Jumat, 27 Januari 2012

BUMN Menuju “Majapahit in Corporation”


BUMN Menuju “Majapahit in Corporation”
Rahmat Pramulya, DOSEN DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,
MEULABOH, ACEH BARAT
Sumber : SINAR HARAPAN, 26 Januari 2012


Nasib BUMN-BUMN kita tak sedikit yang masih terseok-seok. Industri-industri strategis yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN) satu demi satu sekarat. Beberapa di antaranya secara teknis sudah bangkrut. BUMN-BUMN ini menghadapi permasalahan akut. 

Menneg BUMN Dahlan Iskan menargetkan akuisisi (pengambilalihan) 15 perusahaan BUMN yang tengah “sekarat” selesai pada April 2012. Tujuh perusahaan, yang disebut CEO Jawa Pos Group sebagai "duafa" itu masing-masing PT Energy Management Indonesia (EMI), PT Balai Pustaka, Perum Produksi Film Negara (PFN), PT Industri Sandang, PT Survey Udara Penas, PT Sarana Karya, dan PT Pradnya Paramita.

Akuisisi dilakukan dalam rangka menyehatkan perusahaan. Penyehatan BUMN juga ditempuh dengan cara privatisasi. Sekadar contoh, tiga BUMN yaitu PT Primissima, PT Kertas Padalarang, dan PT Sarana Karya sudah disiapkan untuk diprivatisasi tahun ini.
Selama ini BUMN kita digambarkan sebagai salah satu simbol ketidakefisienan dalam pemanfaatan sumber daya yang ada, bentuk pelaku ekonomi yang tidak mampu mandiri, dan banyak berlindung di bawah fasilitas pemerintah.

Hal inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk melakukan kebijakan privatisasi. Bisa kita lihat dari agenda rutin pemerintah untuk menjadikan privatisasi sebagai sumber pendapatan negara.

Setelah reformasi, bisa dibilang Indonesia ini hancur. Ibaratnya rumah, semua tembok yang dibangun dirobohkan kehadiran IMF. Ketika kita mendapat utang dari IMF, kita harus tunduk pada apa yang namanya Structural Adjustment Program. Harus ada privatisasi, harus ada deregulasi, free trade, dan sebagainya. 

Kebijakan investasi menjadi tidak jelas. Indonesia telah menjadi sinking state. Privatisasi, misalnya, membuat kita tak lagi mempunyai pendapatan dari BUMN. Lalu dengan bermacam kebijakan free trade, Indonesia tak bisa mengendalikan lagi pendapatan dari bea impor.

Dulu kita masih mempunyai pendapatan dari bea impor. Sekarang, dengan bea impor harus diturunkan, kita mengalami pengurangan keuangan drastis. Semua barang boleh masuk, termasuk dari China. Beras dari Vietnam boleh masuk. Exxon, Freeport, Newmont, dan Mossanto juga masuk. 

Belajar dari pengalaman, privatisasi aset strategis yang mengharuskan adanya persaingan antarpeminat asing dan melibatkan modal yang sangat banyak memungkinkan terjadinya konspirasi tingkat tinggi antara pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan perusahan asing sebagai pihak yang memiliki kepentingan. 

Contohnya kasus Indosat yang melibatkan Temasek, perusahaan asing asal Singapura. Juga kasus Krakatau Steel yang menjadi ajang rebutan: Nanjing & Iron Steel Co Ltd dan Bao Steel (Cina), Nippon Steel (Jepang), Arcelor Mittal, Tata Steel, dan Essar Group (India), serta Bluescope Steel Ltd (Australia). 

Jika rencana-rencana privatisasi itu terlaksana, ketidakseriusan pemerintah Indonesia untuk melindungi aset strategisnya semakin terbukti. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan asing. Pemerintah tidak pernah memberikan solusi atas permasalahan BUMN-nya selain memprivatisasinya. Mengapa pemerintah tidak memilih transformasi BUMN?

Transformasi BUMN 

Transformasi BUMN diwujudkan melalui perluasan kepemilikan dan kontrol BUMN oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini dilakukan melalui sistem perencanaan yang melibatkan pemerintah dan stakeholder BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) lewat listing di pasar modal.

Ini dilakukan melalui pola redistribusi saham kepemilikan terencana kepada serikat pekerja, konsumen, pemerintah daerah, BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya (Santosa, 2007).

Perlu digarisbawahi bahwa asing telah mengincar Krakatau Steel sejak Menneg BUMN dipegang Tanri Abeng kemudian ditangguhkan sementara di masa Laksamana Sukardi.
Kemudian masuk daftar BUMN yang akan diprivatisasi lagi di era Sugiharto dan baru mendapatkan “restu” di masa Kementerian BUMN yang dipimpin  Sofyan Jalil. Berarti 10 tahun Krakatau Steel di bawah incaran asing.

Lain Indonesia lain pula dengan Singapura. Singapura mampu menjadikan BUMN-nya menjadi sumber

utama pendapatan dan pembiayaan negaranya, tanpa harus merugikan rakyatnya, kehilangan aset dalam negerinya, dan mengorbankan nasionalismenya dengan membiarkan perekonomiannya dimiliki dan dikuasasi asing. Tidak berlebihan jika pengamat ekonomi menjadikan Temasek menjadi salah satu simbol bangkitnya kapitalisme negara.

Pun demikian dengan Malaysia. Petronas yang terus menjadi milik pemerintah Malaysia sepenuhnya dibentuk dalam 1970-an yang bertujuan membangun sumber minyak dan gas dalam negara Malaysia.

Dalam proses selanjutnya pemerintah berhasil membuatnya menjadi badan korporat yang terkaya dalam negara. Petronas yang kaya dan bertugas untuk tujuan tertentu, termasuk menjadi pemegang saham terbesar Proton selepas ia mendapat pemilikan lebih kurang 30 persen.

Bandingkan dengan yang kita miliki (Pertamina). Pertamina ternyata hingga hari ini tidak bisa mengembangkan jangkauan bisnisnya ke luar seperti Petronas. Hal ini disebabkan sasaran Pertamina adalah integrated oil company karena berusaha dari hulu sampai hilir. Tapi sasaran ini justru tidak kesampaian. 

Sementara Petronas keuntungannya sebagian besar digunakan untuk membesarkan Petronas itu sendiri. Dalam Pertamina, keuntungannya sebagian besar diambil pemerintah. Di sisi lain pemerintah Indonesia tidak mengembalikan lagi penghasilan dari Pertamina.

Sebagai contoh lainnya, Petronas kini juga memiliki sekitar 2.000 SPBU. Namun entah mengapa ternyata Pertamina hanya mempunyai tujuh buah. Kapal-kapal LNG juga dimiliki sendiri oleh Petronas, sedangkan Indonesia dikerjakan swasta, padahal logikanya perusahaan minyak seharusnya memiliki kapal sendiri.

Indonesia pernah membeli kapal tanker raksasa (Very Large Cruir Carrier), tetapi belum lama kemudian langsung dijual kembali, yakni pada era Megawati. 

Sejatinya perusahaan BUMN mempunyai potensi untuk menjadi kekuatan regional maupun internasional dengan melakukan ekspansi ke luar negeri.

Meminjam istilah Ismed Hasan Putro, BUMN kita mestinya bisa merujuk kepada apa yang pernah dilakukan Kerajaan Majapahit dalam membesarkan pengaruhnya dengan melakukan ekspansi hingga luar batas Nusantara. Yah, “Majapahit in Corporation”.
Menjadikan perusahaan dalam negeri kuat dengan memegang teguh profesionalisme dan disiplin yang tinggi adalah strategi awal membangun kemandirian ekonomi dan menjadikan kita penguasa di negara sendiri. Tidakkah kita sanggup melakukan ini?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar