Mampukah
Indonesia Menuju Denmark
Wahyu Prasetyawan, PENGAJAR EKONOMI-POLITIK DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 31
Januari 2012
Kasus-kasus
rasuah besar, seperti pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, aliran dana
Bank Century, dan kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin, yang
belum selesai hingga saat ini, menjadi pertaruhan besar bagi akuntabilitas
politik, demokrasi, dan pemberantasan rasuah di sini. Kegagalan menyelesaikan
ketiga soal besar tersebut menjadi paradoks bagi keberhasilan manajemen ekonomi
makro dan demokrasi.
Situasi
ideal dengan adanya stabilitas politik, politik yang demokratis, damai,
sejahtera, serta rendahnya tingkat rasuah diumpamakan dengan Getting to
Denmark. Ini sebuah kiasan yang digunakan Lant Prichett dan Michael
Woolcock bagi negara ideal. Jika elemen Getting to Denmark ditambah
dengan akuntabilitas politik, perumpamaan ini cukup menarik dipakai untuk
melihat dinamika ekonomi politik Indonesia.
Kasus-kasus
rasuah (perburuan rente) memperlihatkan gambaran yang berlawanan dengan capaian
dalam demokrasi dan stabilitas politik. Dukungan publik terhadap demokrasi
cukup tinggi. Capaian ekonomi Indonesia juga baik. Lembaga pemeringkat Fitch
memasukkan Indonesia dalam kategori tempat yang layak untuk investasi. Ini
merupakan buah reformasi ekonomi, dalam bentuk kebijakan hati-hati dalam
pengelolaan ekonomi makro yang dimulai sejak sepuluh tahun lalu. Saat ini
Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tingkat inflasi yang
rendah, dan rasio utang publik yang rendah.
Lambatnya
penyelesaian rasuah besar yang terkait dengan pejabat lembaga publik
memperlihatkan bahwa kita punya masalah dengan akuntabilitas politik. Di sini
akuntabilitas politik dilihat sebagai upaya untuk membuat politik sebagai cara
untuk mencapai kebaikan bagi banyak pihak, dan terutama rakyat yang menjadi
pelaku penting. Singkatnya, kepentingan publik berada di atas kepentingan
pribadi atau kelompok politik seorang/sekelompok politikus.
Akuntabilitas
politik rendah karena elite politik di lembaga eksekutif dan legislatif
menyandera. Dari sisi eksekutif, data Doing Business in More Transparent World
2012, yang dibuat Bank Dunia, memperlihatkan posisi Indonesia yang turun
dibanding tahun lalu. Birokrasi menjadi penyebabnya. Birokrasi yang bekerja
untuk dirinya sendiri merupakan bentuk penyanderaan yang bersumber dari
kewenangan. Kewenangan yang diberikan birokrasi untuk mempermudah suatu urusan
yang terkait dengan pelayanan berubah menjadi hambatan. Gambaran seperti
tecermin dalam angka-angka dalam kategori umum kemudahan mendirikan usaha
cenderung turun posisinya menjadi 129, sedangkan pada 2011 berada di posisi
126. Posisi ini juga jauh dari rata-rata di Asia-Pasifik, yaitu 86.
Selain
itu, untuk memulai suatu usaha di Indonesia dibutuhkan waktu selama 45 hari dan
melalui 8 prosedur (sementara di Malaysia dibutuhkan 6 hari kerja dan 4
prosedur). Dalam hal mendapatkan sambungan listrik, di Indonesia dibutuhkan
waktu 108 hari dan 7 prosedur. Sedangkan di Malaysia diperlukan 51 hari dan 6
prosedur. Intinya, birokrasi di Indonesia bekerja untuk dirinya sendiri dengan
cara menyandera proses untuk mendapatkan keuntungan.
Masuknya
politikus ke ranah eksekutif menjadi alat deteksi guna mengetahui adanya
hubungan di antara lambannya perubahan dalam birokrasi. Muasal keterlibatan
partai politik dalam birokrasi terletak pada koalisi politik di tingkat
eksekutif. Sejak 2004 lalu pos menteri diisi tokoh-tokoh partai politik,
artinya politikus yang kapasitasnya untuk mengelola suatu kementerian
diragukan. Situasi ini menimbulkan merosotnya spirit korps birokrasi, karena
jabatan tertinggi birokrasi hanya didapatkan melalui lobi-lobi politik.
Akibatnya, sistem meritokrasi mati, dan birokrat lebih menghabiskan waktunya
untuk melakukan lobi politik. Insentif untuk melakukan lobi jelas lebih besar
dibandingkan dengan memperbaiki kinerja.
Bentuk
penyanderaan elite lembaga legislatif dapat dilihat dari kasus-kasus yang
menyangkut anggota parlemen tingkat pusat yang masih belum selesai. Selain itu,
perburuan rente di lembaga legislatif sangat kentara karena memiliki kewenangan
yang bahkan lebih besar dari presiden untuk membuat undang-undang. Selain itu,
anggota legislatif memiliki akses atas informasi dan kewenangan untuk
mengesahkan suatu RUU bahkan RAPBN sekalipun. Kasus yang melibatkan dana
infrastruktur daerah merupakan indikator terjadinya perburuan rente atas APBN,
dan kasus yang melibatkan Nazaruddin masuk kategori ini. Dalam konteks
Indonesia, keuntungan dari upaya rasuah lebih besar dibandingkan dengan
kerugian yang harus dibayar. Sebuah studi menemukan politikus pelaku rasuah
rata-rata mendapatkan hukuman kurang dari lima tahun. Ini hukuman yang amat
ringan, karena ada seorang anak remaja yang dituntut lima tahun karena mencuri
sandal jepit.
Lemahnya
akuntabilitas partai politik yang disebabkan oleh rasuah (perburuan rente)
memiliki dua implikasi negatif. Pertama, penyanderaan yang dilakukan elite
politik pada birokrasi akan semakin buruk. Absennya akuntabilitas politik
membuat meritokrasi tidak berjalan. Jabatan menteri dan beberapa jabatan di
bawahnya diisi berdasarkan logika politik “bagi-bagi” kekuasaan. Jabatan
politik menjadi “giliran” elite politik melalui mekanisme demokrasi. Ini
merupakan bentuk telanjang alokasi kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi di
antara elite. Dan ini akan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Gejala ini
sudah dapat diamati dengan cukup jelas, setidaknya ketika ada satu partai
politik tertentu yang selama reformasi ini menguasai suatu kementerian. Rakyat
sebagai pelaku yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam setiap
kebijakan dilupakan setelah pemilihan umum usai.
Kedua,
melemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Kemampuan
pemerintah untuk intervensi atas kebijakan yang menguntungkan publik secara
luas, terutama orang miskin, semakin melemah. Elite politik lebih cenderung
memberikan dukungan kepada kelompoknya sendiri atau kelompok yang mampu
memberikan tekanan kepada mereka, dalam hal ini kelas menengah. Program-program
yang terkait dengan kelompok yang tidak terorganisasi dengan baik, seperti
kelompok miskin, akan makin diabaikan. Di Indonesia, gejala ini dapat dilihat
dari kecilnya dana program pengentasan masyarakat miskin dibandingkan dengan
dana subsidi BBM yang jelas-jelas lebih dinikmati kelas menengah. Dana program
pengentasan rakyat dari kemiskinan pada APBN 2012 berjumlah sekitar Rp 99
triliun, sementara subsidi secara menyeluruh mencapai Rp 209 triliun (subsidi
BBM Rp 123 triliun, padahal tahun sebelumnya hanya Rp 96 triliun). Selain itu,
dalam bidang penegakan hukum, kapasitas pemerintah malah amat jelek karena
tidak mampu melindungi orang miskin. Dalam kasus di Mesuji atau tempat lainnya
pemerintah jelas berpihak kepada pemodal.
Apakah
kita sedang menuju atau menjauhi Denmark? Masa depan ekonomi politik masih
sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan yang terkait dengan pertukaran antara
kekuasaan (politik) dan modal (uang). Demokrasi dan stabilitas politik dapat
dicapai, dan Indonesia dapat pergi ke Denmark dengan syarat akuntabilitas
politik membaik dan rasuah dapat ditekan jumlahnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar