Urgenkah
RUU Kamnas
Ahmad Yani, WAKIL
KETUA FPPP/ANGGOTA KOMISI III DPR RI
Sumber
: SINDO, 28
Januari 2012
Baik konflik atau kerusuhan di
Papua,Aceh, Mesuji, Lampung Selatan, Bima maupun pertikaian-pertikaian yang
lebih kecil antarpelajar, antarpreman, dan antarsuporter sepak bola tidak
terantisipasi dan terselesaikan dengan baik.
Berbagai konflik vertikal dan horizontal tersebut seharusnya cukup menjadi bahan evaluasi sistem dan manajemen penanganan urusan keamanan dalam negeri.Namun, pertanyaannya adalah apakah hasil evaluasi itu berupa keharusan membentuk suatu Undang-Undang Keamanan Nasional (Kamnas) ataukah masalahnya justru pada kelemahan dan kekeliruan sistem koordinasi antarpejabat? Kita sepakat negara harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagai salah satu tujuan nasional.
Namun, spirit dalam Alinea IV Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itulah yang perlu menjiwai pembahasan Rancangan Undang- Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas).Jangan sampai UU tersebut justru membuat sebagian orang merasa tidak aman dan nyaman lagi. Kekhawatiran publik tidak berlebihan.Masalah utamanya bukan karena RUU Kamnas seperti mendikotomikan Polri dengan TNI,melainkan karena mendefinisikan keamanan sebagai akar semua persoalan.
Segala aspek dan masalah ditafsirkan sebagai urusan keamanan atau dapat mendatangkan ancaman keamanan. Pendekatan keamanan itu begitu terasa pada Pasal 17 dan Penjelasan RUU Kamnas, terutama untuk ancaman tidak bersenjata. Misalnya, anarkisme, penyelundupan manusia atau barang, persaingan perdagangan tidak sehat (dumping, pemalsuan dan pembajakan produk),kebakaran hutan ulah manusia, pemogokan massal, ideologi, radikalisme, kelangkaan pangan dan air,kelangkaanenergi.
Bahkan, persoalankemiskinan yang lazimnya diselesaikan dengan pendekatan kesejahteraan dimasukkan sebagai salah satu bentuk ancaman tidak bersenjata. Dengan undang-undang seperti ini, para pembajak perangkat lunak komputer,VCD/ DVD film dan lagu bukan saja dapat dipidanakan,tetapi juga bisa dianggap sebagai ancaman keamanan nasional atau melakukan tindakan subversif,
yang biasanya dipakai menggebuk lawan-lawan politik di negara otoriter.Begitu pula peladang yang membakar hutan untuk membersihkan lahan, penimbun sembako, atau aktivis-aktivis yang mempunyai pemahaman politik berbeda dengan kebanyakan pejabat pemerintah. Orang miskin dan pengangguran pun bisa menjadi ancaman keamanan nasional!
Diskonsepsional Legislasi
Selain itu, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi juga dianggap sebagai ancaman tidak bersenjata. Tidak begitu jelas apa yang dimaksud pemerintah dengan frase “diskonsepsional”. Namun, perbedaan pendapat setajam apa pun adalah sah dan wajar dalam demokrasi, termasuk untuk mengganti sebagian atau seluruh peraturan perundangundangan. Ide sekeras apa pun dapat disampaikan oleh siapa pun,tidak terbatas pada pemerintah dan DPR yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang.
Bahkan, setiap warga negara berhak menggugat suatu undangundang dan peraturan perundang- undangan di bawahnya yang telah disahkan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.Jangankan produk legislasi dan regulasi, konstitusi pun dapat diganti sepanjang dilakukan sesuai prosedur. Persoalan juga muncul karena sesuatu yang masih ancaman potensial dapat dianggap membahayakan keamanan nasional. Ancaman potensial menurut RUU Kamnas adalah ancaman yang mungkin terjadi, tetapi belum pernah terjadi atau sangat jarang terjadi.
Ancaman itu diperkirakan dari tingkat signifikansi dampak yang ditimbulkan apabila benar-benar terjadi akan berakibat sangat fatal dan luas terhadap eksistensi dan keselamatan bangsa dan negara. Itu artinya seseorang, sekelompok orang atau apa pun bisa menjadi ancaman keamanan nasional hanya karena persepsi aparat keamanan menyatakannya demikian. Alih-alih akan memenuhi tujuan nasional, seorang warga negara atau sekelompok masyarakat justru akan terancam dan merasa tidak terlindungi oleh negara karena dianggap sebagai ancaman.
Penulis mengakui konsepsi dan pelaksanaan UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri masih tidak memuaskan. Umumnya hal ini disebabkan tidak optimalnya koordinasi dan sinkronisasi penanganan keamanan dalam negeri. Relasi Polri dengan lembaga-lembaga lain seperti TNI dan BIN dirasakan belum memenuhi harapan, yang terlihat dari banyaknya konflik pecah dan jatuh korban tanpa dapat dicegah. Dampaknya adalah aparat Polri masih banyak melakukan tindakan represif ketimbang persuasif dan antisipatif, termasuk saat menangani unjuk rasa dan pemogokan massal yang seharusnya bisa ditangani secara intelektual dan persuasif.
Koordinasi
Keamanan masyarakat yang kurang memuaskan juga karena Polri kurang berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Padahal,pemda memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat (UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 13–14).Hal itu termasuk perlindungan masyarakat, sesuai dengan penjelasan pasal tersebut.Masalahnya,keamanan merupakan urusan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3), tetapi pemda berwenang dalam urusan ketertiban umum, ketenteraman, dan perlindungan masyarakat tanpa diperinci pembagian kewenangan dan koordinasinya.
Sekalipun demikian, Presiden telah menerbitkan Peraturan Presiden No 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara yang merupakanpenjabarandariUUNo 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Terkait urusan keamanan dalam negeri, peraturan tersebut menugasi Menko Polhukam untuk membantu Presiden dalam menyinkronkan dan mengoordinasikan perencanaan, penyusunan,dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik,hukum, dan keamanan (Pasal 2).
Untuk itu,Menko Polhukam mengoordinasikan Kemendagri, Kemlu,Kemhan, Kemenkumham, Kemenkominfo ,Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Kejakgung, BIN, TNI, Polri dan instansi lain yang dianggap perlu (Pasal 4). Sementara Mendagri yang berada di bawah koordinasi Menko Polhukam bertugas salah satunya untuk pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah (Pasal 67 huruf d).
Dengan kewenangan koordinasi yang sedemikian besar, seharusnya berbagai konflik dan kerusuhan dapat diantisipasi dan diselesaikan segera. Termasuk untuk koordinasi pemerintah pusat dan daerah melalui Mendagri. Jika masih terjadi konflik, pemerintah perlu memperbaiki diri dalam konsistensi terhadap peraturan perundang-undangan dan kemampuan manajemen. Perbaikan diri juga harus dilakukan Polri.
Polisi harus melakukan reformasi dan untuk itu perlu membuka diri terhadap masukan berbagai pihak. Tanpa hal itu, citra, wibawa, dan kinerja Polri tidak akan memuaskan. Akhirnya,karena konstitusi telah mengamanatkan bahwa tugas pokok Polri adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat 4), juga dengan berbagai pertimbangan di atas,dapat disimpulkan tidak ada urgensinya untuk membuat suatu undangundang keamanan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar