Iran,
AS, dan Krisis Hormuz
Broto Wardoyo, PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HI UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 28
Januari 2012
Perseteruan Iran dengan Amerika Serikat terus
berlangsung. Bahkan, awal 2012, AS mengeluarkan sanksi ekonomi bagi semua pihak
yang melakukan bisnis minyak dengan Iran.
AS tentu saja berharap sanksi ini dapat
melemahkan perekonomian Iran dan menghentikan program pengembangan senjata
nuklir mereka. Iran menjawab ancaman itu dengan mengancam balik: menutup Selat
Hormuz yang merupakan salah satu jalur utama distribusi minyak dunia.
Ancaman ini tentu saja ditanggapi AS sebagai
undangan perang. Menurut Lembaga Administrasi Informasi Energi AS, 20 persen
minyak yang diperdagangkan pada 2011 didistribusikan lewat Selat Hormuz. Maka,
meski konflik terbuka antara Iran dan AS masih mungkin terjadi, jalan menuju ke
sana harus mempertimbangkan banyak hal.
Pertama, AS harus berpikir keras apakah perang
mampu diselesaikan dengan cepat dan tak memaksa kehadiran pasukan AS secara
berkelanjutan seperti yang terjadi di Afganistan dan Irak. Di tengah kondisi
ekonomi yang buruk, pertimbangan ini harus diperhitungkan secara cermat.
Ada dua faktor yang akan membuat perang beban
berat yang ditanggung AS. Pertama, Iran mengedepankan perang berkepanjangan
(war of attrition) sebagai strategi utama pertahanan. Hal ini dilakukan dengan
membangun jejaring kelompok bersenjata di beberapa negara Timteng aliansi utama
AS. Pasukan Quds dari Garda Revolusi, misalnya, merupakan induk semang kelompok
bersenjata Hizbullah yang dalam beberapa dekade terakhir merepotkan Israel.
Belakangan, Iran juga menjalin relasi intim
dengan Hamas, kelompok perlawanan Palestina yang anti-Israel. Di Irak, Pasukan
Quds juga melahirkan Badr Corps dan Jaish al-Mahdi, dua kelompok Syiah yang
pro-Teheran. Selain war of attrition, Iran juga mengembangkan strategi
penangkalan untuk mencegah serangan pendahuluan AS. Ketidakpastian yang
melingkupi program pengembangan senjata nuklir Iran sejauh ini cukup mampu
menangkal serangan militer AS. Untuk mempersulit kemungkinan serangan, Iran
juga mendiversifikasi lokasi instalasi nuklir di beberapa tempat.
Untuk menghadapi Iran, AS harus memastikan
dukungan penuh dari sekutu-sekutu utama di Timteng. Dalam kebutuhan tersebut,
sekutu-sekutu utama AS harus terlebih dahulu yakin bahwa kelompok-kelompok
bersenjata pro-Teheran yang bermukim dan/atau memerangi mereka tak akan
menimbulkan masalah keamanan yang lebih mendesak.
Untuk bisa meyakinkan bahwa perang tak akan
melibatkan faktor nuklir, AS harus memiliki informasi intelijen yang detail
mengenai program pengembangan senjata nuklir Iran. Sejauh ini silang sengketa
yang muncul terkait isu ini lebih banyak diwarnai dengan prediksi yang longgar.
Kegagalan intelijen seperti yang pernah terjadi di Irak akan dibayar dengan
harga yang lebih mahal. Konflik antara Iran dan AS juga akan memicu krisis
harga minyak global. Iran tidak hanya memiliki akses dominan dalam buka-tutup
Selat Hormuz, tetapi juga salah satu produsen minyak utama dunia.
Lima
besar
Estimasi CIA World Factbook, Iran produsen
minyak terbesar kelima di dunia setelah Arab Saudi, Rusia, AS, dan China
(perkiraan 2010). Selain itu, Iran peringkat keempat pemilik pasokan minyak
dunia setelah Arab Saudi, Venezuela, dan Kanada.
Keberanian AS memberikan sanksi ekonomi
terkait penjualan minyak Iran menunjukkan kesiapan AS menanggung risiko
kenaikan harga minyak dunia. Kesediaan Arab Saudi untuk meningkatkan pasokan
produksi akan sedikit mengurangi beban harga yang harus ditanggung.
Pertanyaan lebih krusial, apakah Iran sanggup
menemukan solusi bagi hilangnya sumber pemasukan utama mereka. Memang beberapa
alternatif solusi telah diambil Iran, di antaranya mulai mencari alternatif
pasar untuk mengganti pembeli lama yang khawatir terhadap sanksi AS. Harus pula
dipikirkan reaksi negara-negara yang selama ini jadi konsumen utama minyak Iran
atau pemilik kontrak jasa utama produksi minyak Iran, seperti China atau India.
China mulai mengurangi impor minyak dari Iran untuk Januari.
Ketiga hal ini: rentang waktu untuk
berperang, sensitivitas terhadap kenaikan harga minyak, dan dampak ke negara
lain yang tak berdiri di salah satu kubu yang bersengketa tetapi akan menuai
dampak akan menentukan apakah perang terbuka di Timteng pecah atau tidak.
Media
dialog
Sebagian besar penstudi lebih melihat
pertukaran ancaman antara Iran dan AS sebagai cara lain untuk berdialog. Cara
ini muncul dan dominan karena ketiadaan saluran komunikasi langsung di antara
keduanya. Komunikasi melalui pihak ketiga juga dipandang kurang efektif. Upaya
mengurangi ketegangan dan menemukan titik tengah kepentingan kedua pihak harus
diusahakan dengan lebih mengefektifkan jalur komunikasi yang ada.
Dialog langsung dapat dilakukan dengan
mencari figur di kedua pihak yang dipandang pernah cukup intens berinteraksi.
Tokoh dari komunitas intelijen atau militer bisa jadi figur jembatan
alternatif. Upaya dialog dengan bantuan pihak ketiga bisa dilakukan melalui
keterlibatan negara seperti China atau Indonesia. Upaya konstruktif untuk
menjembatani perbedaan kepentingan antara Iran dan AS harus diupayakan untuk
menyejukkan suasana di Timteng. Jangan sampai ketegangan demi ketegangan
menjebak para pihak ke arah konflik. Apalagi, saat ini kondisi domestik di
kedua negara bisa mempermulus jalan menuju konflik. Pemerintahan garis keras
Mahmoud Ahmadinejad akan mendapatkan tambahan legitimasi dengan semakin
menguatnya tensi. Demikian pula Pilpres AS bisa memanfaatkan isu ini untuk
mendapat dukungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar