Penegakan
Hukum, di Mana Kini?
Achmad Zen Umar Purba, DOSEN PASCASARJANA FHUI
Sumber
: KOMPAS, 28
Januari 2012
Masalah penegakan hukum hangat lagi
dibicarakan. Terakhir karena dipicu kasus pencurian sandal milik seorang
polisi. Walaupun AAL, remaja pencuri sandal itu, hanya dikembalikan ke
orangtuanya, hakim menyatakan ia bersalah. Masyarakat pun jadi gerah.
Ini menambah beberapa kasus pencurian mini
sebelumnya: kakao senilai Rp 2.100, karung plastik buah randu seharga Rp
12.000, seekor ayam jago, dua batang singkong dan sarung bekas senilai Rp
3.000.
Rupanya orang tidak sekadar melihat bahwa
hukum sudah pas diterapkan, tetapi asas keadilan yang lebih luas: mengapa hakim
rajin mengurus kasus-kasus liliput, tetapi melempem menghadapi kasus-kasus
korupsi kakap. Mana keadilan itu?
Kegerahan publik itu beralasan sebab UU
Kekuasaan Kehakiman 2009 (UU KK) menyatakan dengan tegas bahwa ”Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat” (Pasal 5 Ayat 1).
Sifat adil ditegaskan pula sebagai
kepribadian seorang hakim, seperti diatur pada ayat berikutnya. Bukan itu saja,
Pedoman Perilaku Hakim menyatakan hakim harus ”berperilaku adil”. Inilah yang
agaknya mendorong pemerintah mendirikan Sekretariat Bersama Mahkumjakpol. Wakil
Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, forum konsultatif di antara
unsur-unsur Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan
Kepolisian ini menitikberatkan pada pendekatan keadilan dibandingkan dengan
kepastian hukum.
Refleksi
Negara Hukum
Penegakan hukum adalah refleksi negara hukum
dan diberlakukan dalam kegiatan apa pun. Oleh karena itu, isu penegakan hukum
harus selalu diprioritaskan karena kenyataannya orang alergi terhadap hukum.
Dunia usaha, misalnya, lebih memilih arbitrase daripada memperkarakan masalah
di pengadilan.
Penegakan hukum amat relevan dengan
pembangunan ekonomi khususnya investasi asing langsung. Bagaimana investor
asing mau masuk kalau biaya penagihan piutang melalui pengadilan mencapai 122,7
persen dari klaim, seperti dalam laporan tahunan Doing Business Bank Dunia
sejak lebih dari lima tahun. Tiada perbaikan dan tak terdengar ada upaya ke
arah itu.
Jeleknya penegakan hukum juga diakui Ketua
Mahkamah Agung Harifin Tumpa. Ia beberapa kali mengungkapkan bahwa selama 30
tahun terakhir tidak ada kredibilitas pengadilan yang patut dibanggakan.
Setelah reformasi, orang berharap banyak
karena administrasi pengadilan berada di bawah satu otoritas: MA. Namun, tampaknya
tiada terobosan. Dibandingkan dengan sektor-sektor penopang kehidupan
kenegaraan yang lain, penegakan hukum adalah si buruk rupa, tertinggal terus
hingga tahun baru ini. Trias politica kita timpang di satu sayap.
Menurut UU KK, kekuasaan kehakiman di negara
kita adalah ”kekuasaan kehakiman yang merdeka”, tidak dapat diintervensi siapa
pun. Implikasinya adalah hakim bebas dan tidak terikat pada putusan pengadilan
sebelumnya seperti di negara-negara Anglo Saxon dengan doktrin stare
decisis-nya, yakni hakim mengikuti putusan hakim-hakim sebelumnya.
Dalam situasi demikian, peranan hakim menjadi
amat menentukan, tetapi semestinya juga amat berat. Merasakan dan menurunkan
rasa keadilan adalah contoh. Pekerjaan hakim menegakkan hukum yang berkeadilan
dalam sistem ”kekuasaan kehakiman yang merdeka” menjadi tidak mudah.
Jadi Jaksa
Banyak faktor untuk bisa mendapatkan hakim
yang berkualitas. Yang paling mendasar adalah proses perekrutan yang bersih dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Hakim haruslah berasal dari
anak-anak muda berpendidikan hukum yang memang berambisi untuk menegakkan hukum
dan keadilan. Hakim mestilah datang dari kelompok pemuda yang memang
bercita-cita menjadi hakim: satu situasi yang tampaknya jauh dari kenyataan.
Para tamatan fakultas hukum lebih ingin menjadi jaksa, atau konsultan hukum
kalau bahasa Inggrisnya bagus.
Hakim tidak menjadi pilihan, apalagi tidak
muncul hakim idola. Tidak ada figur seperti Adnan Buyung Nasution seperti di bidang
advokat. Sebetulnya pasti ada hakim-hakim yang baik. Sayang, mereka bekerja
dalam diam dan kurang terpublikasikan.
Mestinya MA dengan kekuasaan tunggal sudah
berhasil melakukan perekrutan yang sempurna dan mendapatkan hakim-hakim yang
ideal yang berintegritas karena harus membuat putusan yang merdeka.
UU KK memagari bahwa hakim ”harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum”. Tentu saja ini harus diimbangi dengan
remunerasi yang baik. Pribadi hakim yang kuat akan menampik berbagai godaan
jahat. Penegakan hukum yang benar sudah saatnya ditonjolkan dalam era
pembangunan dewasa ini. Di mana dia kini berada? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar