“Bravo”
KPK!
Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 28
Januari 2012
Bravo
untuk KPK yang mengawali debut pemberantasan korupsi high profile
dengan menetapkan MSG sebagai tersangka skandal cek perjalanan. Ini momentum
baru yang idealnya diikuti penetapan tersangka-tersangka korupsi lain, terutama
korupsi wisma atlet dan Hambalang.
Salut untuk MSG yang menurut pengakuannya
sendiri telah memperlihatkan kerja sama yang membantu tugas pengusutan sejak ia
berstatus sebagai saksi pada 2008. Tercatat cuma dua kali MSG tak tepat waktu
menghadiri persidangan dan itu pun karena masalah jadwal semata.
Perilaku MSG yang bersikap kooperatif selama
proses persidangan kontras dengan yang ditunjukkan mereka yang menjalani
pemeriksaan. Hal-hal kecil tetapi penting ini yang menimbulkan rasa gerah dan
marah masyarakat seolah orang-orang kuat bisa above the law.
Semoga saja perilaku MSG menjadi pintu masuk
KPK agar tidak bersikap diskriminatif dalam memperlakukan calon-calon tersangka
baru. Keraguan masyarakat terhadap tekad pimpinan KPK—terutama Ketua KPK
Abraham Samad—untuk sementara agak sirna.
Dalam obrolan beberapa pekan lalu dengan
Ketua KPK, ada kesan sikap serius seorang pengacara muda yang masih mempunyai
idealisme tinggi untuk membasmi korupsi. Dan, semestinya masyarakat lebih aktif
dan konkret lagi memperlihatkan dukungan moral dan materiil kepada Ketua KPK.
Memang prinsip kepemimpinan KPK primus inter
pares yang mengedepankan kolegialisme. Akan tetapi, peranan dan tanggung jawab
Ketua KPK jauh lebih besar daripada empat Wakil Ketua KPK karena berjalan
paling depan sekaligus menggembala dari belakang.
Kurang etis jika keempat Wakil Ketua KPK
bersembunyi di balik punggung Ketua KPK. Apa pun agenda dan siasat pimpinan KPK
cepat atau lambat pasti akan diketahui publik.
Tentunya harus diakui pula masih ada saja
berbagai hambatan politis dan psikologis karena sosok, tugas, dan tanggung
jawab Ketua KPK ibaratnya ”melebihi kemampuan manusia biasa”. Di lain pihak ada
ganjaran moral, sosial, dan politik yang bisa dipetik Ketua KPK pada masa
mendatang.
Tak mustahil Ketua KPK ditinggalkan
teman-teman, ketambahan musuh, dan kehilangan waktu untuk keluarga. Namun,
seperti kata pemberantas kejahatan mafia di Amerika Serikat, Eliot Ness, ”Never
stop fighting till the fight is done.”
Setiap langkah pimpinan KPK terus disorot
masyarakat yang semakin gundah dengan korupsi yang semakin merajalela. Tak ada
manfaatnya bagi pimpinan KPK berjalan sendiri-sendiri sehingga melahirkan kesan
terjadinya perpecahan internal di antara kelima ketua/wakil ketua.
Tidak boleh ada kesan, misalnya, penetapan
setiap tersangka didasarkan pada skor 4-1 atau 3-2 untuk kemenangan tersangka
koruptor. Sudah seharusnya skor telak selalu 5-0 untuk kemenangan pembasmian
korupsi!
Tuntutan pemberantasan korupsi
setuntas-tuntasnya kini telah menjadi public domain yang dilampiaskan lewat
obrolan pribadi, media sosial, ataupun acara-acara interaktif lewat mainstream
media. Sementara tingkat kepercayaan terhadap aparat penegak hukum terus
melorot.
Semua orang yang punya hati merasa berhak
tahu dari pemberitaan setiap hari siapa-siapa saja yang menilap uang rakyat.
Publik sudah merebut opini, prakarsa, dan
kendali pemberantasan korupsi dari tangan aparat hukum. Sebagian besar publik
telah lama menilai skeptis dengan janji-janji pembasmian korupsi yang diucapkan
pemimpin, pejabat, dan politisi.
Rasa skeptis itu malah sudah berubah dengan
kemarahan yang dilampiaskan sebagian kalangan di sejumlah daerah. Tidak heran
belakangan ini setiap potensi konflik mudah terpicu menjadi amok yang merugikan
semua pihak.
Bisa dipahami ada rasa galau di kalangan
elite yang memerintah (the ruling elite). Akan tetapi, tak semua pemimpin,
pejabat, birokrat, dan politisi melakukan korupsi karena masih lebih banyak
lagi warga yang jujur di negeri ini.
Citra sebagian besar warga jujur itu dirusak
oleh setitik nila. Dan, itulah yang kita saksikan setiap hari di televisi dan
koran: toilet, kursi, sampai gorden DPR pun dikorupsi!
Kita makin getol membangkang terhadap
korupsi. Pembangkangan itu bukan monopoli negeri ini saja, melainkan juga
terjadi di mancanegara yang demokratis dan yang represif.
Pesan sentral kita, pembangkang korupsi
sosial cuma satu dan konsisten: para pemimpin gagal memberikan kita rasa
keadilan. Ketidakadilan sumber keresahan, keresahan berubah menjadi
pembangkangan.
Pembangkangan berbahaya kalau jadi kekerasan,
sebaliknya bermanfaat untuk melenyapkan ketidakadilan. Pembangkangan berkurang
jika muncul harapan yang oleh KPK kembali dihidupkan.
Jangan sampai kita hidup tanpa harapan.
Sekali lagi, bravo KPK! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar