Watak
Sipil Kepolisian
Asep Purnama Bahtiar, KEPALA PUSAT STUDI MUHAMMADIYAH DAN PERUBAHAN
SOSIAL POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Sumber
: KORAN TEMPO, 27
Januari 2012
Akhir
2011 dan awal 2012 merupakan masa yang belum bisa lepas dari torehan warna
buram bagi kepolisian di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kebijakan
kepolisian dan tindakan di lapangan oleh aparatnya, seperti dalam menangani
massa demonstrasi atau penanganan dugaan kasus kriminal, yang berekses pada
tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Sesuatu yang tidak
diharapkan banyak pihak ketika reformasi kepolisian menjadi agenda yang tak
terelakkan dalam proses konsolidasi demokrasi yang sedang diperjuangkan bangsa
ini.
Banyak
kasus yang bisa dideretkan terkait dengan masalah tersebut di atas. Sebagai
contoh, kasus Mesuji (Lampung) yang memakan korban jiwa; bentrok antara
masyarakat pendemo dan aparat kepolisian di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara
Barat, yang menewaskan dua orang dan belasan lainnya luka-luka; kasus
pemidanaan Anjar Adreas Lagaronda (AAL), seorang remaja yang dituduh mencuri
sandal seorang anggota kepolisian di Palu; tewasnya dua belia kakak-adik di
tahanan Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat, merupakan sebagian kasus
yang mencuatkan isu HAM dan sekaligus memojokkan aparat kepolisian dan
institusi Kepolisian RI.
Citra
polisi dan cita-cita reformasi di kepolisian pun kembali dipertanyakan oleh
berbagai kalangan, ketika berbagai kasus kekerasan yang mencederai nilai-nilai
kemanusiaan dan melanggar HAM itu kian mencuat ke publik. Karena itu, tidak
berlebihan jika seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional, Novel Ali, menilai
reformasi internal Polri selama 10 tahun ini masih dinilai gagal. Soalnya,
hingga kini masih marak kekerasan yang terjadi dan dilakukan oleh polisi.
Kekerasan yang dilakukan polisi merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang.
Kultur perilaku polisi masih sangat menyedihkan (Koran Tempo, 12 Januari
2012).
Problema
HAM
Pada
dasarnya, masalah HAM bukan hanya terkait dengan Polri, tapi menjadi
problematik dan hiruk-pikuk bahkan bisa lepas konteks ketika kasus yang
dianggap sebagai pelanggaran HAM itu melibatkan atau berkaitan dengan Polri.
Pandangan seperti ini bisa dianggap wajar, karena asumsi masyarakat luas
terbingkai dalam anggapan bahwa Polri adalah pelindung dan pengayom rakyat.
Maka menjadi pertanyaan besar ketika terjadi tindakan yang merugikan rakyat
atau melanggar hak asasi mereka.
Tugas
perlindungan HAM oleh Polri itu tidak tepat kalau dianggap sebagai sebuah
dilema. Penggunaan istilah "dilema" paling tidak menyiratkan dan
menimbulkan implikasi pada dua hal. Pertama, seolah Polri tidak mempunyai
alternatif atau tidak mau berusaha optimal mencari pilihan lain yang lebih baik
dalam menangani masalah. Bukankah dilema itu berarti situasi sulit yang hanya
menyediakan dua pilihan, kalau tidak A, maka B.
Kedua,
bagi Polri, khususnya ketika "dilema" menjadi bagian dari mindset-nya,
hal itu akan menggiring pada cara-cara penyelesaian masalah atau kasus,
umpamanya yang melibatkan rakyat atau masyarakat luas, dengan cara-cara
berpikir jangka pendek, proforma, manipulatif, dan bisa jadi melakukan tindakan
kekerasan. Sudah barang tentu mindset dan modus penanganan masalah ini
akan kontraproduktif dengan upaya reformasi di tubuh Polri.
Menurut
saya, perlindungan HAM oleh Polri itu merupakan problema. Penggunaan istilah
"problema", selain menunjukkan sikap dan pandangan optimistis, selalu
memberi harapan bahwa hal yang perlu diselesaikan atau kesenjangan antara
harapan dan kenyataan itu masih bisa diikhtiarkan solusinya dengan berbagai
cara dan beragam pendekatan yang lebih manusiawi dan pro-HAM.
Kerangka
berpikir tersebut akan membentuk cara bersikap dan bertindak aparat kepolisian
yang penuh perhitungan dan memperhatikan betul hakikat masalah yang sedang
ditanganinya. Penanganan masalah kemudian akan selalu menghindari atau
meminimalkan risiko pelanggaran HAM, sehingga solusi yang diambil bukan semata
legal-formal, tapi juga mempertimbangkan hakikat masalah dan nilai-nilai
kemanusiaan individu ataupun masyarakat.
Dengan
mindset atau paradigma seperti itu, tidak perlu terjadi kasus seperti
yang menimpa AAL atau pemerkaraan dan pemidanaan kasus-kasus sepele lainnya
yang sesungguhnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan di antara kedua belah
pihak yang bersengketa. Penegakan hukum yang menjadi salah satu fungsi Polri
jangan sampai menafikan fungsi lainnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan
masyarakat.
Berwatak
Sipil
Agenda
besar pemerintah sebagai bagian dari amanat dan cita-cita reformasi dalam
penegakan dan perlindungan HAM harus gayung bersambut dengan cara
berpikir-bersikap-bertindak Polri. Dalam kondisi negara-bangsa yang sedang
ranum dan sekaligus rawan proses demokratisasi dan penguatan masyarakat
madaninya, mindset dan paradigma Polri seperti itu akan menjadi saham
sejarah yang besar bagi penegakan HAM di Indonesia.
Tidak
disangsikan lagi bahwa perlindungan HAM menjadi tuntutan yang tidak bisa
dielakkan oleh Polri dalam menunaikan fungsi dan tugasnya. Keniscayaan ini
bukan hanya menjadi obligasi moral Polri sesuai dengan amanat konstitusi dan
undang-undang (lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Bab I Bab IV, dan Bab III Pasal 14 Ayat 1i), tapi juga
merupakan pilihan jalan yang bisa sejalur dengan cita-cita reformasi dan
demokratisasi serta segerak dengan visi masyarakat madani.
Diakui
memang tidak mudah melaksanakan perlindungan HAM dalam menjalankan fungsi dan
tugas kepolisian. Namun di situlah arena untuk membuktikan komitmen reformasi
Polri yang dapat memperbaiki citra buruk di mata masyarakat sebagai dampak dari
ekses tindakan-tindakan para oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dengan
demikian, fungsi dan tugas pokok Polri harus betul-betul diperankan dalam
semangat pelayanan atau berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sebab, jika
hal ini tidak dilakukan, persepsi masyarakat terhadap Polri akan selalu bernada
sumbang dan penuh kecurigaan sebagai alat pemerintah atau agen negara yang
tidak memihak serta mengayomi masyarakat. Di sinilah keterbukaan dan keadaban
yang dikembangkan bersama dalam pola hubungan antara Polri dan masyarakat akan
memperoleh dukungan positif juga dari semangat kehidupan masyarakat madani,
setidaknya dalam menciptakan polisi yang berwatak sipil sebagai salah satu
tujuan reformasi kepolisian.
Menurut
Satjipto Rahardjo (2002), polisi yang berwatak sipil bisa dikatakan sebagai
suatu cara perpolisian yang menempatkan manusia atau masyarakat pada titik
pusat perhatian. Cara-cara polisi melaksanakan pekerjaannya tidak boleh
menyebabkan manusia atau masyarakat menjadi kehilangan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Polisi yang berwatak sipil dapat dikatakan pula menjadi polisi
yang menjalankan tugasnya tidak dengan menggunakan cara yang pendek dan
gampang, seperti memaksa dan menggunakan kekerasan, tapi bersedia mendengarkan
dan mencari tahu hakikat dari penderitaan manusia.
Menurut penulis, watak polisi seperti ini
akan menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam membangun kepolisian yang
profesional sesuai dengan tuntutan reformasi dan harapan publik serta supportive
bagi penegakan HAM. Hal ini semakin menunjukkan arah kebijakan reformasi
kepolisian yang sudah dicanangkan pemerintah sejak 2000, dan Polri wajib
bersikap proaktif serta committed dalam mengimplementasikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar