BUMN
Menuju “Majapahit in Corporation”
Rahmat Pramulya, DOSEN
DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,
MEULABOH, ACEH BARAT
Sumber
: SINAR HARAPAN, 26
Januari 2012
Nasib BUMN-BUMN kita tak sedikit yang masih
terseok-seok. Industri-industri strategis yang berstatus badan usaha milik
negara (BUMN) satu demi satu sekarat. Beberapa di antaranya secara teknis sudah
bangkrut. BUMN-BUMN ini menghadapi permasalahan akut.
Menneg BUMN Dahlan Iskan menargetkan akuisisi
(pengambilalihan) 15 perusahaan BUMN yang tengah “sekarat” selesai pada April
2012. Tujuh perusahaan, yang disebut CEO Jawa Pos Group sebagai
"duafa" itu masing-masing PT Energy Management Indonesia (EMI), PT
Balai Pustaka, Perum Produksi Film Negara (PFN), PT Industri Sandang, PT Survey
Udara Penas, PT Sarana Karya, dan PT Pradnya Paramita.
Akuisisi dilakukan dalam rangka menyehatkan
perusahaan. Penyehatan BUMN juga ditempuh dengan cara privatisasi. Sekadar
contoh, tiga BUMN yaitu PT Primissima, PT Kertas Padalarang, dan PT Sarana
Karya sudah disiapkan untuk diprivatisasi tahun ini.
Selama ini BUMN kita digambarkan sebagai
salah satu simbol ketidakefisienan dalam pemanfaatan sumber daya yang ada,
bentuk pelaku ekonomi yang tidak mampu mandiri, dan banyak berlindung di bawah
fasilitas pemerintah.
Hal inilah yang menjadi alasan pemerintah
untuk melakukan kebijakan privatisasi. Bisa kita lihat dari agenda rutin
pemerintah untuk menjadikan privatisasi sebagai sumber pendapatan negara.
Setelah reformasi, bisa dibilang Indonesia
ini hancur. Ibaratnya rumah, semua tembok yang dibangun dirobohkan kehadiran
IMF. Ketika kita mendapat utang dari IMF, kita harus tunduk pada apa yang
namanya Structural Adjustment Program. Harus ada privatisasi, harus ada
deregulasi, free trade, dan sebagainya.
Kebijakan investasi menjadi tidak jelas.
Indonesia telah menjadi sinking state. Privatisasi, misalnya, membuat kita tak
lagi mempunyai pendapatan dari BUMN. Lalu dengan bermacam kebijakan free trade,
Indonesia tak bisa mengendalikan lagi pendapatan dari bea impor.
Dulu kita masih mempunyai pendapatan dari bea
impor. Sekarang, dengan bea impor harus diturunkan, kita mengalami pengurangan keuangan
drastis. Semua barang boleh masuk, termasuk dari China. Beras dari Vietnam
boleh masuk. Exxon, Freeport, Newmont, dan Mossanto juga masuk.
Belajar dari pengalaman, privatisasi aset
strategis yang mengharuskan adanya persaingan antarpeminat asing dan melibatkan
modal yang sangat banyak memungkinkan terjadinya konspirasi tingkat tinggi
antara pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan perusahan asing sebagai
pihak yang memiliki kepentingan.
Contohnya kasus Indosat yang melibatkan
Temasek, perusahaan asing asal Singapura. Juga kasus Krakatau Steel yang
menjadi ajang rebutan: Nanjing & Iron Steel Co Ltd dan Bao Steel (Cina),
Nippon Steel (Jepang), Arcelor Mittal, Tata Steel, dan Essar Group (India),
serta Bluescope Steel Ltd (Australia).
Jika rencana-rencana privatisasi itu
terlaksana, ketidakseriusan pemerintah Indonesia untuk melindungi aset
strategisnya semakin terbukti. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan asing.
Pemerintah tidak pernah memberikan solusi atas permasalahan BUMN-nya selain memprivatisasinya.
Mengapa pemerintah tidak memilih transformasi BUMN?
Transformasi BUMN
Transformasi BUMN diwujudkan melalui
perluasan kepemilikan dan kontrol BUMN oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini
dilakukan melalui sistem perencanaan yang melibatkan pemerintah dan stakeholder
BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) lewat listing di
pasar modal.
Ini dilakukan melalui pola redistribusi saham
kepemilikan terencana kepada serikat pekerja, konsumen, pemerintah daerah,
BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya (Santosa, 2007).
Perlu digarisbawahi bahwa asing telah
mengincar Krakatau Steel sejak Menneg BUMN dipegang Tanri Abeng kemudian
ditangguhkan sementara di masa Laksamana Sukardi.
Kemudian masuk daftar BUMN yang akan
diprivatisasi lagi di era Sugiharto dan baru mendapatkan “restu” di masa
Kementerian BUMN yang dipimpin Sofyan Jalil. Berarti 10 tahun Krakatau
Steel di bawah incaran asing.
Lain Indonesia lain pula dengan Singapura.
Singapura mampu menjadikan BUMN-nya menjadi sumber
utama pendapatan dan pembiayaan negaranya,
tanpa harus merugikan rakyatnya, kehilangan aset dalam negerinya, dan
mengorbankan nasionalismenya dengan membiarkan perekonomiannya dimiliki dan
dikuasasi asing. Tidak berlebihan jika pengamat ekonomi menjadikan Temasek
menjadi salah satu simbol bangkitnya kapitalisme negara.
Pun demikian dengan Malaysia. Petronas yang
terus menjadi milik pemerintah Malaysia sepenuhnya dibentuk dalam 1970-an yang
bertujuan membangun sumber minyak dan gas dalam negara Malaysia.
Dalam proses selanjutnya pemerintah berhasil
membuatnya menjadi badan korporat yang terkaya dalam negara. Petronas yang kaya
dan bertugas untuk tujuan tertentu, termasuk menjadi pemegang saham terbesar
Proton selepas ia mendapat pemilikan lebih kurang 30 persen.
Bandingkan dengan yang kita miliki
(Pertamina). Pertamina ternyata hingga hari ini tidak bisa mengembangkan
jangkauan bisnisnya ke luar seperti Petronas. Hal ini disebabkan sasaran
Pertamina adalah integrated oil company karena berusaha dari hulu sampai hilir.
Tapi sasaran ini justru tidak kesampaian.
Sementara Petronas keuntungannya sebagian
besar digunakan untuk membesarkan Petronas itu sendiri. Dalam Pertamina,
keuntungannya sebagian besar diambil pemerintah. Di sisi lain pemerintah
Indonesia tidak mengembalikan lagi penghasilan dari Pertamina.
Sebagai contoh lainnya, Petronas kini juga
memiliki sekitar 2.000 SPBU. Namun entah mengapa ternyata Pertamina hanya
mempunyai tujuh buah. Kapal-kapal LNG juga dimiliki sendiri oleh Petronas,
sedangkan Indonesia dikerjakan swasta, padahal logikanya perusahaan minyak
seharusnya memiliki kapal sendiri.
Indonesia pernah membeli kapal tanker raksasa
(Very Large Cruir Carrier), tetapi belum lama kemudian langsung dijual kembali,
yakni pada era Megawati.
Sejatinya perusahaan BUMN mempunyai potensi
untuk menjadi kekuatan regional maupun internasional dengan melakukan ekspansi
ke luar negeri.
Meminjam istilah Ismed Hasan Putro, BUMN kita
mestinya bisa merujuk kepada apa yang pernah dilakukan Kerajaan Majapahit dalam
membesarkan pengaruhnya dengan melakukan ekspansi hingga luar batas Nusantara.
Yah, “Majapahit in Corporation”.
Menjadikan perusahaan dalam negeri kuat
dengan memegang teguh profesionalisme dan disiplin yang tinggi adalah strategi
awal membangun kemandirian ekonomi dan menjadikan kita penguasa di negara
sendiri. Tidakkah kita sanggup melakukan ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar