Negara
Autopilot atau Negara Lemah?
Thomas Koten, DIREKTUR
SOCIAL DEVELOPMENT CENTER
Sumber
: SINAR HARAPAN, 27
Januari 2012
Kehidupan rakyat tanpa negara atau negara
tanpa pemimpin belakangan ini menyembul dalam wacana publik di media massa.
Wacana ini menyembul dan menyeruak pascakunjungan para tokoh lintas agama ke
kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tujuan kunjungan itu untuk menyampaikan seruan
moral kepada KPK agar dapat melaksanakan tugas mulianya dalam memberantas
korupsi di Republik ini.
Seruan moral para tokoh lintas agama tersebut
tidak lebih menyuarakan jeritan rakyat soal tidak berjalannya aksi
pemberantasan korupsi selama ini. Padahal, korupsi di Republik ini sudah
mewabah dengan sangat mengerikan.
Seruan moral para tokoh lintas agama itu juga
sebagai penyambung suara sebagian masyarakat yang berpesan lewat
spanduk-spanduk bertuliskan “Negeri Autopilot”, yang terpampang di
sejumlah lokasi strategis di Jakarta, tulisan yang bermakna negeri ini berjalan
nyaris tanpa pemimpin.
Artinya, bunyi spanduk yang terpampang di
sejumlah lokasi strategis di Jakarta tersebut menunjukkan ungkapan kekecewaan
rakyat karena tidak merasakan kehadiran pemimpin. Rakyat merasakan negara ini
berjalan sendiri karena pemimpin mereka jauh dari yang diharapkan.
Fenomena seperti itu terjadi di semua sektor
negara; hukum, politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Sejumlah contoh teranyar,
terutama dari segi hukum sebagai indikasi “Negeri Autopilot” adalah banyaknya
rakyat yang mati ditembak aparat sendiri, seperti kasus Mesuji dan Bima.
Belum lagi kekerasan di bidang agama atau
atas nama agama yang tidak jarang berujung pertumpahan darah. Dalam catatan
Setara Institute, misalnya, sepanjang 2011, terjadi 135 kasus kekerasan atas
nama atau berlatar belakang agama yang menumpuk karena tidak diusut aparat
negara.
Belum lagi konflik agraria atau konflik
tanah/lahan dengan perusahaan, yang secara jelas memberi kesan negara
meninggalkan rakyat dan berselingkuh dengan perusahaan.
Di bidang ekonomi, setali tiga uang, rakyat
terkesan dan merasakan berjalan sendiri, berjuang sendiri untuk mengatasi dan
mengurangi kemiskinan dan kemelaratan.
Negara hanya berbangga di balik usaha rakyat
sendiri dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Seperti yang kerap dikritik para
pengamat, pemerintah tidak berbuat hal yang signifikan menyangkut
infrastruktur, tetapi toh negara ini mendapat apresiasi investment grade.
Negara Lemah
Yang jelas, bangsa dan negara ini sudah
sangat lama dirundung atau dililit aneka macam kebobrokan yang membekap semua
lini kehidupan masyarakat; di lini ekonomi, sosial, hukum, politik, dan
lain-lain. Karena itu, rakyat melabelkan negara ini sebagai negara gagal,
negara lemah, atau yang belakangan ini dikatakan sebagai “Negeri Autopilot”.
Namun bagaimana persisnya memosisikan negara
ini, apakah sebagai negara gagal, negara lemah, atau Negeri Autopilot? Ketiga
predikat memiriskan itu tentu saja berpijak dan bermuara pada fenomena negara
yang diwarnai berbagai problem yang menyangkut tak terurusnya rakyat.
Padahal, negara ini, sebagaimana juga
negara-negara lainnya, didirikan dan dibentuk berdasarkan sutu kontrak sosial,
yang mengatakan negara memberi perlindungan kepada warga sebagai kewajiban
utamanya, dan warga negara berkewajiban patuh kepada negara dengan
mengikuti peraturan-peraturan yang digariskan negara dalam kontrak sosial itu.
Di Indonesia, fungsi, tugas, dan peran negara
sebagai pelindung dan pemberi jaminan keamanan dan pencipta kesejahteraan
dimaktubkan atau diamanatkan dalam UUD’45, maka segala ketidaknyamanan dan
ketidaksejahteraan warga merupakan pengabaian tugas, fungsi, dan peran negara
terhadap kontrak sosial bernegara.
Pemerintah yang tidak menjalankan fungsi dan
tugas-tugasnya dikatakan juga sebagai negeri autopilot atau sebagai negara
gagal itu. Mengapa? Sebab dalam teori kontrak sosial Thomas Hobbes, John Lock,
dan Jean Jaeques Rousseau, yang kemudian dipadukan dalam UUD’45 mengatakan
tujuan didirikan negara adalah to protect its people from violence and other
kinds of harm (untuk melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan,
ketidaknyamanan, atau lainnya).
Bagaimana indikasi sesungguhnya yang
memotretkan negara gagal itu? Menurut sebuah studi yang dilakukan World
Economic Forum dan Universitas Harvard (2002) terhadap 59 negara (Indonesia
termasuk di dalamnya), berhasil dicirikan apa itu negara gagal: tingginya angka
kriminalitas dan kekerasan publik, suap dan korupsi merajalela, kemiskinan
masyarakat yang merebak, dan ketidakpastian yang tinggi.
Daniel Thurer, profesor hukum dari
Universitas Zurich, mengartikan negara gagal sebagai kegagalan negara
mengaktualisasikan kapasitas dan kewenangan yang dimilikinya di tengah rakyat.
Dari perspektif internasional, negara gagal adalah negara yang tidak layak
mengikatkan dirinya dalam satu kesepakatan internasional.
Indonesia yang dipicu berbagai konflik,
kekerasan negara, tingginya kriminalitas, merebaknya suap dan korupsi, kemiskinan
dan lain-lain, oleh kebanyakan pengamat dalam dan luar negeri, lebih kepada
cermin negara lemah, yang kalau tidak mampu mengatasinya akan menjurus ke
negara gagal.
Negara gagal itu selalu bermula dari negara
yang hadir ibarat tanpa pemimpin, yang belakangan ini disebut negeri autopilot
itu.
Tetapi, karena secara formal administratif,
dan realitasnya juga para pemimpin kita masih ada dan terus bekerja, negara ini
lebih cocok dikatakan sebagai negara sangat lemah, yang jika tidak hati-hati
segera berubah menjadi negara gagal.
Perlu Tindakan Segera
Negara ini seperti sudah terlalu lama ibarat
pesawat yang dibiarkan beroperasi dengan autopilot sehingga bisa jatuh lantaran
kehabisan bahan bakar, misalnya. Negara yang dibiarkan terlalu lama berjalan
ibarat tanpa pemimpin atau tanpa pemerintahan, lama-kelamaan akan jatuh karena
rakyat kehabisan kesabaran.
Bukan tidak mungkin negara gagal yang
dipuncaki dengan rontoknya negara, seperti Yugoslavia pada akhir 1980-an,
terjadi di Indonesia, jika keadaan negara seperti ini bertambah buruk dan
pemimpin tidak sanggup tampil lebih kredibel lagi untuk mengendalikannya.
Dengan demikian, meskipun Indonesia saat ini
belum benar-benar menunjukkan diri sebagai negara gagal, keadaan ini harus
disikapi secara serius oleh para pemimpin negara, terutama presiden sebagi
kepala negara dan kepala pemerintahan. Jangan menunggu hingga negara ini
benar-benar gagal.
Mari kita bersama-sama mengantarkan rakyat ke
tujuan mendirikan Republik ini, yakni negara kesejahteraan dengan warga negara
yang selalu terlindungi dan senantiasa merasa nyaman, yang menjalankan hidup
dengan penuh kebersahajaan. Pekerjaan ini tentu tidak mudah, tetapi tidak
mustahil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar