. ●
capek mah liat para pejabat ini malah korupsi semua, bukannya memperjuangkan amanah yg diberi rakyat. yg parahnya lagi waktu itu ada DPR yg ketangkap nonton video Bokep Indonesia saat rapat. ckckck, biarlah Tuhan yang menghukum mereka semuanya.
BalasHapus