Geliat
Demokrasi di Myanmar
Chusnan Maghribi, ALUMNUS HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Sumber
: SUARA MERDEKA, 30
Januari 2012
”ASEAN
menjadi pihak yang paling berkompeten mengawasi kelanjutan proses demokratisasi
di Myanmar”
PELAN tapi pasti, roda demokrasi di Republik
Uni Myanmar menggeliat bergerak maju. Dimulai langkah junta menyelenggarakan
pemilu untuk memilih 440 anggota Majelis Rendah (parlemen) pusat dan daerah
pada 7 November 2010, membentuk pemerintahan sipil di bawah pimpinan presiden
terpilih U Thein Sein Maret 2011, dan membubarkan pemerintahan junta militer
Myanmar State Development and Peace Council (SDPC) pimpinan Jenderal Than Swe
April 2011.
Termasuk meningkatkan kebebasan pers,
gencatan senjata dengan gerilyawan dari sejumlah etnis pemberontak, membebaskan
ratusan tapol penting, di antaranya pemimpin oposisi prodemokrasi Aung San Suu
Kyi, hingga dialog yang muaranya membolehkan wanita peraih Nobel Perdamaian
1991 itu mendaftarkan diri sebagai calon legislator dalam pemilu sela pada 1
April 2012 guna memperebutkan 48 kursi parlemen yang ditinggalkan anggotanya
untuk menduduki kabinet. Suu Kyi mendaftar (18/01/12) sebagai calon wakil
daerah Kawhmu, distrik miskin di Selatan Yangon, yang pada 2008 porak-poranda
diterjang badai siklon Nargis.
Banyak pihak awalnya menganggap pemilu
November 2010 hanya demokrasi pura-pura junta guna menyenangkan masyarakat
internasional agar tidak lagi menekan Myanmar. Ketidakpercayaan ini muncul
lantaran selama 7 tahun sejak tujuh langkah road map to democracy diumumkan PM
Khin Nyunt pada 2003, junta belum memperlihatkan konsistensinya untuk
mengimplementasikan peta jalan itu.
Apakah menggeliatnya demokrasi tersebut serta
merta membuat publik dunia harus percaya 100 persen bahwa demokratisasi di negeri
berluas wilayah 678.033 km2 dan kini berpenduduk sekitar 60 juta jiwa itu terus
berlanjut, dan karenanya ke depan tak perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya
kemandekan, bahkan kemunduran demokrasi yang tengah berjalan di jalur yang
benar itu?
Tentu saja tidak. Pasalnya, cengkeraman
militer atas kekuasaan di Myanmar berlangsung kelewat lama, kurang lebih 49
tahun, sejak Jendral Ne Win melakukan kudeta Maret 1962. Sebagaimana terjadi di
banyak negara yang lama dikuasai militer, masa transisi (dari masa otoriter
diktator ke demokrasi) tidak berlangsung mulus, lazim ditandai adanya kelompok
militer yang mengidap penyakit post power syndrome. Pada masa transisi menuju
demokrasi, kelompok militer pengidap penyakit itu biasa melakukan
manuver-manuver politik, untuk menghambat, bahkan mengganjal kelanjutan proses
demokratisasi.
Langkah
Mundur
Apalagi di Myanmar yang pemerintahannya
sekarang dikendalikan partai pemenang pemilu, yaitu Union Solidarity and
Development Party (USDP) yang notabene bentukan junta. Menjelang pemilu 2010
banyak jenderal menanggalkan baju militernya lalu masuk menjadi pengurus partai
itu. Kalangan analis membaca hal itu sebagai strategi militer untuk tetap
berkuasa di panggung politik pascapemilu. Kenyataannya USDP meraup 76,5 persen
kursi parlemen dalam pemilu tersebut.
Seandainya dalam pemilu sela 1 April
mendatang 48 kursi parlemen yang diperebutkan disapu bersih partai Suu Kyi
(National League for Democracy (NLD), selaku partai oposisi utama masih
memiliki kekuasaan minimal yang diperkirakan belum cukup memadai untuk
mengimbangi dominasi USDP dalam proses pengambilan keputusan di parlemen.
Dampaknya, kebijakan politik negara akan senantiasa dikendalikan dan
diselaraskan dengan selera USDP, sebagai kendaraan politik militer. Hal inilah
yang semestinya diwaspadai lantaran hal itu dapat membuat cacat demokrasi yang
tengah tumbuh di republik yang merdeka pada 4 Januari 1948 itu.
ASEAN yang selama ini berperan penting atas
capaian langkah maju demokrasi di negara itu tentu menjadi pihak yang paling
berkompeten untuk mengawasi dan terus membimbing kelanjutan demokratisasi di
Myanmar agar tunas demokrasi yang tumbuh tidak mengalami stagnasi, apalagi
langkah mundur di tengah jalan.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar