Memahami
Makna Peradaban
Imam Nawawi, SEKRETARIS INISIASI HIDAYATULLAH
Sumber
: REPUBLIKA, 28
Januari 2012
Wacana
peradaban Islam telah ramai dibahas di berbagai kesempatan dan kalangan dewasa
ini. Tidak saja di dunia Muslim tetapi juga di Barat. Bahkan, dalam beberapa
catatan intelektual Muslim kontemporer, kesadaran Barat dalam mengkaji
peradaban Islam kini kian intens dan masif. Akan tetapi, hal tersebut belum
dilakukan secara adil sehingga wajah peradab an Islam bagi mereka masih tampak
kabur dan absurd.
Seperti
jamak dipahami dalam beberapa dekade terakhir, Barat telah memahami bahwa
potensi besar umat Islam di masa yang akan datang sungguh sangat luar biasa.
Sayangnya, hal tersebut di respons dengan cara yang tidak semestinya.
Objektivitas Barat dalam mengkaji Islam kian diperta nyakan. Samuel Huntington
dalam tesisnya menyatakan bahwa setelah keruntuhan Uni Soviet musuh Barat yang
utama adalah Islam.
Ungkapan
Huntington dalam bukunya Clash of Civilization menunjukkan satu bukti penting
bah wa Barat telah keliru dalam memahami Islam. Kekeliruan tersebut menjadikan Amerika salah dalam
memahami Islam dan lebih jauh juga salah dalam memposisikan Islam. Islam
dipandang sebagai ancaman stabilitas dunia.
Akibatnya,
opini global digiring untuk berpandangan sama seperti pandangan Amerika
terhadap Islam. Negara-negara berkembang pun secara terpaksa harus menggunakan
kacamata Barat dalam memandang Islam, sekalipun Islam menjadi agama mayoritas
di negerinya sendiri.
Kondisi
tersebut menjadikan kajian tentang peradaban Islam terbelah dalam dua kutub
utama.
Pertama
kutub yang terang-terangan menolak dan yang kedua kutub yang secara terbuka
menyatakan niatnya untuk membangun peradaban Islam. Sayangnya, mereka yang
secara transparan menyatakan diri ingin membangun peradaban Islam masih saja
dinilai dengan perangkat penilaian global yang masih belum memenuhi standar
objektivitas.
Kutub
yang menolak kajian peradaban Islam adalah mereka yang dalam bahasa Suharsono
da lam bukunya Membangun Peradaban Islam Menata Indonesia Masa Depan dengan
Al-Qur’an se bagai follower dari peradaban Barat meskipun mereka menyata kan
diri sebagai Muslim yang inklusif. Sementara, kutub yang ingin membangun
peradaban Islam secara hak (benar) divonis se bagai kelompok radikal yang
mengancam stabilitas negara.
Berangkat
dari kondisi tersebut, maka kita perlu mendudukkan secara adil apa sebenarnya
mak na dan hakikat peradaban.
Dan,
apakah benar setiap yang bersumber dari Islam selalu bertentangan dengan negara
dan mengancam kesejahteraan manusia?
Makna Peradaban
Umumnya,
peradaban dipahami sangat sederhana hanya sebagai sebuah kajian yang lebih luas
lingkupnya dari kebudayaan. Sebuah
jawaban yang secara epistemik belum menjawab apapun. Bahkan, ketika kita
mencoba melempar masalah ini kepada intelektual Barat, merekapun akan kesulitan
memberikan definisi. Apalagi, saat yang
sama secara epistemologis pandangan mereka akan suatu hal sangat berbeda,
bahkan bertolak belakang, dengan pandangan hidup Islam. Apa yang dipandang
substansial dalam Islam justru disikapi sebagai sesuatu yang tidak berarti,
begitu juga sebaliknya.
Namun
demikian kita tetap berkepentingan untuk mengetahui tentang bagaimana cara mereka
mendefinisikan peradaban, tanpa harus terjebak pada metodologinya lalu
mengikutinya. Sebaliknya, penting bagi
kita memahami bagaimana Barat boleh dikatakap tergagap-gagap dalam memberikan definisi tentang peradaban.
Istilah
peradaban dikembangkan oleh pemikir Perancis pada abad ke-18 yang
memperlawankannya dengan konsep “barbarisme”. Sederhana, masyarakat yang
beradab ialah masyarakat yang tidak lagi primitif. Masyarakat beradab adalah
masyarakat urban, tidak nomaden dan terdidik. Beradab adalah baik dan
sebaliknya tidak beradab adalah buruk.
Tetapi,
anggapan itu harus dilihat dalam satu sudut pandang dan tidak berlaku bagi
sudut pandang lainnya. Karena, suatu masyarakat yang dianggap barbar isme atau
tidak beradab jika dilihat dalam substansi keyakinan masyarakat itu, maka jelas
mereka adalah masyarakat beradab.
Disinilah
penting untuk kita simak pernyataan Alquran. Norma dan nilai-nilai seperti
apakah yang sesungguhnya lebih baik diikuti—terutama bagi Muslim— yang kini
benar-benar berhadapan dengan suatu paradoks nilai-nilai dan hukum yang
disebabkan begitu dominannya pranata jahiliah modern.
“Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orangorang yang yakin?” (QS [5]: 50).
Konsep
peradaban menyajikan se buah ‘tolok ukur’ yang dapat di jadikan acuan dalam
memberi kan penilaian terhadap pelbagai dinamika kehidupan masyarakat.
Selama
abad XIX, orang-orang Ero pa banyak melakukannya melalui upaya-upaya
intelektual, diplomatis, dan politis dalam me nge laborasi kriteria nilai
kehidupan yang diterapkan pada masya rakat-masyarakat non-Eropa yang dapat
mereka anggap sebagai ‘ma syarakat yang telah berperadaban’ dan mereka terima
sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tatanan masyarakat Eropa.
Tolok
ukur inilah yang kemudian menjadi sistem nilai kehidup an yang diberlakukan
oleh peradaban yang bersangkutan. Karena itu, ketika peradaban Barat melakukan
ekspansi dan menjadi hegemoni atas seluruh masyarakat global, maka mereka
kemudian memiliki keyakinan yang kuat bahwa `tolok ukur' kehidupan yang mereka
buat bersifat mendunia secara subjektif akan menyatakan bahwa masyarakat
nonBarat yang mampu menyesuaikan diri dengan ukuran atau nilainilai hidup Barat
dianggapnya sebagai masyarakat yang beradab.
Sebaliknya,
jika ada masyarakat lain yang melawan nilai-nilai Barat, maka mereka akan klaim
sebagai masyarakat yang tidak beradab atau masyarakat barbar. Kondisi ini akan
berlaku terbalik bagi masyarakat yang memliki sudut pandang dan sistem
kesadaran yang berbeda. Jadi, makna peradaban sepenuhnya tergantung pada sudut
pandang atau `siapa' yang menetapkan nilai-nilai kehidupan, kebenaran atau
kesalahan, kebaikan atau kejahatan.
Peradaban Islam
Peradaban
Islam adalah peradaban yang pernah eksis di Madinah pada 14 abad silam. Sebuah
peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan
kebebasan beragama. Peradaban seperti itu tidak pernah muncul pada peradaban
lain, baik sebelum maupun sesudahnya.
Masyarakat
global hari ini, terkhusus Indonesia, sangat memerlukan konsep untuk tegaknya
peradaban Islam itu. Oleh karena itu, seyogianya semua pihak bersikap adil,
cermat, dan teliti dalam melihat atau menilai umat Islam yang ingin membangun
peradaban Islam. Sebab, tidak ada korelasi antara Islam dan radikalisme,
anarkisme, apalagi terorisme.
Dengan
demikian, kita berharap umat Islam Indonesia dan seluruh komponen bangsa dan
negara ini tidak alergi dengan istilah-istilah dalam Islam. Yakinlah dan
silakan dibuktikan sendiri dalam penelusuran sejarah bahwa Islam adalah sebuah
agama rahmatan lil `alamin. Dengan kata lain, membangun peradaban Islam adalah
menyejahterakan kembali kehidupan manusia dan seluruh alam semesta. ●
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus