ISI,
ISBI, dan Karakter Bangsa
Bakdi Soemanto, PENGAJAR S-2 ISI SURAKARTA
Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
ISI yang ada akan diberi tugas tambahan. Tak
hanya mengurusi kesenian, juga mengurusi kebudayaan. ISBI cakupannya lebih luas
lagi.
Inilah pernyataan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh (Kompas, 4/1) terkait kebijakan pemerintah yang akan
mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni dan Budaya
Indonesia (ISBI). Pernyataan ini mengagetkan banyak pihak, terutama para rektor
ISI di seluruh Indonesia.
Dalam benak saya muncul pertanyaan: apa yang
terjadi dengan negeri ini? Kementerian Dalam Negeri hingga ini belum bisa
menuntaskan persoalan RUU Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menambah lagi masalah: ingin mengonversi ISI menjadi
ISBI. Langkah awalnya pun boleh dikatakan arogan: tanpa mengajak berbicara
dengan pimpinan ISI sebelum gagasan itu dikemukakan.
Bermain
Api
Melihat reaksi para eksponen ISI ataupun para
tokoh kesenian, sebagaimana diberitakan di Kompas (17/1), terbayang gagasan ini
tidak dengan segera dapat dilihat hasilnya. Mohammad Nuh terlalu berani
mengambil risiko: bermain api dengan seniman, komentar seorang pelukis di
Yogyakarta. Seorang penyair perempuan yang berdiri di dekatnya menimpali,
”Jangan-jangan ada kesengajaan untuk memancing perdebatan berkepanjangan agar
bisa menjadi alat untuk mengalihkan perhatian tentang hal-hal yang serius
sekali: kesemrawutan tata kelola pemerintahan.”
Dugaan semacam itu muncul karena urgensi dari
gagasan perubahan itu tidak jelas. Tampak Mendikbud tak pernah turun ke
lapangan dan menyaksikan bahwa yang lebih urgen dan yang lebih mendesak dalam
hubungan dengan pendidikan seni malah tak terjamah.
Sebagai orang yang pernah mengajar di Jurusan
Teater ISI Yogyakarta, saya melihat dana pendukung pembelajaran di jurusan
teater sangat jauh dari cukup. Dana itu, misalnya, untuk beli buku-buku, bahan
membuat maket rancangan set pentas, bahan tata rias, dan kostum. Kini, sudah
lumayan dengan adanya gedung tersendiri untuk pentas. Namun, panggungnya sangat
menyedihkan. Tidak ada dana untuk pemeliharaan. Ketika mahasiswa mau menempuh
ujian akhir dan mereka harus pentas, seluruh biaya ditanggung sendiri.
Di ISI Surakarta, tempat saya mengajar,
sarana dan prasana belajar juga belum memadai. Kalau mahasiswa
ujian dan harus menyajikan karya, biaya harus mereka tanggung sendiri. Di antara
karya mereka yang sudah puluhan untuk ujian akhir,
banyak yang bisa disebut sebagai suprakarya alias masterpieces. Karena tak ada
dana, suprakarya itu tidak bisa diproduksi ulang.
Saya melihat, ketika mahasiswa—baik S-1
maupun S-2—memproduksi karya, sebuah peristiwa luar biasa penting terjadi.
Mereka bekerja sama tanpa mendapat upah. Kebersamaan terjadi dengan sangat
mengharukan. Tidakkah Bapak Menteri paham bahwa kebersamaan itu sangat penting
sebagai salah satu pilar pembentukan karakter bangsa?
Mereka tidak butuh lagi pendidikan gotong
royong karena mereka telah melakukan dan mengalaminya dengan seribu kali lebih
joss ketimbang saat saya kuliah atau menatar Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila alias P4 dulu. Nilai-nilai luhur warisan bangsa dengan sendirinya
tergali ketika para rupawan membuat topeng Burisrawa atau Begawan
Drona yang spesialis menjerumuskan orang.
Kita dapat bayangkan ketika mahasiswa teater
akan mementaskan lakon Dara Jingga karya Wisran Hadi yang berlatar Minangkabau.
Kalau perlu, mereka memanggil ahli kebudayaan Minangkabau. Kalau mereka akan
mementaskan Basah-basah Kapoyos yang berlatar belakang Manado, baik aktor
maupun sutradara dan seluruh anak buah pentas, harus belajar budaya Manado.
Mengapa demikian? Meski tak kuliah di jurusan
sosiologi di Fisipol, setiap pekerja seni paham bahwa sebuah fenomena kesenian
adalah produk masyarakat dan zamannya.
Sadar akan hal ini, almarhum Rendra datang ke
rumah saya di Solo, menengok perpustakaan almarhum ayah saya untuk studi apa
yang terjadi di negeri Belanda pada masa pendudukan Nazi Jerman. Waktu itu,
Rendra akan mementaskan Dode Klanken alias Suara-suara Mati karya Manuel van
Logem. Lihat juga yang dilakukan Teguh Karya ketika membuat film 1828. Ia
melakukan riset sangat serius.
Menambah
Masalah
Jadi, memberikan kuliah sosiologi,
antropologi, arkeologi, atau filsafat kepada mahasiswa seni tak akan efektif.
Kuliah-kuliah itu hanya akan menjadi formalitas yang membosankan. Apalagi, jika
dosen-dosennya tak paham kesenian, tetapi hanya konsep.
Sejauh saya bergaul dengan para calon
seniman, baik S-1 maupun S-2, sikap batin mereka sangat terbuka kepada banyak
hal yang ada hubungannya dengan kebudayaan. Mereka membaca buku
Koentjaraningrat, Geertz, Adorno, Foucault, Camus, Sartre, Gramsci, dan
lain-lain.
Negeri ini sudah terlalu banyak masalah tak
terselesaikan. Tegakah kita menambah masalah lagi? Karakter bangsa macam apa
yang kita harapkan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar